Pagi ini, Nadira sudah duduk di depan meja makan sambil menyantap roti berselai cokelat. Tidak ada pembicaraan apapun diantara mereka, Nadira asik bermain ponsel, Doni fokus membaca koran, sementara sisanya fokus melahap sarapan.
"Sayang, kamu mau bawa bekal atau makan di luar?"
"Bek-" Nadira menggantung ucapannya ketika melihat ke arah Tania. Ternyata pertanyaan itu di tunjukkan pada sang kakak; Reza.
Reza melempar senyuman manis. "Maaf, aku makan siang di luar aja, ma. Udah janji sama temen di kantor soalnya."
"Yaudah kalo Tasya gimana? Kamu masih dalam program diet?" kali ini pertanyaan Tania tertuju pada sang mantu.
Tasya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Iya, aku masih diet. Tapi kalo mama mau bawain bekal aku pasti makan kok." Nada bicaranya terdengar lembut.
Membuat Tania merasa senang dan langsung beranjak. "Kalo gitu mama bawain salad buah aja ya." ucapnya lalu melangkah menuju kulkas.
Nadira hanya terdiam, menatap layar ponselnya yang tidak mendapatkan notifikasi pesan dari siapapun. Biasanya, Kenneth mengirimkan ucapan selamat pagi atau kabar kalau dia sudah sampai di depan rumah Nadira.
Hampa. Dada Nadira kembali sesak saat mengingat alasan Kenneth meninggalkan dirinya begitu saja.
"Papa denger, ujian akhir semester kamu bakal di adain bulan depan?" Doni melontarkan pertanyaan ke arah si bungsu.
Kepala Nadira mengangguk pelan. "Iya, pa. Setelah pemilihan anggota OSIS baru." Jawabannya berhasil mengubah ekspresi wajah Doni menjadi dingin.
"Kamu ikut OSIS?"
"I-iya, pa. Aku kepilih jadi kandidat ketua OSIS." Nadira menjawab takut-takut.
Tangan kekar Doni menggulung korannya menjadi bentuk kubus dan di layangkan ke kepala Nadira.
Bugh!
"Harus papa pukul berapa kali biar kamu sadar kalo belajar itu jauh lebih penting?!" Bentak Doni membuat seisi ruangan mendadak hening.
Tania menghela nafas berat. "Pa, sabar. Masih pagi jangan marah-marah nanti darah papa tinggi loh." Bujuknya, lalu menatap Nadira sendu. "Ra, bener kata papa. Kamu harus pentingin belajar kamu ketimbang kegiatan lain. Kalo kamu kepilih jadi ketua OSIS, waktu belajar kamu pasti keganggu."
Kelopak mata Nadira memanas. "Kenapa papa sama mama gapernah dukung Nadira??" suaranya terdengar goyah.
"Jaga mulut kamu, Nadira!" bentak Doni tak terima.
Reza meletakkan sendok dan garpunya kasar. "Ra, sejak kapan lu berani ngebantah omongan mama? Sesusah itu lu nurutin ucapan orang tua??" protesnya.
"Gua selalu turutin kemauan mama sama papa selama ini. Tapi kayaknya susah banget buat ngedukung kemauan gua sesekali?! Gua gak minta banyak! Gua cuma butuh dukungan doang dari kalian yang notabenya keluarga gua!" Air mata Nadira mulai mengalir menelusuri pipi.
Emosinya benar-benar meledak, karena semua masalah bercampur aduk menjadi satu. Nadira lepas kendali, dia bahkan tidak peduli jika pagi ini akan di habisi oleh Doni.
Tasya merangkul Reza bermaksud menenangkan. "Udah sayang, biar papa kamu yang urus Nadira. Dia masih masa pubertas, masih gampang emosi." Katanya.
"Lu diem, gak usah ikut ngomporin." Sahut Nadira penuh penekanan menatap Tasya tajam.
Reza melotot.
Brakh!
"Apa maksud lu?! Berani lu kurang hajar sama istri gua?!" Bentaknya, kemudian berdiri menghampiri Nadira dan menarik rambutnya kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) Rumah untuk Nadira
FanfictionKisah seorang gadis cantik bernama Nadira yang memiliki kehidupan sempurna di mata orang lain. Siapa sangka? Kesempurnaan itu hanyalah cangkang untuknya agar bisa bertahan hidup. Mempertahankan harga diri, mempertahankan martabat keluarga, dan memp...