24 :: Rencana 1 tahun kedepan

212 44 13
                                    

Sebelum masuk kedalam kelas, Nadira dan Jave memutuskan untuk pergi membeli minuman dingin di cafe seberang kampus. Suasananya tidak terlalu ramai, karena memang keadaan kelas pagi tidak seramai kelas malam. Sebagian besar mahasiswa di kampus Angkasa melakukan kerja paruh waktu di pagi hari, dan berkuliah di malam hari.

"Nanti kalo si Kenneth nyamperin lu lagi, panggil nama gua tiga kali." Pinta Jave lalu menyedot minumannya.

Nadira berdecih pelan. "Dih, lu siapa?"

"Gua pacar lu."

Jawabannya berhasil membuat senyum lebar Nadira terbentuk. "Bacot, yaudah ayo balik." Ajaknya langsung keluar dari area cafe.

Jave menyusul dari belakang, kemudian menggandeng tangan Nadira erat. "Jangan baper, kita kan mau nyebrang." Katanya salah tingkah.

"Ogah banget gua baper sama cowok jamur kayak lu." ketus Nadira di iringi kekehan pelan.

Ketika hendak menyebrang jalan, tiba-tiba saja ada satu mobil mewah yang terhenti di depan mereka. Kedua alis Jave menukik samar karena mereka nyaris saja tertabrak. Seorang pria berjas rapi melangkah keluar dengan kepala dongak.

Senyum miring Nadira terbentuk tipis. "Udah gua duga, pasti Kenneth ngadu." Gumamnya.

Doni menghampiri kedua mahasiswa itu sambil tersenyum manis. "Apa kabar, Nadira?"

"Baik. Sangat baik setelah pergi dari hidup om." Jawabnya sedikit membuat Jave terkejut.

Karena Nadira menyebut Doni dengan sebutan om, bukan papa.

Anggukan pelan Doni berikan. "Saya harap kembalinya kalian gak menyebabkan kekacauan apapun. Hidup saya sudah sangat tenang tanpa adanya kalian, terutama kamu Nadira. Semoga kalian bahagia di masa mendatang." Ucapnya sedikit meremehkan.

Nadira bersedekap. "Hidup tenang dengan cara menikmati harta warisan orang lain. Terlalu menarik." Sindirnya berani.

Jave terbahak. "Maaf, jokes-nya terlalu garing."

Ekspresi wajah Doni berubah jadi datar. "Apa maksud kamu, Nadira? Kamu menuduh saya mengambil hak milik orang lain??"

"Om pikir selama ini saya menghilang itu kemana?" Nadira tersenyum manis. "Saya mencaritau semua tentang diri saya sendiri, dan juga keluarga om. Hebat ya, setelah kita ketemu lagi kayak gini, om bahkan gak minta maaf sama sekali karena udah ngebunuh orang tua kandung saya."

Doni terdiam.

Tangan kekar Jave menepuk bahu Doni. "Santai, gak usah kaget gitu."

"Saya punya rencana untuk satu tahun kedepan. Mau tau apa?" Nadira melangkah mendekat ke arah Doni. "Ngebuat om, dan keluarga om berlutut di depan saya." Lanjutnya lalu melenggang pergi.

.

.

.

"Tenang." Jave terus mengusap kepala Nadira yang kini berada di pelukannya.

Sekalipun Nadira sudah lama tidak bertemu dengan Doni, dan sudah bersusah payah untuk sembuh dari penyakit mentalnya. Trauma itu masih tetap ada. Di balik sikap berani Nadira tadi, gadis itu mendadak lemas ketika memasuki area gerbang kampus karena kenangan masa lalu.

Nafas Nadira masih cukup tersenggal, keningnya berkeringat, dan tangannya terus bergetar.

"Maaf.." lirih Nadira bergetar. "Maaf karena susah buat sembuh." Katanya.

Jave menghela nafas gusar. "Gausah minta maaf. Itu hal wajar. Trauma lu terlalu dalam, dan gua ngerti itu. Jadi, jangan pernah merasa bersalah atas apa yang terjadi di dalam diri lu. Oke? Gua bakal di samping lu terus sampe semuanya selesai."

Mendengar perkataan Jave, membuat Nadira merasa jauh lebih tenang. Rasa panik dan takutnya mulai mereda.

"Thank you Jave.."

"I love you more, Ra."

.

.

.

Makan siang telah tiba. Seperti kemarin, Nadira harus makan sendiri di kafetaria karena Jave belum selesai kelas. Di tengah menikmati nasi gorengnya, tiba-tiba ada tragedi yang terjadi tepat di depan meja Nadira.

PRANG!

"Lo tuh punya mata gak sih?! Jalan aja gak becus!"

Sebelah alis Nadira terangkat satu menatap satu gadis berambut cokelat panjang yang mengomeli gadis berkacamata tebal di hadapannya. Apa-apaan dia? Padahal dia yang berjalan sambil memainkan ponsel.

"Maaf, tapi kamu yang nabrak aku duluan." Jawab si culun takut-takut.

Si pemilik rambut cokelat langsung berdecih. "Gua nabrak lu karena lu gak mau minggir! Jalanan masih lega! Dasar mahasiswa jalur panti asuhan, pantes aja gapunya etika." Katanya ketus.

Brakh!

Seisi kafetaria kembali di kejutkan dengan Nadira yang menendang mejanya begitu saja hingga jatuh dan nyaris mengenai kedua gadis itu. Nadira bersedekap santai. "Kalian bikin selera makan gua hilang, tau gak?"

"Makan mah makan aja, gak usah ikut campur!" sahut si rambut cokelat.

Nadira tertawa lalu beranjak. "Kalo gua mau ikut campur emangnya kenapa? Dari awal sebenernya males ngurusin manusia sampah kayak lu, tapi setelah ngedenger lu ngatain dia gapunya etika karena mahasiswa jalur panti asuhan, lu ngebangunin naluri gua sebagai psikopat." Ujarnya.

"Dasar gila."

"Iya gua gila, kenapa? Gasuka?" Nadira semakin maju ke arah gadis sialan itu. "Kalo boleh tau lu mahasiswa jalur apa? Jalur nyogok??"

"Jaga ya mulut lu!"

Nadira mendorong-dorong dada gadis itu. "Kalo mau di hargain, hargain orang lain dulu. Kalo mau di hormatin, hormatin orang lain dulu. Dengan cara lu ngerendahin dia karena statusnya sebagai yatim piatu, itu udah membuktikan kalo lu jauh lebih rendah dari dia. Paham?"

Hening. Keadaan mendadak hening. Seluruh saksi mata tertegun dengan sikap Nadira.

"Udah ayo pergi aja." Ajak Nadira pada si culun.

Ketika hendak melangkah pergi, ada satu kalimat yang menghentikan Nadira.

"Gimana sama lu? Cewek lemah yang berlindung di belakang punggung cowoknya."

Demi apapun, emosi Nadira sudah tidak bisa di tahan lagi kali ini. Dia berbalik badan dan...

Sret!

Nadira menarik kerah baju gadis itu kasar. "Muka cantik, hati busuk, dan mulut kotor. Definisi yang sempurna buat lu. Pantes aja gak ada orang yang ngebela lu daritadi." Katanya santai namun menusuk.

"Nadira!"

Seseorang datang dan langsung memisahkan keduanya. Kenneth menarik tangan Nadira hingga terlepas. "Kamu ngapain, Ra?"

"Apaan sih? lepas dulu!" Ronta Nadira tak terima.

Kenneth masih berisikeras untuk menahan Nadira agar keributan tidak berlanjut. "Jangan gini, Ra. Nanti kamu kena masalah." Tegurnya khawatir.

"Lepasin tangan cewek gua."

Suara berat itu membuat semuanya menoleh. Jave melangkah mendekat dengan raut wajah dingin, kemudian menarik Nadira ke dalam rangkulan. "Ada atau engganya masalah di hidup Nadira, gua yang bakal hadapin." Ucapnya sedikit menyindir.

"Dia temen satu jurusan lu kan?" tanya Jave sambil melirik gadis berambut cokelat yang masih berdiri di hadapannya.

Kenneth menganguk. "Hm."

"Kim Yanne." Jave berdecih. "Minta maaf sekarang atau.."

"Maaf." Yanne langsung membungkukkan tubuh ke arah si gadis culun, lalu berlari pergi.

Takut? Jelas. Siapa yang berani melawan cucu kesayangan dari pemilik kampus? Bukannya menyalahgunakan identitas, tapi Jave melakukan hal itu demi keadilan.

"Ayo pulang." Ajak Jave.

Kenneth menatap nanar punggung Nadira yang kian menjauh. Kenapa dia merasa hancur melihat kebersamaan mereka?

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang