"Kenapa data pendapatan perusahaan bulan ini gak di kirim ke saya? Kalian udah gabecus kerja ya?"
Pertanyaan ketus itu terlontar dari bibir tipis Doni yang tengah mengomeli kedua karyawan kepercayaannya. Heran, dari adanya ratusan karyawan kenapa tidak ada satupun yang mengirimkan data tersebut kepadanya.
"Sekarang, kirim dokumen itu ke saya." Titah Doni. Namun tak ada yang bergerak sama sekali.
Dua karyawan itu hanya menunduk tanpa berani mengatakan situasi sebenarnya. "A-anu, maaf. Kita gabisa ngirim data itu ke bapak, karena..."
"Apa, kenapa???" nada bicara Doni naik satu oktaf karena tersulut emosi melihat sikap dua bawahannya.
"Karena Nadira sudah mengambil alih perusahaan ini."
Ketiganya menoleh ke arah sumber suara, dimana ada seorang wanita tua bertongkat dan dua bodyguard kekar di belakangnya. Mata Doni membelalak lebar melihat kehadiran sang omah di perusahaannya. "Apa maksud Anda?"
Omah mendengus pelan. "Kamu tuli ya? Saya bilang kalo Nadira sudah mengambil alih perusahaan ini sepenuhnya."
Kedua alis Doni menukik tajam walaupun lututnya mendadak lemas. "Atas dasar apa dia mengambil perusahaan ini? Saya yang membesarkan dan mengurus selama puluhan tahun!" bentaknya berani.
Mendengar ocehan Doni, omah tentu terkekeh geli. "Harusnya Nadira yang bertanya seperti itu ke kamu. Atas dasar apa kamu menguasai semua harta warisan Nadira dari orang tua kandungnya? Hey, kami harusnya tau malu dan bersikap baik kepada Nadira, karena kalau tidak, saat itu kamu sudah mati kelaparan." Tutur Omah berani.
Sial. Darimana wanita tua bangka itu mengetahui masa lalunya?
"Bertahun-tahun kamu membesarkan perusahaan ini, tapi bertahun-tahun juga kamu memukuli Nadira. Ayah angkat macam apa kamu? hah? Dasar brengsek." Umpat omah kesal. Setelah itu dia menatap kedua bodyguard-nya. "Beresin ruangan ini biar jadi ruangan baru yang nyaman. Saya gak mau denger keluhan dari Nadira nanti."
"Siap, nyonya." Bodyguard itu langsung menghubungi pihak dekorasi.
Omah melirik Doni. "Ngapain kamu masih disini? Keluar sekarang. Kamu bukan siapa-siapa lagi disini, ngerti?"
Dengan rasa malu sekaligus marah, Doni lantas melenggang pergi.
.
.
.
Pengambilalihan perusahaan di lakukan hari ini, selain omah; Nadira, Jave, dan Jenan juga ikut mendatangi seluruh perusahaan milik orang tua kandung Nadira untuk mengubah segala bentuk dan kinerjanya.
Di waktu bersamaan, Tania tengah sibuk menyiapkan makanan untuk seluruh pejabat kaya yang datang untuk mencicipi. Tak lupa, sebagai menantu yang baik Tasya juga membantu. "Selamat menikmati bapak, ibu. Ini ada beberapa menu baru dari kami yang baru di rilis minggu lalu. Kami harap kalian bisa menikmatinya." Ucap Tasya lembut.
Mereka semua mengangguk senang, dan mulai menyantap makanannya. "Wah, apa ini resep yang kalian buat sendiri? rasanya enak banget!" salah satu pejabat berperut buncit memujinya.
"Terima kasih." Tania membungukkan tubuh bersama Tasya.
Setelah itu, iris mata keduanya menangkap sebuah mobil alphard berwarna hitam pekat yang berhenti tepat di depan pintu restoran. Keluarlah lima bodyguard bertubuh kekar, dan juga satu wanita mungil berkacamata hitam.
"N-Nadira..." lirih Tasya dengan mata membelalak.
Tania pun ikut terkejut. "A-apa? Nadira???"
"Halo, apa kabar??" Nadira tersenyum manis sambil melambaikan tangannya ke arah Tania dan Tasya. "Cuma mau kasih tau, kalo mulai hari ini semua kendali restoran dan perusahaan ada di tangan saya."
Tania melotot. "Kamu jangan kurang hajar! Ngapain kamu dateng ke restoran saya?!"
Tanpa menjawab apapun, Nadira langsung memberi isyarat kepada para ajudannya untuk bergerak.
"Siap nona." Mereka langsung bergerak masuk tanpa mengacaukan restoran.
Ya mereka hanya ingin menerobos masuk untuk mengambil seluruh barang tak berharga milik Tania, dan menggantinya dengan milik Nadira.
"Kamu apa-apaan?!!" Tania menarik-narik kerah baju Nadira kesal.
Sementara Nadira hanya tertawa pelan. "Aku cuma mau mengambil hak aku, apa salah? Lagian aku udah tanda tanganin surat warisan itu." ucapnya santai.
Tasya melotot. "Lu gila ya?!"
"Hai." Nadira hanya melambaikan tangan ke arah Tasya sambil tertawa tengil.
.
.
.
Jave melangkah memasuki perusahaan bersama sepuluh ajudan di belakangnya. Ya, ini adalah perusahaan kedua terbesar setelah perusahaan yang di kuasai Doni. Jave menerobos masuk tanpa kata permisi, membuat semua karyawan merasa takut sekaligus bingung.
Brak!
Mengingat bagaimana kelakuan Reza terhadap Nadira, Jave akan menerapkannya disini.
"Ada apa ini?" tanya Reza yang sedang sibuk bercinta dengan seorang jalang di dalam ruang kerjanya.
Wanita itu bahkan sudah melucuti separuh pakaiannya.
Jave berdecih. "Udah keluar belom?" cibirnya.
Reza melotot sambil sibuk membenarkan jasnya. "Lu ngapain dateng kesini? Jangan bikin kacau di perusahaan gua!" katanya.
Jave melirik sepuluh ajudannya, memberi isyarat untuk membereskan ruangan tersebut.
"Siap tuan."
"Pastiin gak ada kondom yang nyelip di bawah kursi atau dimanapun itu." ucap Jave berani, lalu tertawa konyol menatap Reza. "Gak usah takut gitu, gua gak jahat kok. Cuma agak kejam aja." Bisiknya.
Rahang Reza mengeras. "Lu ngapain anjing?! Jangan macem-macem sama gua!" bentaknya menarik kerah baju Jave kasar.
"Gua gak macem-macem, gua dateng cuma buat ngejalanin tugas dari pemilik baru perusahaan ini; Nadira." sahutan Jave berhasil membuat Reza terbungkam.
"Apa maksud lu?"
Senyum miring Jave terbentuk. "Apa ya? kira-kira apa kalo bukan pengambilalihan harta warisan?" tanyanya.
Perlahan cengkraman Reza terlepas, dan kini giliran Jave yang menarik kerah kemejanya kasar. "Sekarang, dunia udah terbalik dan lu gakan bisa ngehentiin hal itu. Yang bisa lu lakuin sekarang adalah sujud di kaki Nadira sambil minta maaf, sekalipun Nadira gakan pernah bisa maafin lu." ucapnya penuh penekanan.
Alis Reza menukik. "Anjing lu."
"Kalo gua anjing, lu apa? Apa kata yang jauh lebih hina dari anjing?" Jave berdecih. "Gua masih inget semua cerita Nadira tentang kelakuan lu selama ini, dan gua ngerasa sebutan anjing bahkan masih terlalu bagus buat lu." lanjutnya.
Di tengah suasana sengit, salah satu bodyguard menghampiri Jave. "Tuan, semua sudah selesai. Tim dekorasi lagi jalan kesini." Katanya.
Jave melepas cengkramannya. "Bagus, ayo kita cabut." Ajaknya.
Ketika hendak melangkah keluar pintu ruangan, Reza menodongkan sesuatu yang dia ambil dari dalam lacinya.
Sebuah pistol.
"Kembaliin semua barang gua, atau gua tembak mati lu disini!" ancam Reza histeris.
Jave kembali berbalik badan menatap pria itu. "Silahkan, kematian gua gakan ngerubah apapun. Nadira bakal tetap bikin lu jadi orang paling sengsara di dunia ini." tantangnya.
"Turunin senjata itu!"
Lima dari sepuluh bodyguard Jave ikut mengeluarkan pistolnya dari saku celana.
Tawa kejam Jave terdengar. "Kayaknya lu kalah jumlah."
"Bangsat!!! Kembaliin semuanya!!!" Reza berteriak histeris.
Karena merasa lelah, Jave melepas jaketnya. "Kita mau main pistol pake gaya apa sekarang?" tanyanya lalu mengambil alih salah satu pistol milik bodyguardnya. Jave menodong balik ke arah Reza.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) Rumah untuk Nadira
FanfictionKisah seorang gadis cantik bernama Nadira yang memiliki kehidupan sempurna di mata orang lain. Siapa sangka? Kesempurnaan itu hanyalah cangkang untuknya agar bisa bertahan hidup. Mempertahankan harga diri, mempertahankan martabat keluarga, dan memp...