"Nadira!"
Panggilan itu membuat si pemilik nama menoleh ke sumber suara. Kenneth berlari kecil menghampiri Nadira yang hendak masuk kedalam perpustakaan. "Ra, bisa kita ngobrol sebentar?"
"Ada apa lagi?" tanya Nadira dengan raut wajah dingin.
Kenneth menghela nafas gusar. "Aku mohon pergi darisini, Ra. Jangan pernah kembali apapun alasannya. Aku gamau kamu kenapa-kenapa, apalagi sampe..." dia bahkan tidak bisa melanjutkan perkataannya karena tak pantas.
Nadira mendengus pelan menatap sang mantan kekasih. "Kenapa lu sekhawatir ini sama gua, Ken?" tanyanya heran. "Sekarang, kalo posisinya di balik apa lu bakal pergi? Setelah hidup lu di rusak sedemikian rupa sama orang tua angkat lu sendiri, dan semua harta warisan lu di ambil. Apa lu bakal ngebiarin begitu aja?"
Hening. Bibir Kenneth terbungkam hebat mendengar ucapan Nadira.
"Gua dateng kesini itu udah siap buat ngadepin monster kayak kalian. Sekalipun gua harus mati, itu nanti. Setelah gua berhasil ngebales seluruh rasa sakit gua dan orang tua kandung gua." Lanjut Nadira di barengi dengan air mata yang mengembang.
Dada Kenneth terasa sesak melihat Nadira yang sangat emosional. Ya, luka itu pasti sangat dalam dan bernanah. Apalagi, Kenneth meninggalkannya di saat titik terendah.
"Ra." panggil Kenneth lagi ketika Nadira hendak melanjutkan langkahnya. "Gua mohon maafin gua. Gua bakal lakuin apapun buat ngelindungin lu mulai sekarang. Gak peduli harus dengan harta ataupun nyawa. Gua gamau lu luka lagi. Biarin gua tebus semua kesalahan gua di masa lalu, Ra."
Dengan tolehan santai, Nadira menepis tangan Kenneth kasar. "Gaperlu, gua udah punya Jave." Jawabnya, lalu melenggang pergi.
.
.
.
"Walaupun lu tau semua rencana om Doni, bukan berarti lu bisa deket lagi sama Nadira."
Langkah Kenneth terhenti ketika melewati lorong kampus yang sepi. Ternyata ada Jave yang sedang menunggunya disana sambil berdiri dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.
Kedua alis Kenneth menukik samar, sementara Jave melempar senyuman simpul. "Sorry, tapi sebelumnya Nadira bilang ke gua soal obrolan kalian di depan perpustakaan tadi." Lanjut Jave berucap.
"Terus apa mau lu?" tanya Kenneth mulai kesal.
Jave menggeleng pelan. "Gak ribet, gua cuma minta lu jangan ganggu Nadira lagi. Gapeduli dengan omongan lu yang rela berkorban buat Nadira, tapi gua orang pertama yang udah berkorban buat dia." tuturnya tegas.
Kenneth berdecih. "Lu pamer?"
"Iya, gua pamer karena gua bangga sama diri gua sendiri. Gua gak ninggalin Nadira di saat titik terendah di dalam hidup dia. Apa lu tau kalo Nadira hampir mati di tengah pantai? Di saat itu lu bahkan bersenang-senang sama cewek lain."
Kali ini Kenneth benar-benar kalah telak. Dia sudah tidak bisa menyangkal atau menjawab apapun lagi.
"Nadira udah punya gua, dan dia gabutuh effort dari cowok lain. Apalagi cowok yang udah ngehancurin perasaannya. Rumah Nadira sekarang, adalah gua. Ngerti lu?" ucapnya penuh penekanan lalu melenggang pergi.
.
.
.
Setelah selesai kelas, Nadira dan Jave memutuskan untuk pergi berkeliling kota terlebih dahulu sebelum pulang kerumah. Keduanya menikmati pemandangan sore hari sambil sesekali menyedot minuman dingin di tangan mereka.
Jave membuka atap mobilnya, membiarkan angin sejuk dan sinar matahari masuk.
"Sering-sering ya keliling kayak gini." Kata Nadira sambil tersenyum manis.
Tangan kekar Jave meraih tangan Nadira, lalu menggenggamnya. "Setiap hari juga gapapa kalo lu mau." Jawabnya.
Senyum manis Nadira terbentuk sempurna, lalu kembali melihat ke sekitar. Kini, mereka berdua sampai di pinggir danau yang di hiasi dengan beberapa angsa berukuran sedang.
"Ayo duduk disana." Nadira menarik tangan Jave ke arah tepi danau.
Keduanya duduk bersebelahan, menikmati matahari yang mulai terbenam dan pemandangan romantis yang di ciptakan oleh beberapa pasang angsa.
"Ra." panggil Jave lembut.
Nadira menoleh. "Hm?"
"Makasih." Ucap Jave tersenyum. "Makasih karena udah mau bertahan sampe sekarang. Makasih karena udah mau ngelawan trauma dan rasa sakit lu. Dan makasih karena udah mau coba nerima perasaan gua." Lanjutnya.
Mendengar hal tersebut, hati Nadira terasa mencelos hingga kelopak matanya memanas.
Jave menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinga Nadira. "Hidup semua orang gak pernah ada yang sempurna, Ra. Jangan pernah ngerasa kecil hanya karena lu gapunya orang tua atau keluarga yang utuh. Lu punya gua." Katanya lagi.
Nadira mengangguk pelan di barengi beberapa tetes air mata yang meluruh begitu saja.
"Ih, kenapa nangis anjir?" Jave terkejut.
"Lu sih, gua jadi terharu." Nadira sedikit memukul lengan Jave sambil menyeka air matanya.
Kekehan pelan Jave keluarkan. "Uluh, sini di peluk dulu." Katanya langsung menarik Nadira kedalam pelukan hangat.
"Tapi ya Jave, gua juga mau bilang makasih." Nadira berucap di dalam pelukan. "Selain karena udah mau nolong gua, makasih juga karena udah bikin gua gak nyesel nerima perasaan lu.
.
.
.
"Aku pulang!!" teriak Nadira ketika baru saja masuk kedalam rumah.
Ratna menoleh menatap sepasang kekasih itu yang ekspresi wajahnya sumringah. "Wih, keliatan lagi bahagia banget. Abis darimana kalian?" tanyanya.
Jenan yang tengah memainkan ponsel langsung menyahut. "Paling juga abis bikin dede."
"WOI!" Nadira nyaris memukul kepalanya.
Ratna dan Jave tertawa.
"Aku abis ke pinggir danau sama Jave. Bagus deh, tante mau liat fotonya gak?" Nadira menyodorkan layar ponsel ke arah Ratna.
Sementara Jave langsung duduk di hadapan sang sepupu. "Tumben banget jam segini ada di rumah? Gak nyembelih orang lagi emang?"
Jenan menghela nafas. "Bisa berenti bilang gua nyembelih orang? Gua dokter operasi bukan tukang daging." Protesnya.
"Yailah, sebelas dua belas ini." Jave meremehkan.
Di tengah percakapan mereka, omah datang dari pintu masuk bersama dua pengawalnya.
"Loh omah??" Nadira sedikit terkejut dengan kedatangannya.
Omah tersenyum, lalu duduk di dekat mereka.
"Ibu ada apa dateng kesini? Bukannya ibu ada urusan lain?" kali ini Ratna yang bertanya.
Omah menatap Nadira sambil tersenyum bangga. "Kenapa kamu gak bilang kalo kamu sudah menandatangani semua surat warisan itu?" pertanyaannya berhasil membuat seisi ruangan terkejut. Kecuali Jenan.
"Ra, serius?!" tanya Jave terkejut.
Nadira menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Iya, baru semalem aku tanda tanganin omah."
"Lu tau, Je?" Jave bertanya ke arah Jenan.
Pria itu mengangguk. "Gua yang nyuruh."
"Engga sih, sebenernya aku juga mikir mau sampe kapan ngebiarin mereka nikmatin warisan orang tua aku. Makanya aku langsung tanda tanganin setelah di saranin sama Jenan. Lagian, aku mau cepet-cepet kasih pelajaran ke mereka." ujar Nadira.
Omah mengangguk. "Hm, omah paham. Sekarang tugas kamu harus olah perusahaan itu dengan sangat baik. Omah, sama om Dave bakal bantu dari belakang. Jave, Jenan, atau tante Ratna juga pasti bakal bantu kamu ngehandle perusahaan. Jadi, kapan kamu mau ngumumin ini ke semua karyawan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) Rumah untuk Nadira
FanfictionKisah seorang gadis cantik bernama Nadira yang memiliki kehidupan sempurna di mata orang lain. Siapa sangka? Kesempurnaan itu hanyalah cangkang untuknya agar bisa bertahan hidup. Mempertahankan harga diri, mempertahankan martabat keluarga, dan memp...