Sesuai dengan informasi yang di berikan oleh Kenneth; subuh ini Dave mengerahkan sepuluh anak buahnya untuk mengawasi keadaan stasiun Kwangya. Keadaan benar-benar tegang, Jenan, Nadira, dan Jave bahkan tak bisa tertidur. Begitupun dengan omah dan Ratna yang ada di rumah bersama beberapa bodyguard.
Menit dan jam terus berlalu, tak ada tanda-tanda kedatangan Doni sama sekali. Apakah informasi dari Kenneth adalah informasi yang akurat? Atau mungkin anak itu hanya membuat jebakan saja?
"Bisa bantu hubungi Kenneth? Om ga ngeliat Doni sama sekali disini." Pinta Dave di dalam sambungan telepon bersama Jenan. "Oke, oke segera informasikan ke om ya." lanjutnya lalu memutus sambungan.
Di sisi lain, Jenan terus berusaha menghubungi Kenneth. Sialnya tak ada jawaban sama sekali. Apakah Kenneth sedang tertidur dengan ponsel mode silent? "Beneran gak di angkat, Jave." Ucap Jenan pada sang sepupu.
Nadira menghela nafas berat. "Kenneth gapernah silent hp kalo tidur, karena dia selalu pake alarm." Ucapnya sesuai dengan pengetahuan.
Kedua alis Jave menukik tajam. "Kalo dia gapernah silent hp, kenapa gak dia angkat?" tanyanya mulai cemas.
Merasa ada yang tidak beres, Jenan lantas kembali menghubungi Dave. "Om, kayaknya harus ada orang yang meriksa ke rumah Kenneth."
.
.
.
Lengguhan sakit terus terdengar dari seorang pria tampan yang meringkuk di lantai. Wajah Kenneth babak belur, begitupun dengan tubuhnya yang terus di pukuli oleh preman berbadan kekar.
"Dasar anak gak tau di untung, kamu pikir saya gak tau kalo kamu ngasih tau rencana kepergian saya ke Nadira??" ucap Doni bersedekap santai.
Kenneth tak sanggup untuk menjawab, mulutnya bahkan sudah memuntahkan darah segar.
"Sebenarnya saya bisa membunuh kamu disini, tapi saya masih memikirkan perasaan Jennifer." Lanjutnya sombong. "Saya gak ngerti kenapa kamu sok baik di depan saya selama ini, sementara kamu lebih berpihak ke Nadira. Kalo kamu mau jadi mata-mata, mending kamu mundur. Saya bukan orang yang gampang di tebak."
Kenneth hanya diam mendengarkan sambil menahan rasa sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya. Seperti inikah rasanya jadi Nadira? di pukuli sampai tak berdaya.
"Urus dia." titah Doni kemudian hendak melangkah pergi.
Di ambang pintu gudang, langkahnya di hentikan dengan segerombol pria berpakaian serba hitam. Mereka nampak sangat menyeramkan ketimbang preman-preman suruhannya. "Siapa kalian??"
Tak perlu menjawab, mereka langsung menerobos masuk untuk menolong Kenneth yang sudah tak sadarkan diri, namun masih tetap di pukuli.
"Kamu mau kemana?"
Suara berat itu membuat Doni terkejut. Dave melangkah santai sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. "Kamu gak akan bisa lolos dari saya." Katanya. "Kenapa kamu mukulin anak gak bersalah itu?"
"Kamu siapa?! Kenapa kamu bisa ada disini?!!" Tanya Doni membentak/
Dave tersenyum manis. "Perkenalkan, saya Dave; ayahnya Jave."
.
.
.
Ternyata dugaan mereka benar; kalau pasti ada sesuatu yang menimpah Kenneth. Sekarang, Kenneth sudah di larikan ke rumah sakit terdekat dan mendapatkan pertolongan pertama dari pihak medis. Ada banyak pendarahan dan luka dalam akibat pukulan benda tumpul.
"Ra, lu gak khawatir sama Kenneth?" tanya Jenan sambil menatap gadis itu yang sedang bersandar pada sofa sambil menggoyang-goyangkan kaki.
Nadira menoleh lalu menggeleng. "Gua? Khawatir sama Kenneth? Engga sama sekali. Buat apa gua peduli sama orang yang bahkan dulu ngebuang gua." Katanya.
Jave berdecih. "Gausah sok keren. Dulu siapa yang nangis-nangis pas di putusin Kenneth?"
"Berisik pacar!" omel Nadira sebal, lalu merebahkan tubuhnya.
Jenan hanya terkekeh pelan melihat tingkah menggemaskan Nadira.
"Ra, i love you ." Ucap Jave tiba-tiba.
Nadira melirik dingin. "I love me too." Katanya.
Jenan terbahak.
"Gak asik lu!" Protes Jave.
"Berisik lu!" Balas Nadira.
.
.
.
"Lakuin yang terbaik buat Kenneth." Pinta Dave kepada sang kepala UGD. Walaupun sebelumnya Kenneth bukanlah bagian dari pihaknya, tapi Dave ingin membalas kebaikan pria itu yang mau memberitahu rencana Doni secara cuma-cuma.
Kepala UGD itu membungkukkan tubuh ke arah Dave. "Baik pak, kami akan lakukan yang terbaik untuk pasien. Terima kasih untuk sumbangannya."
"Gausah terima kasih, ini demi kebaikan rumah sakit dan pasiennya." Dave menepuk bahu pria itu sebelum pada akhirnya melenggang pergi.
Ya, memang sebelumnya Dave pernah mendonasikan banyak alat medis baru dan juga kebutuhan darurat. Maka dari itu, kepala UGD bisa mengenalinya.
Helaan nafas berat Dave keluarkan membayangkan bagaimana mengenaskannya kondisi Kenneth. Bagaimana bisa Doni melakukan hal itu pada pemuda seperti Kenneth? Dan darimana Doni bisa tahu kalau Kenneth memberitahu rencana kepergiannya pada Jave dan Nadira?
.
.
.
Nadira melangkah santai menelusuri koridor rumah sakit sambil membawa segelas cokelat dingin yang baru saja dia beli di kantin lantai dasar. Langkahnya terhenti ketika menangkap seorang gadis berambut panjang yang sedang berusaha masuk ke dalam kamar Jave.
Siapa dia? siluetnya nampak tak asing.
"Maaf, Anda sia—" kalimat tanya Nadira menggantung ketika melihat wajah gadis itu. Ya, sudah sangat lama dia tidak melihatnya. "Jennifer?"
Jennifer menatap Nadira tajam. "Lu di luar ternyata, gua mau ngomong sama lu." katanya.
"Ngomong aja disini." Pinta Nadira lalu menyedot minumannya santai.
PLAK!
Tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipi kanan Nadira. Kedua mata Jennifer melotot penuh amarah. "Dasar cewek gak tau diri, dasar cewek gatau malu! Liat Kenneth sekarang! Dia sekarat karena berusaha bantuin lu!" omelnya.
Nadira mendengus pelan sambil membereskan rambutnya. "Apa urusannya sama gua? Dia yang milih buat bantu gua, bukan gua yang minta bantuan ke dia. Harusnya, sebelum dia ngebantuin gua, dia udah bisa mikir apa konsekuensinya. Lagian lu siapa marah-marah kayak gini?"
"Gua pacarnya!"
"Maaf gua koreksi sedikit. Mantan pacar. Kenneth juga sempet cerita tentang hubungannya sama lu." Nadira terkekeh tengil. "Bersikap sesuai posisi, jangan ngelewatin batas, ngerti?"
Emosi Jennifer semakin tersulut. "Brengsek! Jangan sok paling bener deh! Lu tuh cuma cewek lemah gak berguna yang terus berlindung di punggung Jave!" bentaknya.
Helaan nafas berat Nadira keluarkan, sepertinya dia sudah tak bisa menahan emosi lagi. "Iya, gua emang berlindung di punggung Jave, tapi maaf. Jave yang menawarkan itu duluan, bukan gua yang minta. Lagian sekarang gua udah jadi pacar Jave, jadi apa salahnya kalo gua terus berlindung sama dia? Iri ya?? Jangan iri, gabaik buat kesehatan kulit nanti cepet keriput." Tutur Nadira konyol.
Jennifer mengepal tangannya kuat.
"Gua kalo jadi lu udah kabur ke tempat yang jauh sekarang. Tapi, mungkin otak lu gak sepinter gua, jadi gapapa. Nikmatin aja permainannya sampe game over, oke? Gua gakan pernah berenti buat ngehancurin kalian semua, termasuk lu; cewek murahan yang udah ngebuat Kenneth ninggalin gua karena kepuasan birahi." Sindirnya lalu menghampiri pintu masuk.
"Jangan biarin siapapun masuk. Kalo masih keras kepala, patahin aja lehernya." Titah Nadira ke arah dua penjaga pintu, sebelum pada akhirnya melangkah masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) Rumah untuk Nadira
أدب الهواةKisah seorang gadis cantik bernama Nadira yang memiliki kehidupan sempurna di mata orang lain. Siapa sangka? Kesempurnaan itu hanyalah cangkang untuknya agar bisa bertahan hidup. Mempertahankan harga diri, mempertahankan martabat keluarga, dan memp...