23 :: Hubungan (?)

227 42 7
                                    

Nadira berdiri di hadapan dua makam berhias batu nisan dan juga bunga-bunga indah di sekelilingnya. Perlahan dia berjongkok, membaca nama kedua almarhum/mah kemudian menghela nafas berat. Jadi, mereka adalah orang tua kandung Nadira yang telah tiada sejak lima belas tahun yang lalu?

Air mata Nadira mengembang begitu saja. Bukan air mata sedih, melainkan air mata yang di penuhi amarah dan juga rasa dendam. Kenapa keluarga angkatnya menyembunyikan hal ini darinya? Apakah hanya karena harta warisan?

"Biarin Nadira sendiri dulu." Sang omah menahan lengan Jave yang hendak menghampiri Nadira.

Decakan samar Jave keluarkan. Siapa yang tega melihat pemandangan seperti itu? Belasan tahun hidup menderita bak neraka, sampai pada akhirnya; sekarang baru bisa bertemu dengan kedua orang tua dengan dunia berbeda.

"Omah tau kamu khawatir sama Nadira, tapi biarin dia sendiri dulu. Biarkan dia berperang dengan hati dan pikiranya sendiri. Kasih dia waktu untuk berkeluh kesah dengan orang tuanya." Lanjut omah memberi nasihat.

Jenan mendesah gusar dengan sorot mata nanar, begitupun dengan Jave yang tidak bisa melakukan apapun selain menuruti perintah sang nenek.

Nadira mengusap pelan batu nisan kedua orang tuanya sambil tersenyum parau. "Apa kabar ma, pa? Maaf Nadira baru bisa dateng sekarang. Nadira baru ketemu sama orang-orang baik yang mau bantu Nadira nata hidup kembali. Mulai sekarang, Nadira bakal sering kunjungin kalian." Ucapnya di barengi dengan beberapa tetes air mata.

"Nadira emang gak tau kalian suka makanan atau buah apa, tapi Nadira bakal sering bawain makanan atau buah yang sekiranya kalian bisa suka." Lanjutnya sumbang.

Sekuat tenaga Nadira menahan isak tangis seraya terus menghapus jejak air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. "Nadira janji bakal ngehukum orang-orang yang udah nyakitin mama sama papa. Nadira janji." Ucapnya kemudian pecah.

Tangisnya pecah.

Nadira menunduk tangis sambil memegang dua batu nisan itu.

Tanpa peduli dengan nasihat omah, Jave langsung berlari ke arah Nadira dan menariknya ke dalam pelukan.

"Biarin aja." Kali ini Jenan yang menahan omah ketika hendak menyusul Jave.

Omah hanya bisa menghela nafas berat menatap Jave yang tengah berusaha menyalurkan ketenangan.

Tangan kekar Jave terus mengusap pelan pucuk kepala Nadira. Jave tidak melontarkan kalimat penghibur sama sekali, karena dia tahu yang Nadira butuhkan sekarang hanyalah sandaran dan ketenangan dari seseorang.

Dan itu adalah Jave.

.

.

.

"Apa kata kamu?! Ada Nadira di kampusnya Kenneth??!"

Tasya terkejut bukan main setelah mendengar cerita dari Jennifer. Bagaimana bisa gadis itu kembali lagi setelah bertahun-tahun menghilang? Dia bahkan memiliki hubungan khusus dengan cucu dari pemilik kampus? Sial, ini tidak bisa di biarkan.

"Kakak harus bilang ke papa sama mama. Ini gabisa di biarin." Tasya mulai gelisah.

Jennifer meringis. "Iya kak, tolong bilang ke om Doni sama tante Tania. Kalo di biarin terus, bisa-bisa Kenneth kena masalah di kampusnya."

"Udah kamu tenang aja, kakak pasti bantu beresin ini." Tasya mencoba menenangkan sang adik, walaupun sebenarnya hati dia juga tidak tenang.

.

.

.

Doni, Tania, dan Reza memutuskan untuk pulang lebih awal hari ini. Ketiganya di serang rasa gelisah serta cemas setelah mendapat kabar mengenai kembalinya seorang Nadira. Malam ini, keluarga kecil itu sudah berkumpul di ruang tengah dengan suasana canggung.

Ada Kenneth dan Jennifer juga disana.

"Bener kamu ngeliat Nadira?" Doni bertanya serius pada Kenneth.

Anggukan pelan Kenneth berikan. "Iya, saya bahkan sempet ngobrol sama Nadira."

"Terus?" Tania penasaran.

"Dia beda. Dia seperti bukan Nadira yang saya kenal dulu. Dia keliatan jauh lebih tenang dan dingin terhadap sekitar." Sahut Kenneth apa adanya.

Kedua alis Reza menukik tajam. "Mirip doang kali?"

"Saya udah coba tanya ke dosen tentang mahasiswa baru, katanya benar. Mereka itu Nadira dan Jave." Jawab Kenneth lagi.

Seisi ruangan itu hanya bisa terdiam. Pikiran mereka benar-benar campur aduk setelah mendengar pernyataan dan pengakuan langsung dari Jave.

"Ma, pa. Kita gabisa diem aja. Gimana kalo misalnya Nadira nyebabin masalah yang ngelibatin Kenneth? Terus gimana kalo misalnya Kenneth di keluarin dari kampus?" tutur Tasya meringis.

Doni memijat pelipis pelan. "Tenang, kamu tenang dulu. Kita harus selesaiin masalah ini pelan-pelan. Setidaknya kita harus bisa ngusir dua anak itu lagi dari tempat ini. Mereka terlalu bahaya buat kita."

"Pakai cara kotor, pa." Reza menyarankan. "Dari dulu aku udah saranin buat pake cara kotor, tapi papa gapernah dengerin aku. Lagian, sekalipun Nadira harus mati, dia udah gapunya siapa-siapa lagi disini."

Benar juga. Doni terdiam sejenak.

Sementara Kenneth tidak setuju dengan ide tersebut. Kenapa jadi merembet ke kriminal? Bukankah sudah cukup mereka menyiksa Nadira selama ini?

"Oke, kita coba cara Reza." Doni menyetujui.

.

.

.

Nadira menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Iris mata madunya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih, kemudian teralih pada jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, sedangkan dia belum makan sama sekali.

Kleck!

"Permisi tuan putri." Jave melangkah masuk sambil membawa sekantung plastik cemilan. "Ada paket buat tuan putri dari pangeran." Lanjutnya berguyon.

Kekehan pelan Nadira berikan lalu mengubah posisi jadi duduk. "Pangeran kodok atau pangeran monyet?"

"Gak ada yang bagusan dikit?"

"Engga." Nadira menggeleng pelan.

Jave mendengus gemas, lalu duduk di sebelah gadis itu. "Masih belum tenang?" tanyanya.

Nadira sedikit menunduk memainkan ujung kukunya. "Gua gatau apa yang lagi gua rasain sekarang. Rasanya sedikit aneh, rasa emosi gua jauh lebih besar ketimbang rasa sedih."

"Paham." Jave mengusap pelan pucuk kepala Nadira. "Gaboleh berlarut ya? Inget rencana kita dan inget tujuan kita. Gak usah mikirin hal yang gaperlu di pikirin. Oke?"

"Hm." Nadira mengangguk sambil tersenyum simpul.

Jave membuka kantung plastik bawaannya. "Nih cemilan buat lu. Kalo iseng atau laper tengah malem lu bisa makan ini sambil ngedrakor. Jangan diet-diet, nanti jelek." Cibirnya.

"Kalo perhatian tuh ya perhatian aja, gausah pake ngeledek." Protes Nadira sebal, membuat Jave terkekeh gemas.

"Santai, kapan lagi lu dapet cemilan dari pangeran." Jave semakin gencar untuk mengisengi.

Nadira berdecih. "Pangeran apaan kayak gini? Pangeran ubur-ubur."

"Gede dong pala gua." Sahut Jave mengundang tawa.

"Emang, makanya kepedean terus." Nadira mendorong kepala Jave sambil tertawa.

Tak terima, Jave memiting leher gadis itu menggunakan lengan kekarnya. "Ini mau gua apain kalo udah kayak gini?"

Nadira berusaha berontak. "Lepasin gak? Apa mau gua laporin ke polisi atas tindak kekerasan dalam hubungan?"

"Hubungan apa?"

"Gausah ambigu!" omel Nadira kesal.

Jave melongo. "Kan lu yang ambigu duluan."

Di tengah tingkah random keduanya, tiba-tiba omah muncul dari pintu kamar yang terbuka. "Emangnya hubungan apa?"

Pertanyaannya berhasil membuat Jave dan Nadira mematung di tempat.

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang