Nadira melangkah gontai melewati area ruang makan dengan keadaan kacau. Matanya sembab, bibirnya pucat, dan sekujur tubuhnya terasa nyeri. Pikiran Nadira kacau, perasaan serta hatinya pun pecah berantakan.
"Nadira, kamu mau kemana? Ayo sarapan dulu." panggil Tania.
Tak ada jawaban.
"Nadira!" kali ini Doni yang memanggil.
Tetap tak ada jawaban.
Gadis mungil berseragam itu terus berjalan keluar rumah. Semalam, Nadira bahkan hanya bisa tertidur satu jam saja akibat menahan rasa sakit. Iris matanya melirik ke arah rumah putih di seberang sana. Masih tertutup rapat. Sepertinya memang lebih baik tidak bertemu dengan Jave hari ini.
Dia lantas kembali menelusuri jalan aspal seorang diri menuju suatu tempat.
Tempat dimana Nadira akan menyerahkan seluruh hidup dan nasib malangnya. Dia sudah tidak kuat. Dia sudah tidak bisa melakukan apapun. Melapor polisi atas tindakan kekerasan? Sudah pernah Nadira lakukan, namun tidak merubah apapun.
Justru, polisi itu malah kenal baik dengan Doni dan menutup kasusnya sebagai kesalah pahaman. Saat pulang dari kantor polisi, Nadira kembali di pukuli habis-habisan oleh Doni.
.
.
.
Jave menghentikan motornya di depan rumah sang gadis pujaan. Senyum tipisnya sesekali terbentuk mengingat bagaimana dia bertukar pesan dengan Nadira semalam. Anehnya, Nadira langsung menghilang begitu saja sampai sekarang. Mungkin ketiduran???
"Pagi om." Sapa Jave ketika melihat Doni membuka jendela mobilnya.
Doni mengangguk singkat. "Kamu ngapain? Nadira sudah berangkat daritadi." Katanya dingin, lalu menancap gas pergi.
Kedua alis Jave tertaut bingung menatap mobil itu yang kian menjauh. Sudah berangkat? Benarkah? Perasaan semalam Jave sudah bilang akan menjemput Nadira. Tapi, kenapa gadis itu berangkat terlebih dahulu meninggalkan Jave?
Merasa aneh. Jave melirik arloji yang ada di pergelangan tangannya. Waktu baru menunjukkan pukul 06.17 pagi. Berarti, Nadira berangkat jam berapa?
Enggan membuang waktu, Jave lantas menyalakan mesin motor dan melesat pergi mencari Nadira.
.
.
.
Suara isak tangis seorang wanita, terus terdengar memecah heningnya suasana pantai. Nadira berdiri dengan kepala menunduk, air matanya tak kunjung mengering membayangkan semua nasib buruk yang menimpa dirinya.
Dia berencana mengakhiri hidupnya sekarang.
Untuk bertahan pun rasanya sangat percuma karena tidak ada orang yang memihaknya. Iris mata Nadira menatap gulungan ombak yang sesekali datang menghantam karang. Suhu airnya tidak terlalu dingin. Sepertinya akan lebih baik jika meninggal dalam keadaan tenggelam ketimbang menyayat urat nadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) Rumah untuk Nadira
FanfictionKisah seorang gadis cantik bernama Nadira yang memiliki kehidupan sempurna di mata orang lain. Siapa sangka? Kesempurnaan itu hanyalah cangkang untuknya agar bisa bertahan hidup. Mempertahankan harga diri, mempertahankan martabat keluarga, dan memp...