PROLOG

574 22 3
                                    

Malam hari adalah waktu bagi bulan untuk terbit menunjukkan dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam hari adalah waktu bagi bulan untuk terbit menunjukkan dirinya. Pesona cahayanya dapat menghipnotis siapapun tanpa berkedip, meraih segelas anggur atau wiski, menyesap teh, atau susu hangat sebelum anak-anak tidur. Cahaya bulan menyorot banyak hal yang terjadi di bumi. Pedang yang diangkat tinggi-tinggi, pisau yang teracung menyentuh dagu, senyuman hangat, tatapan tajam, pembicaraan yang dilarang, dan menjadi saksi bisu pengkhianatan sekaligus penyatuan cinta.

Semua kisah tentang seberapa banyak cahaya bulan menyorot peristiwa, dijelaskan di dalam sebuah buku yang tebal. Kisah itu terlarang, tetapi harus dikisahkan agar anak-anak dapat belajar mengenai arti cinta, kepemimpinan, kesetiaan, mimpi, dan perjuangan. Buku cerita itu digenggam kuat, mengundang banyak kenangan tanpa sempat memberi peringatan. Sampul bukunya masih dalam keadaan baik saat disentuh dengan hati-hati. Buku cerita itu disimpan di tempat khusus, karena tidak ada lemari buku yang pantas untuk menyediakan tempat untuknya.

Terlalu spesial, terlalu berbahaya, tetapi malam ini semua kisah harus mendapat sorot cahaya bulan.

"Ayo, anak-anak, berbaring."

"Ibu akan memberi dongeng apa malam ini?" Gadis kecil berambut cokelat menatap ibunya dengan sorot penuh harap setelah dia memenuhi perintah ibunya untuk segera berbaring di atas ranjang.

Sang ibu tersenyum kecil, mengangguk pada dirinya sendiri untuk bertekad bahwa buku dalam genggaman tangannya akan menyapa kehidupan anak-anaknya. Lalu dia menatap gadis kecilnya yang menurut, sementara anak laki-lakinya masih duduk di tepi ranjang mengusap pedangnya dengan kain. Maka wanita itu mendekat, mengusap bahu anak laki-lakinya, "Ayo, simpan pedangmu, anakku. Berbaringlah dan Ibu memberitahu sebuah kisah. Bahkan ini sudah terlalu larut bagi kalian untuk mendengarkan dongeng."

Anak-anak itu akhirnya menurut. Tidak hanya berbaring, tetapi juga menarik selimut untuk menutupi sampai dada mereka. Sang ibu meraih kursi, duduk di antara kedua anak-anaknya dan menatap bergantian. Anak laki-laki itu mengerutkan kening terhadap buku yang sedang digenggam oleh ibunya, "Kali ini ibu mendongeng sambil membaca buku?"

"Benar. Selama ini ibu selalu memberi kalian dongeng-dongeng tanpa perlu membacanya dari sebuah buku, mengatakannya pada kalian bahwa semua dongeng itu ibu dengar saat masih kecil atau mendengar pengalaman orang lain, tapi itu semua palsu dan karangan ibu, hanya agar kalian menurut dan cepat terlelap—ibu harus meminta maaf. Tapi apa yang akan ibu kisahkan malam ini merupakan satu-satunya dongeng terbaik yang hanya dituliskan di dalam buku."

"Ibu membohongi kami selama ini?" Gadis kecil memberengutkan bibirnya kesal, meremas selimutnya. "Bagaimana dengan dongeng pangeran berkuda putih yang melamar kekasihnya dengan sepotong roti? Itu dongeng yang indah, tapi rupanya hanya dongeng khayalan? Padahal aku sampai tidak bisa tidur setelah ibu keluar dari kamar kami dan selalu membayangkan pangeran berkuda putih setiap kali aku memakan sepotong roti."

"Ya, maafkan Ibu, Sayang. Tapi semua dongeng yang ibu berikan terdapat makna dibaliknya. Teruslah bermimpi bertemu sang pangeran berkuda putih yang tampan dan sederhana." Sang ibu tersenyum kecil, menyesal dan merasa senang bahwa putrinya memiliki hati yang manis.

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang