35 :: Keputusan

187 24 5
                                    

"Saya udah menyerahkan semua bukti kejahatan Doni serta keluarganya ke pihak ke polisian. Kita gabisa menunda hal seperti ini, kalo udah sekali jalan harus tetap jalan lurus kedepan. Jangan menepi apalagi berbalik badan." Ujar Fanny tegas di hadapan Omah, Ratna, Jenan, dan Dave.

Helaan nafas berat Dave keluarkan. "Fanny bener, ibu. Sekarang waktunya kita bergerak selagi mereka lemah. Nadira harus cepat-cepat mendapatkan keadilan." Katanya menambahkan.

Omah hanya diam, mendengarkan anak-anaknya berbicara.

"Warisan udah berhasil di ambil alih, semua bukti kejahatan juga udah ada semua di tangan kita. Berarti kita udah berada di pihak yang menang, mereka gakan bisa ngelak apalagi ngeles. Kabarnya gak ada pengacara yang mau membantu mereka di dalam kasus ini karena melawan kita." Tutur Ratna memberitahu.

Jenan menatap anggota keluarganya. "Ada satu kejahatan yang belum di ungkap." Ucapnya membuat suasana mendadak hening.

Kedua alis omah tertaut bingung. "Apa?"

"Reza pernah hampir melecehkan Nadira." jawabannya berhasil membuat mata mereka membelalak lebar. "Aku sengaja sembunyiin ini karena takut Jave tau. Mungkin sekarang udah waktunya kalian semua tau, dan sekalian di bawa kasus ini ke pengadilan." Lanjutnya.

Fanny memasang ekspresi kesal. "Sialan, dasar gapunya otak. Mau gimanapun keadaannya, saya bakal jadi pengacara Nadira di pengadilan nanti. Gak ada penolakan! Saya gapeduli apa kata orang, saya bener-bener marah sekarang." katanya.

.

.

.

"Seneng gak calon mama mertua lu jadi pengacara lu nanti di pengadilan?" tanya Jave menggoda.

Nadira mendengus pelan seraya mengaduk bubur, lalu menyodorkannya ke arah Jave. "Seneng kok, yang bikin gua gak seneng itu gua gatau harus ngebayar tante Fanny pake apa. Dia udah terlalu baik selama ini."

"Nikah sama gua." Sahut Jave sekenanya membuat mata Nadira melebar.

"Dih, kalo kayak gitu ceritanya berarti nih judul buku di ganti jadi nikah karena hutang." Tutur Nadira tak kalah konyol.

Jave tertawa. "Kampret lu, emangnya lu gamau nikah sama gua?"

"Mau, tapi bukan karena hutang. Gua mau nikah itu karena rasa cinta, bukan balas budi."

Jawaban Nadira kali ini membuat Jave terbungkam sesaat. Senyum tipisnya terbentuk menatap gadis itu lekat. "Tumben banget ngomong kayak gitu? Kesambet setan jamban ya lu?"

"Engga anjing!" Nadira hendak menimpuk Jave menggunakan ponselnya.

.

.

.

Ting tong!

"Iya sebentar." Tasya melangkah ke arah pintu utama dan membukanya perlahan.

Betapa terkejutnya dia melihat segerombol polisi yang sudah berdiri di hadapannya. "Maaf, cari siapa?"

"Kami dari pihak kepolisian setempat mendapat perintah untuk menangkap Reza atas penganiayaan dan pelecehan anak di bawah umur." Katanya menunjukkan satu surat penangkapan.

Belum sempat memberi jawaban. Segerombol polisi itu langsung menerobos masuk menghampiri Reza yang sedang duduk di ruang tengah bersama Tania.

"EH APA-APAAN INI!?" bentak Reza ketika tangannya di borgol kebelakang.

"Anda bisa bertanya di kantor polisi." Sahut sang petugas sebelum pada akhirnya menyeret Reza keluar dari rumah.

Keadaan benar-benar kacau, seluruh tetangga keluar melihat kericuhan yang terjadi di dalam keluarga tersebut. Mereka juga sudah mendengar tentang penganiayaan yang mereka lakukan terhadap anak bungsunya; Nadira. Tak sedikit yang mengutuk keluarga Doni dengan kata-kata kasar di setiap harinya.

.

.

.

"Saya gapernah melakukan pelecehan apapun! Saya punya istri!" bantah Reza dengan nada bicara tak sopan.

Dari arah pintu masuk, Fanny datang bersama dua bodyguardnya. "Jadi kamu orang yang nyaris melecehkan Nadira?" tanyanya berani, lalu duduk di sebelahnya. "Perkenalkan, saya Fanny; pengacara Nadira sekaligus ibu dari Jave."

Kedua mata Reza membelalak lebar. "Jadi lu yang ngelaporin gua kesini!? Apa-apaan lu? Jangan fitnah orang seenaknya!"

"Fitnah? Berhenti berpura-pura, Reza. Nadira udah menceritakan semuanya tentang kelakuan bejat kamu selama ini." ucap Fanny penuh emosi. "Kamu bahkan sempat memaksa dia melakukan oral sex ketika kamu tidak puas dengan istri kamu!!!" bentaknya membuat seisi ruangan hening.

Fanny benar-benar lepas kendali, emosinya sangat meledak ketika mendengar semua cerita dari Jenan.

"Harusnya kamu berterima kasih karena Jave gak tahu soal ini. Kalo sampe dia tau, kamu mungkin sudah mati sekarang." Lanjut Fanny berucap.

Reza menelan ludah bersusah payah melihat bagaimana galaknya wanita itu.

"Saya minta selesaikan kasus ini sesuai dengan hukum berlaku. Jika saya menemukan adanya penerimaan suap, seisi kantor polisi ini akan hancur dalam waktu semalam, paham?!" Bentak Fanny ke arah sang petugas.

Petugas itupun mengangguk nurut.

Ya, siapa yang tidak kenal dengan Fanny? Pengacara terkenal dari london yang sudah memenangkan banyak kasus serius termasuk pelecehan dan bahkan pembunuhan.

.

.

.

Dave melangkah masuk kedalam kamar Kenneth untuk menyampaikan sesuatu. "Kenneth, semua kasus sudah selesai, kita hanya tinggal menunggu hari sidang. Setelah itu, kamu bisa melanjutkan hidup kamu seperti biasa. Begitupun dengan Nadira. Dia akan saya bawa ke tempat yang gabisa saya kasih tau." Ujarnya.

Kenneth terdiam sesaat. "O-om serius?"

"Hm, kamu harus hidup sebagai cowok jantan. Ungkapin sesuatu yang kamu gak suka dan yang kamu suka. Jangan biarin orang lain mengambil alih pilihan hidup kamu. Mungkin, sekarang adalah hari terakhir kita ketemu. Om harap, kamu bisa hidup bahagia." Ucap Dave tersenyum manis.

Kenneth menahan pergelangan tangan Dave. "Om, sebentar. Biarin aku ketemu sama Nadira dulu."

"Nadira gak mau ketemu sama kamu." sahut Dave skakmat.

Kenneth tak bisa melakukan apa-apa jika Nadira sudah berkata demikian.

"Om permisi." Dave lantas melangkah pergi.

.

.

.

"Setelah sidang selesai, kita bakal pindah ke luar negeri."

Keputusan Dave membuat Jave dan Nadira terdiam bingung. "Ke luar negeri? Kemana? Kenapa papa bilang mendadak kayak gini." Tanya Jave bingung.

"Iya, om. Kenapa mendadak banget?" Nadira ikut menambahkan.

Dave menghela nafas pelan. "Sebenernya papa udah mikirin ini dari beberapa hari yang lalu. Rasanya sedikit gak baik kalo kalian tetap ada disini. Begitupun dengan omah. Kita semua bakal pindah kesana, termasuk Jenan dan tante Ratna." Ujarnya.

Benar juga. Apalagi kasus mereka cukup membuat geger masyarakat.

"Om, sebelum pergi biarin aku ke makam mama sama papa dulu." Pinta Nadira dengan raut wajah sendu.

Jave melempar tatapan nanar, sementara Dave mengangguk mantap. "Iya, tentu. Kamu bisa berpamitan sama mereka."

"Pa, papa yakin ini keputusan yang tepat?" Jave sedikit kurang yakin melihat bagaimana sedihnya ekspresi Nadira.

Bukan karena apa-apa, tapi Nadira sedih karena pastinya dia tidak akan bisa mengunjungi makan orang tuanya jika pergi ke luar negeri.

"Papa udah nyewa orang buat ngurus makan orang tua kamu mulai sekarang. Mereka di bayar pertahun." Kata Dave.

Kedua mata Nadira membulat. "Om serius?!"

"Iya, dengan begitu kita gaperlu mengkhawatirkan apapun lagi disini." 

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang