21 :: Nasihat omah

227 49 10
                                    

Setelah membuat Jave menunggu selama berbulan-bulan, akhirnya Nadira memutuskan untuk memberi jawaban. Jawaban atas perasaan yang dia rasakan belakangan ini. Deg-degan, berkeringat, hingga tidak bisa berhenti memikirkan Jave; bukankah itu cinta?

Ya. Tiga tahun sudah berlalu begitu saja. Nadira menjadi sesosok gadis dewasa berambut hitam sebahu yang akan segera masuk ke universitas Angkasa bersama Jave. Tidak mudah baginya bisa bertahan sampai sejauh ini dan mengubah kepribadian diri sendiri.

Nadira melewatinya penuh keringat serta air mata.

"Aku berangkat dulu, kesiangan." Pamit Jenan terburu-buru lalu meneguk habis segelas susu miliknya.

Ratna berdecak. "Sarapan dulu dong."

"Gabisa, aku pergi dulu. Hari ini banyak jadwal." Katanya.

Entah mengapa, Jenan berubah pikiran untuk mengikuti sekolah kedokteran. Berkat kecerdasannya, sekarang pria itu sudah nyaris menjadi dokter bedah yang handal. Walaupun masih junior, dia seringkali mendapat pujian dan di andalkan oleh para seniornya.

Nadira melangkah keluar dari dalam kamar dengan ekspresi bingung. "Si Jenan telat lagi?"

"Iya tuh, semalem tante liat jam tiga subuh masih kerja di ruang tengah sendirian." Sahut Ratna merasa khawatir.

Kepala Nadira menggeleng pelan tak habis pikir. "Sampe segitunya. Oh iya, Jave belum bangun, tan?"

"Udah kok, dia berenang daritadi di belakang." Jawabnya membuat kedua mata Nadira melebar.

"Kurang hajar, aku di tinggal." Umpat Nadira sebal lalu berlari pergi.

Ratna terkekeh pelan menatap punggung Nadira. Gadis itu sudah banyak berubah. Dari segi sifat, sikap, dan bahkan cara bicaranya jadi sangat dewasa.

.

.

.

Plak!

Byur!!

Jave terkejut bukan main ketika ada seseorang yang memukul punggungnya dengan kedua tangan, lalu mendorongnya hingga tercebur.

"Anjir, Nadira!" umpatnya setelah berhasil muncul ke permukaan.

Si pelaku hanya tertawa sambil duduk di tepi kolam. "Siapa suruh ninggalin gua." Gerutunya.

"Lagian mau berenang kok harus mandi dulu, mana lama bener." Jave protes lalu berenang menghampiri. Dia meletakkan dagunya di atas paha Nadira. "Kangen gak?"

"Gak." Nadira nampak sarkas.

Membuat Jave mencibikkan bibir. "Jahat banget."

Jari lentik Nadira terulur mengusap pelan rambut Jave yang basah kuyup. "Besok kita bakal balik ke tempat itu. Disana pasti ada Kenneth. Apa semuanya bakal baik-baik aja?"

Jave naik ke tepian dan duduk di sebelah Nadira. "Gua yakin semuanya bakal baik-baik aja. Sekalipun Kenneth ganggu lu lagi, lu bisa hajar dia. Lu yang sekarang bukan lu yang dulu. Lu beda. Cewek kesayangan gua bukan cewek yang lemah lagi." ucapnya memberi semangat.

Nadira tersenyum manis. "Apaan si combro."

"Lah gua serius." Jave menukikkan kedua alisnya samar.

Nadira mengangguk. "Iya-iya, makasih ya. Gua gak tau bakal gimana kalo gak ketemu sama lu. Makasih karena udah pulang dari London hari itu, dan makasih juga karena udah ngajak gua kenalan di depan kantin."

Kekehan pelan Jave keluarkan, lalu menarik Nadira hingga mendarat di dada bidangnya. "Harusnya gua yang makasih karena lu udah mau lahir ke dunia ini."

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang