30 :: Turun tangan

187 30 7
                                    

Jenan dan Ratna menatap sendu ke arah Nadira yang seharian berada di dalam ruang ICU. Gadis itu berisikeras untuk tetap menemani Jave sampai siuman tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Nafsu makan Nadira hilang, selera untuk berkomunikasi dengan orang lain juga memudar. Yang ada di kepalanya hanyalah Jave seorang. Dia benar-benar merasa bersalah atas apa yang telah menimpa Jave.

"Jenan permisi masuk dulu, luka Nadira harus di obatin lagi biar cepet kering." Pamit Jenan seraya membawa kotak P3K.

Kleck!

Nadira menoleh ke arah Jenan, lalu kembali tak peduli.

"Ra, biarin gua obatin luka lu dulu ya?" izin Jenan lembut, lalu duduk di sebelah Nadira.

Tak mengeluarkan suara apapun, Nadira hanya diam menikmati perihnya obat oles yang mulai menyentuh beberapa luka gores di permukaan kulitnya.

Helaan nafas berat Jenan keluarkan. "Abis ini makan bareng sama gua, mau? Dari kemarin lu belum makan apa-apa, Ra." Ajaknya.

Nadira menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Lu mau sakit, Ra? Kalo lu sakit siapa yang mau nemenin Jave disini?" ucap Jenan sedikit tegas. Padahal, sebenarnya dia hanya membujuk dan memberi dorongan pada Nadira. "Makan ya? Sedikit gapapa kok, seenggaknya perut lu keisi makanan. Gua yakin, Jave bakal sadar secepatnya."

Merasa di yakinkan, akhirnya Nadira mengangguk mantap.

.

.

.

Dave dan Fanny berlari menelusuri bangsal rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Ketika sampai di lorong ICU, mereka langsung menghampiri Ratna yang sedang duduk di depan salah satu kamar.

"Ratna!" panggil Dave.

Si pemilik nama menoleh terkejut. "Kakak?"

"Ratna, mana Jave? Bagaimana kondisi dia?? Kenapa bisa di tabrak??" tanya Fanny mulai menangis tak karuan.

Ratna memegang kedua tangan Fanny. "Tenang ya, Fan. Operasi Jave sukses, dan sekarang kita tinggal tunggu dia siuman." Jawabnya berusaha menenangkan.

Iris mata Dave menatap ke dalam ruangan, dimana ada Nadira yang sedang duduk sambil menggenggam erat tangan Jave.

Merasa ada kegaduhan di luar, Nadira pun menoleh bingung. Kelopak matanya membelalak melihat kehadiran orang tua Jave. Tanpa berlama, Nadira langsung beranjak keluar.

"Om, tante." panggil Nadira sumbang.

Dave menautkan kedua alis. "Ra, kamu gapapa? Kamu ada yang luka juga??"

"Hm.." Nadira mengangguk lengah, kemudian menatap Dave dengan mata sembabnya. "Om, tante. Maafin Nadira. Jave kecelakaan karena nyelamatin Nadira. Maaf." Ucapnya.

Air mata Fanny semakin deras mengalir. Kaki lemasnya melangkah perlahan menghampiri Nadira. "Ini bukan salah kamu sayang, kamu gausah minta maaf atau ngerasa bersalah ya." tutur Fanny lalu menariknya kedalam pelukan.

Tangis mereka pecah bersamaan. Fanny merasa khawatir akan keselamatan sang anak, sementara Nadira takut akan keadaan.

.

.

.

"Kamu bisa ceritain kronologi awalnya?" tanya Dave yang kini sudah duduk berhadapan dengan Nadira di kedai sebelah rumah sakit.

Nadira sedikit menunduk. "Awalnya aku mau pergi ke cafe yang ada di seberang kampus buat beli minuman. Aku pergi sendiri karena Jave ada materi tambahan. Pas mau nyebrang aku bener-bener udah mastiin gak ada kendaraan satupun, tapi anehnya ketika aku udah jalan ke tengah, ada satu mobil box yang melaju kenceng banget. Entah gimana ceritanya, tiba-tiba Jave ngedorong badan aku dari arah belakang, dan pas itu juga mobil box nya nabrak Jave." Ujarnya sebisa mungkin.

Dave menarik nafas dalam. "Oke, kamu gaperlu cemas tenang aja. Ini bukan salah kamu. Jave yang memutuskan buat nyelamatin kamu."

"Aku tetap ngerasa bersalah sama om, tante, omah, Jenan, dan terutama Jave." Suara Nadira kembali bergetar.

Tangan kekar Dave menyodorkan minuman dingin ke arah Nadira. "Di minum dulu, biar kamu jauh lebih tenang."

Nadira menyedotnya beberapa kali agar emosionalnya terkontrol.

"Kalau sudah kayak gini, om gak bisa ngebiarin kamu ngadepin sendirian lagi. Mereka sudah main kotor, namanya. Keadaan kayak gini sangat bahaya buat kamu yang gak tau otak asli manusia." Tutur Dave seraya memotong steak untuk Nadira.

"Makasih om." Nadira menerima dagingnya. "Jadi, maksud om apa?"

"Om bakal ikut turun tangan disini. Gak cuma om, tante Fanny juga bakal bantu. Kita berdua gakan pergi kemana-mana sampe kondisi Jave kembali normal."

Nadira memejamkan mata sesaat. "Maafin Nadira, om."

Dave terkekeh. "Mau sampe kapan kamu menyalahkan diri sendiri kayak gitu? Sampe keluarga angkat kamu itu berhasil ngambil warisan kamu lagi?"

"Engga." kepala Nadira menggeleng pelan.

"Kalo gitu bangkit. Di dalam peperangan pasti ada yang luka, dan bahkan gugur. Kita gaboleh jadi pihak yang gugur." Ucap Dave tegas.

.

.

.

"Maaf bos, yang tertabrak bukan gadis ini, tapi cowok yang tiba-tiba muncul dari arah belakang." Preman suruhan itu sudah kembali bertemu dengan Doni untuk memberitahu mengenai tugasnya.

Doni berdecak kesal. "Dasar gak becus! Kalian nabrak anak siapa??"

"Gak tau, bos. Tapi mereka keliatan deket." Jawabannya membuat Doni terdiam sesaat.

Dekat? Apakah Jave? Kalau memang Jave, Doni justru merasa bersyukur karena pria itu sudah membawa Nadira pergi dan membantunya terus menerus. Jave bahkan yang membuat Nadira mampu mengambil harta warisannya.

"Udah sana pergi!" titah Doni kasar.

Para preman itupun melenggang pergi meninggalkan Doni seorang diri.

.

.

.

"Om sudah dapat rekaman cctv yang ada di depan kampus."

Kalimat Dave membuat mata Jenan membelalak lebar. "Om serius?"

"Hm, ternyata mobil box itu menunggu Nadira dari gang yang jaraknya gak terlalu jauh. Mereka langsung menancap gas ketika Nadira mulai menyebrang. Ini, kamu lihat sendiri." Dave menyodorkan layar ponselnya ke arah Jenan.

Mata Jenan membelalak lebar, melihat bagaimana terpentalnya tubuh Jave. Sial. Berarti ini bukan sekedar kecelakaan, tapi percobaan pembunuhan. "Sekarang om ada rencana apa?"

"Om lagi cari tau plat mobil boxnya." Sahut Dave santai.

Jenan menghela nafas lega, akhirnya ada seseorang yang bisa membantu menyelesaikan kasus ini dengan cara cepat. Tidak perlu bertele-tele datang ke kantor polisi dan memohon pada hukum yang terkadang tak adil.

"Om, tapi Jenan langsung curiga ke salah satu keluarga angkat Nadira. Ini pasti ulah mereka." Jenan memberi pendapatnya.

Senyum Dave terbentuk. "Ya memang. Tapi, kita kan belum tau siapa pelaku utamanya. Kita harus bener-bener mastiin biar gak salah sangka. Satu persatu dari mereka harus mendapatkan hukuman sesuai dengan perlakuan mereka. Itulah dunia mafia." Ujarnya menjelaskan.

Dengusan pelan Jenan keluarkan. "Iya deh yang gaul sama mafia. Omong-omong aku permisi ke UGD dulu ya, om. Ada pasien dateng." Pamitnya, lalu melenggang pergi.

Dave mengangguk mantap. Kemudian menghampiri Fanny yang tengah duduk bersama Ratna di depan ruang ICU.

Apapun caranya, Dave tidak akan membiarkan siapapun terluka lagi. Terutama Jave, Nadira, dan Jenan. Mereka harus menjadi algojo yang kuat, dan mengetahui seluruh strategi rencananya.

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang