28 :: Pelukan

197 28 7
                                    

Suasana benar-benar kacau, seluruh karyawan kebingungan dengan adanya pengambil alihan perusahaan secara tiba-tiba. Pasalnya, tidak ada pemberitahuan sama sekali di hari sebelumnya, terlebih lagi cara Nadira datang terbilang sedikit kasar dan kurang hajar.

"Perhatian, mulai sekarang saya adalah pemilik dari restoran ini beserta seluruh cabangnya. Semua gaji karyawan saya naikkan dua kali lipat, dan di adakan libur setiap satu minggu sekali secara bergantian." Jelas Nadira sesuai prosedur yang telah dia susun.

Yang tadinya bingung, seluruh karyawan restoran langsung memasang ekspresi girang. Benarkah sistem kerja mereka akan di ubah begitu saja?

"Nadira!!" Tania datang bersama Tasya dengan emosi yang sudah meledak-ledak.

Mereka kembali menjadi pusat perhatian seluruh pekerja.

"Kenapa?" tanya Nadira berani. Di sisi kiri dan kanannya sudah di jaga oleh bodyguard untuk menghindari sesuatu yang tidak di inginkan.

Tania melotot. "Kamu ini apa-apaan?! Jangan bersikap seenaknya kayak gini!" bentaknya lagi.

Senyum miring Nadira terbentuk sempurna sambil bersedekap. "Seenaknya? Bukannya tante yang bersikap seenaknya sama semua harta warisan aku? Tante juga ngadain sistem kerja restoran ini kayak romusha. Nadira denger bahkan ada beberapa karyawan yang gak bisa pulang selama beberapa hari karena di paksa buat terus kerja? Kalo kurang tenaga kerja itu buka lowongan, bukan malah nyiksa anak orang!" omelnya.

Hening. Tidak ada yang berani membantah ucapan Nadira.

"Kerja selama dua belas jam, tapi gaji selama satu bulan cuma dua juta? Kalo sekarang tante yang kerja dengan sistem seperti itu, apa tante mampu?" tanya Nadira.

Sementara Tania hanya melempar tatapan tajam penuh dendam.

"Tujuan mereka kerja itu cari uang, bukan jadi budak. Sekarang coba angkat tangan siapa yang umurnya masih di bawah dua puluh lima tahun?"

Ada dua pelayan wanita dan tiga pelayan pria yang angkat tangan.

Nadira mengangguk. "Mulai besok kalian gaboleh kerja disini lagi." ucapannya membuat seisi ruangan terkejut. "Tapi, kalian berlima bakal lanjut kuliah dengan beasiswa yang saya berikan. Setelah kalian lulus, kalian bisa kerja di perusahaan saya." Lanjutnya.

Kelima pekerja itu langsung memasang ekspresi bahagia sekaligus terharu.

"Sekian dari saya. Kalian berlima di mohon datang ke tempat ini untuk mengurus beasiswa lebih lanjut." Nadira meletakkan satu kartu nama yayasan omah.

Sebelum keluar dari pintu ruang staff, Nadira berhenti di sebelah Tania terlebih dahulu. "Perlakukan orang lain sebagaimana Anda mau di perlakukan." Sindirnya lalu melenggang pergi.

.

.

.

Brakh!

Brukh!

Jave sudah berhasil memiting tangan Reza dan menahannya di tembok. "Mau lanjut ke ronde dua gak?" bisiknya meledek.

Reza sudah tak berkutik karena tenaga Jave dua kali lipat lebih kuat dari dirinya. "Lepasin gua!" pintanya meronta.

"Gua penasaran gimana ekspresi kak Tasya kalo tau kelakuan asli lu." Jave sedikit menggoda untuk menjatuhkan mental Reza.

Benar saja, pria itu mulai merengek seperti anak kecil yang menginginkan sebatang permen lolipop. "Jangan, jangan kasih tau Tasya. Gua gamau pisah dari dia. Gua mohon maafin gua. Bilang ke Nadira gua minta maaf buat semuanya. Jangan ambil perusahaan ini, gua mau makan pake apa kalo gapunya kerjaan??" tuturnya.

Decihan pelan Jave keluarkan. "Orang gila makan sampah aja gak mati."

"Terus gua harus makan sampah gitu? Jave, gua denger lu anak konglomerat, lu juga udah pacaran sama Nadira. Berarti lu bisa menghidupi Nadira, kan? Udahlah perusahaan ini biarin buat gua, gua beneran gapunya apa-apa lagi." tawar Reza seenaknya.

"Menurut lu gua peduli? Engga tuh." Jave langsung menyerahkan tubuh Reza ke ajudannya untuk di bawa pergi.

.

.

.

Mereka tahu kalau ini adalah perbuatan yang salah, tapi mau bagaimana lagi? Mereka melakukan ini demi menyadarkan orang-orang brengsek itu agar mengerti kejamnya dendam manusia.

"Tenangin diri kamu dulu." Omah menatap Nadira yang tengah meneguk segelas air putih dengan cemas.

Ya, lagi dan lagi anxiety gadis itu kumat setelah bertemu dengan Tania dan Tasya. Tangan Nadira terus gemetar dengan keringat dingin membasahi keningnya. "Kenapa aku gapernah sembuh?" tanya Nadira.

Jave menggeleng. "Lu udah sembuh, ini tinggal bekasnya doang kok."

"Kuatin hati kamu Nadira. Kamu sudah jadi orang yang berbeda sekarang, kamu harus berani." Tante Ratna mencoba menyemangati.

Jenan mengangguk setuju. "Sebenernya kecemasan lu itu udah hilang, tapi trauma lu yang masih membekas." Tuturnya.

Nadira menarik nafas dalam sambil memejamkan mata bermaksud menertalkan suasana hati. Baiklah, dia harus jauh lebih tenang sekarang. Jangan mengingat trauma masa lalu, dan jangan takut dengan apapun lagi.

"Tenang ya? Ada gua." Bisik Jave mengusap-usap pelan kepala Nadira, kemudian teralih pada sang omah. "Oh iya, buat sisa perusahaannya siapa yang mau handle omah?" tanyanya.

Omah tersenyum. "Ada papa sama mama kamu. Mereka bakal bantu ambil alih dari kejauhan." Jawabnya membuat mata Jave membelalak lebar.

"Hah? Emangnya mama sama papa mau?"

"Omah udah obrolin sama mereka semalem."

.

.

.

"AH BRENGSEKKKK!!!"

PRANGGGG!

Doni membanting barang apapun yang ada di dekatnya. Dia sangat marah seolah dunianya telah hancur karena Nadira. "Kenapa surat warisan itu bisa ada di tangan Nadira?! Bukannya surat itu hilang pas kecelakaan orang tuanya terjadi?!"

"Ya aku mana tau!" Tania ikut membentak karena kesal.

Sedangkan Reza hanya duduk dengan keadaan kacau. "Sekarang kita gapunya apa-apa lagi, mama sama papa juga keliatan udah kehabisan cara." Ucapnya dengan kelopak mata memanas.

"Kamu diem! Kamu aja gapernah bantu apa-apa dasar anak bodoh!" Bentak Doni sambil menunjuk wajah Reza.

Kedua alis Reza menukik tajam, dia berdiri menarik kerah baju sang ayah. "Apa maksud papa!? Aku udah suruh papa buat bunuh Nadira, tapi apa?! Papa bahkan gapernah dengerin saran dari aku!! Papa selalu ngerasa paling bener!"

Tania mencoba melerai. "Udah, ribut gak akan menyelesaikan apapun!!"

"Bunuh, papa bakal bener-bener bunuh anak itu, dasar sialan!" gumam Doni lalu melangkah pergi bersama kunci mobil di tangannya.

.

.

.

Nadira melangkah santai menuju balkon rumah untuk menikmati pemandangan malam. Senyum tipisnya terbentuk menatap hamparan luas langit malam yang di hiasi gemerlap bintang.

"Mikirin apa?"

Suara berat itu membuat Nadira menoleh. "Mikirin lu." Jawabnya berhasil membuat Jave salah tingkah.

"Kiamat dunia kalo lu sampe mikirin gua." Sahutnya.

Nadira mendengus. "Enak aja, lu sendiri ngapain kesini kalo cuma buat gangguin gua??"

"Dih emangnya salah kalo mau nemenin pacar sendiri?" Jave memasang ekspresi bingung menatap Nadira.

Tanpa menjawab apapun, Nadira langsung memeluk tubuh kekar Jave. "Tetap begini sebentar lagi." pinta Nadira lalu memejamkan mata.

Jave masih mematung, namun perlahan dia membalas pelukan Nadira dan mengusap-usap pelan kepalanya. Entah apa yang sedang Nadira rasakan, yang terpenting Jave akan terus bersedia memberikan kenyamanan, ketenangan, dan kehangatan.

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang