20 :: Apa masih?

220 48 7
                                    


"Maaf kalo terkesannya om gak paham dan gak ngerti perasaan kamu. Tapi, om ngelakuin hal ini demi kebaikan kamu, Nadira. Om gak mau kamu kembali jatuh setelah berusaha mati-matian buat sembuhin mental kamu."

Penjelasan itu terlontar dari bibir tipis Dave yang kini duduk di tepi kasur Nadira. Ya, mau bagaimana lagi? Dia harus meminta maaf setelah melihat amukan Jave. Jika tidak di turuti, mungkin Jave akan menghajar ayahnya sendiri.

Air mata Nadira menggenang, kepalanya mengangguk walaupun hatinya masih terasa sangat sesak. "Hm, Nadira maafin kok."

Tangan kekar Dave mengusap pelan pucuk kepala Nadira. "Tenangin diri kamu ya? Sekarang, kamu udah gak ada apapun rahasia di hidup kamu. Semua udah jelas. Kamu harus sembuh untuk bales dendam."

Kedua alis Nadira tertaut. "Bales dendam?" beonya.

"Nadira, denger om baik-baik ya? hal ini emang gak pantes buat kamu denger, tapi orang tua angkat kamu yang sekarang adalah orang yang sudah ngebuat orang tua kandung kamu meninggal."

Demi apapun, Nadira seperti tersambar petir di siang bolong. Jave menarik lengan Dave kasar. "Papa jangan macem-macem lagi." tegurnya.

Dave menarik nafas dalam. "Papa udah cari tau semua tentang latar belakang dan orang tua kandung Nadira. Mamanya Nadira yang bernama Tiara meninggal di rumah sakit karena tumor otak, sedangkan papanya Beny meninggal satu bulan setelahnya karena kecelakaan tunggal."

Nadira mulai tak karuan, dia menutup kedua telinganya menggunakan tangan sambil sesekali menarik rambut frustasi. Jenan bergerak untuk menahan dan menenagkan gadis itu. "Ra, jangan gini."

"Kata papa orang tua kandung Nadira di bunuh sama om Doni, tapi papa juga bilang mamanya Nadira meninggal di rumah sakit karena tumor otak, jadi yang bener yang mana??" Jave meringis.

"Doni menyuruh orang buat nyuntikkin racun ke infusan Tiara. Kalau hal itu gak terjadi, mungkin dia bisa sembuh, karena tumornya masih stadium awal. Pihak kepolisian sebenernya udah pegang bukti kuat buat memenjarakan Doni, tapi sialnya Doni punya koneksi sama beberapa kejaksaan dan pengacara." Dave kembali menjelaskan.

Tangis Nadira sudah histeris hingga Ratna ikut turun tangan untuk menenangkan.

Sementara Jave sudah lemas, dia menatap Nadira parau dengan emosi yang mulai bergejolak.

.

.

.

"Gimana sama Nadira?" Ratna langsung berdiri ketika melihat Jave yang tengah menuruni anak tangga menuju lantai dasar.

Jave mengangguk. "Nadira udah tenang, dia tidur." Jawabnya.

Jenan dan Dave ikut menghela nafas berat. "Maafin papa kalo cara papa masih salah." Ucap Dave menatap sang anak lekat.

Senyum tipis Jave terbentuk, lalu duduk di salah satu sofa kosong. "Hm, gapapa. Aku ngerti maksud papa. Aku cuma kaget aja, papa bergerak secepat itu."

"Gini, kalo kamu di kasih dua pilihan antara di tusuk sepuluh pisau sekaligus atau satu persatu dengan gerakan santai. Kamu bakal pilih yang mana?"

"Sekaligus." Jenan dan Jave menjawab kompak. Keduanya saling berkontak mata selama beberapa detik, kemudian kembali teralih pada Dave.

Kekehan pelan Dave keluarkan. "Jadi udah ngerti kan maksud papa?"

"Hm." Jave mengangguk singkat.

Ratna menghela nafas pelan. "Tapi tante gak tega liat Nadira sampe sehisteris itu, tante takut dia ngelakuin hal yang engga-engga. Kasian, nasib hidupnya terlalu kejam." Tuturnya sendu.

"Kalo gitu, kita sebagai orang yang bernasib sedikit lebih baik harus bantu dia, kan?" Dave menaikkan sebelah alis sambil tersenyum.

Ratna membalas senyuman. "Iya, betul sekali. Walaupun tante baru kenal Nadira selama satu bulan lebih, tapi tante ngerasa udah deket sama Nadira. Dia periang, murah senyum, dan bisa ngebuat orang-orang di sekitarnya nyaman. Tante suka sama karakter Nadira."

"Udah keliatan kok dari awal saya liat anak itu. Dia keliatan baik-baik aja di luar, tapi hancur di dalem." Dave merasa tak tega.

.

.

.

Nadira membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar lalu melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 7 malam. Dengan kepala sedikit pening, dan mata yang sembab, Nadira berusaha mengubah posisi jadi duduk.

Demi apapun, kenapa rasanya sangat kacau? Mata Nadira bahkan mulai menggenangkan air lagi. Tidak, Nadira tidak mau menangis karena orang-orang brengsek itu. Cukup. Nadira memukul-mukul kepalanya sendiri bermaksud menyadarkan diri.

"Nadira?!"

Jave yang berniat memeriksa pun terkejut melihat keadaan Nadira. Dia langsung lari menghampiri gadis itu. "Ra, tenang. Nadira." Jave berusaha menahan kedua tangan Nadira.

"Jave, gua harus gimana? Gua harus ketemu sama mama papa, gua harus marahin dia. Gua harus lakuin apapun yang bisa gua lakuin. Jave..."

"Nadira, tenang." nada bicara Jave lebih tegas sekarang. Manik matanya menatap Nadira lekat. "Tenang, gua mohon tenang ya? Gak usah mikirin mereka dulu untuk sekarang, lu harus sembuh, lu harus tenang kalo mau ketemu sama mereka. Oke?"

"Tapi, Jave. Mereka udah ngebunuh orang tua kandung gua. Mereka udah bikin hidup gua hancur."

Jave memegang kedua bahu Nadira. "Denger. Gua, Jenan, sama tante Ratna pasti bakal bantu lu buat bales dendam. Kita gak akan diem, Ra. Sebelum itu, lu harus tenang dulu. Lu harus sembuh, lu harus berubah jadi cewek yang jauh lebih kuat atau mungkin sangat kuat. Kalo kondisi lu aja kayak gini, lu gakan pernah bisa ngalahin mereka."

Nadira terdiam sambil meremas selimut kencang. Benar juga apa kata Jave. Dia harus sembuh, bagaimanapun caranya dia harus sembuh. Dia tidak boleh terus jatuh seperti ini.

"Maaf, Ra. Harusnya gua kasih tau hal itu lebih awal. Gua takut, gua gak mau bikin lu makin sakit." ucap Jave merasa bersalah.

Air mata Nadira mengalir, tangannya bergerang meraih tangan Jave. "Gak usah minta maaf, lu gak salah. Justru gua mau berterima kasih karena udah ngejaga gua dengan baik."

"Gak usah makasih juga, Ra. Gua tulus ngelakuin itu."

"Jave, bantu gua buat berubah." Pinta Nadira parau, bahkan air matanya kembali mengembang. "Bantu gua juga buat ketemu sama orang tua kandung gua. Gua mau ketemu sama mereka. Gua mau sapa mereka. Gua juga mau ngadu sama mereka.."

Kelopak mata Jave ikut memanas mendengar permintaan Nadira. Tanpa mengatakan apapun, Jave langsung menarik Nadira kedalam pelukan hangat. "Hm, gua bakal bantu. Gua bakal lakuin apapun yang lu pinta. Gua bakal bikin lu bahagia, Ra. Camkan itu."

Perlahan air mata Nadira kembali mengalir. Sekuat apapun dia menahan, air itu tetap tumpah.

"Jave..."

"Hm? Kenapa sayang?"

Nadira melepas pelukan menatap Jave. "Apa lu masih butuh jawaban dari pertanyaan lu kemarin?"

Kedua alis Jave tertaut. "Yang mana?"

"Yang lu tanya gua, apa gua mau jadi pacar lu?"

Seketika tubuh Jave membeku kaku.

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang