36 :: Perpisahan

408 31 15
                                    


Nadira sudah duduk di kursi penggugat bersama Fanny. Tangan gadis itu terus gemetar di barengi bulir keringat dingin yang mulai keluar dari keningnya. Tidak, bukan karena takut, tapi karena mental Nadira belum pulih sepenuhnya. Selama ini, dia hanya berusaha untuk kuat walaupun pada akhirnya tetap kembali tumbang.

"Sayang, tenang ya? Kita udah pasti tenang. Kalo nanti di ajuin pertanyaan, kamu cukup jawab dengan sangat amat jujur, jelasin semuanya biar hakim bisa menilai." Bisik Fanny lembut seraya menggenggam tangan Nadira.

Gadis itu hanya mengangguk pelan sambil berusaha menetralkan detak jantung.

Jave, Jenan, Dave, Omah, dan Ratna sudah duduk santai di kursi penonton. Banyak sekali awak media yang datang untuk melihat persidangan tersebut. Suasana mendadak tegang ketika dua terdakwa di bawa masuk kedalam ruangan.

Iris mata Nadira beradu tatap dengan Reza dan juga Doni. Sementara Tania dan Tasya hanya di kenakan denda yang sangat besar atas pelecehan verbal terhadap Nadira.

"Jangan tatap mereka. Jangan terintimidasi oleh mereka. Bersikap kayak biasa." Pinta Fanny menguatkan.

Tarikan nafas panjang Nadira lakukan untuk menenangkan diri serta pikiran. Baiklah, dia harus bersikap seolah dia tidak takut dengan apapun. Seperti terakhir kali mereka bertemu. Bisa, Nadira harus bisa.

Selang beberapa menit, hakim pun melangkah masuk kedalam ruangan dan pengadilan di mulai. Suasana tegang terus mendominasi seisi ruangan. Beberapa orang yang menonton meringis ngeri melihat foto-foto luka di tubuh Nadira yang di akibatkan pukulan Doni.

Sebagai korban, Nadira hanya menunduk dengan kelopak mata memanas. Dia terus menguatkan diri agar tidak lemah di hadapan kedua pelaku.

"Penggugat, apa kamu bisa menceritakan bagaimana kejadian malam itu? Malam dimana terdakwa Reza hendak melakukan pelecehan?"

Pertanyaan itu membuat mata Jave melebar. Demi apapun, apakah dia baru saja salah dengar? Kenapa ada kasus seperti ini? Jave melirik Jenan, Omah, Dave, dan Ratna. Mereka tidak terlihat terkejut, apakah hanya Jave yang tidak mengetahui hal ini?

"Pa, ini kasus apaan??" tanya Jave bingung.

Dave menghela nafas. "Kamu bisa denger sendiri dari Nadira." sahutnya tanpa menatap lawan bicara.

Nadira mulai menceritakan hal tersebut dengan suara bergetar. Rahang Jave mengeras, kelopak matanya memanas, dan tangannya mengepal kuat. Sial, apakah Nadira benar-benar mengalami hal itu?

Setelah cerita berakhir, Nadira menoleh menatap Jave dengan sorot mata bersalah. Sejujurnya dia merasa bersalah karena tidak menceritakan hal itu pada Jave.

"Dia gak berani cerita ke lu, karena dia tau apa yang bakal terjadi." Bisik Jenan tenang.

Jave hendak berdiri, namun langsung di tahan oleh Jenan dan Dave. Pria itu berontak, ingin rasanya menghampiri Reza dan membunuhnya saat itu juga. Demi Tuhan dia benar-benar marah sekarang.

Kedua terdakwa tak bisa mengelak, pengacaranya pun sudah tak bisa membela lagi setelah banyaknya bukti dan juga keakuratan. Kasus ini sangat keterlaluan.

"Sesuai keputusan akhir juri, atas tindakan penganiayaaan anak di bawah umur selama bertahun-tahun, dua kali percobaan pembunuhan dan penipuan; terdakwa Doni akan mendapat hukuman penjara seumur hidup. Tanpa pembebasan bersyarat."

TOK! TOK! TOK!

"Sesuai keputusan akhir juri, atas tindakan pelecehan verbal, non verbal, serta percobaan pembunuhan; terdakwa Reza akan mendapat hukuman penjara seumur hidup. Tanpa pembebasan bersyarat."

TOK! TOK! TOK!

Palu sudah di ketuk, yang berarti keputusan hakim sudah bulat.

Seisi ruangan menghela nafas berat karena akhirnya para pelaku berhasil di tangkap dan di hukum. Walaupun masih tak sebanding dengan apa yang Nadira alami, tapi hukuman tersebut sudah cukup membuat dua orang itu menderita dan membusuk di penjara.

"Selesai sayang, semua udah selesai." Fanny memeluk tubuh mungil Nadira.

Tangis Nadira pecah. Entah apa yang dia rasakan, intinya sangat lega karena dia bisa mendapat keadilan lagi di dunia ini.

Setelah hakim meninggalkan ruangan, Jave, Dave, Omah, Jenan, dan Ratna menghampiri tempat Nadira dan Fanny berada. Iris mata Jave menatap Reza, kemudian melangkah ke arahnya.

Sret!

Bugh!

Seluruh saksi mata memekik kaget melihat aksi tersebut. Dave dan Jenan kembali menahan tubuh Jave yang sudah di butai oleh emosi. "Jave, tenang!" bentak Dave.

Reza sudah tersungkur ke tanah.

"Anjing, harusnya lu bersyukur karena gua gatau dari awal. Gua bisa pastiin lu menderita di dalam penjara." Umpat Jave penuh rasa dendam.

Tak ada jawaban apapun, beberapa petugas langsung membawa Doni dan Reza pergi dari tempat itu.

Nadira melangkah menghampiri Jave dengan wajah sembab. "Jave..." panggilnya sumbang.

Si pemilik nama menoleh, ekspresinya masih terlihat kesal. "Ra, kenapa lu gapernah bilang?"

Grep!

Tanpa mengatakan apapun lagi, Nadira langsung memeluk Jave erat. "Maafin gua. Maafin gua karena gua gabisa jujur sama lu. Gua takut. Gua takut lu bakal ngelakuin hal di luar batas." Katanya.

"Tapi kan..Ra, gua kaget." Jave menghela nafas berat. Dia berusaha menenangkan diri, kemudian mengusap kepala Nadira. "Gapapa, udah. Lagian semua udah selesai. Lain kali harus cerita apapun itu. Gua pacar lu, gua mau tau semua tentang lu karena gua peduli sama lu. Paham?"

Nadira mengangguk dalam pelukan.

Omah tersenyum manis menatap mereka berdua. Tak terasa semua telah selesai. Persidangan pun berjalan dengan lancar.

"Nadira!"

Suara panggilan itu membuat mereka menoleh, menatap seorang pria yang datang bersama seorang asisten di belakangnya. Kenneth melangkah dengan gontai menghampiri Nadira.

"Kenneth?" Dave terkejut bukan main.

"Ra, gimana persidangannya?" tanya Kenneth ketika sampai di hadapan Nadira.

Senyum tipis Nadira terbentuk sempurna. "Lancar. Makasih ya, udah mau dateng." Katanya.

Kenneth menatap Jave. "Lu udah sembuh?"

"Udah, lu sendiri gimana? bukannya belom boleh keluar dari rumah sakit?" jawab Jave di iringi pertanyaan kembali.

Kekehan pelan Kenneth keluarkan. "Gua kabur. Gua mau ketemu sama kalian dulu sebelum kalian pergi darisini." Tuturnya. "Ra, jaga diri baik-baik ya? Gua berharap hubungan lu sama Jave terus berjalan lancar sampe kita bisa ketemu lagi nanti." Lanjutnya.

Entah mengapa kelopak mata Nadira memanas. "Makasih, Ken. Gua juga berharap lu bisa hidup bahagia disini. Cukup jadi cowok brengseknya, lu udah dewasa! Bukan waktunya lagi buat main-main."

"Iya, gua udah tobat kok berkat om Dave." Sahut Kenneth sambil tersenyum ke arah Dave.

Jave melangkah mendekat. "Jangan tinggalin cewek dengan alasan konyol, Ken. Itu terlalu pengecut." Katanya menepuk bahu Kenneth.

Kepala Kenneth mengangguk pelan. "Iya, gua belajar banyak dari lu. Makasih ya. Jaga Nadira baik-baik. Sampe ketemu lagi." ujarnya.

'Ya, seperti itulah perpisahanku dengan rumah pertamaku. Sekarang, aku sudah mendapatkan rumah yang jauh lebih nyaman. Rumah itu selalu memberikan ketenangan, dan juga kebahagiaan di setiap detik. Tuhan memang adil, dia menjauhkanku dari orang-orang brengsek dan mempersatukanku dengan orang-orang yang luar biasa baik. Terima kasih Dunia, karena telah memberiku banyak pelajaran.'
-Nadira.

-END-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang