BAB 1

226 14 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ada beberapa pemahaman tentang kehidupan.

Rumah, pakaian, makanan, dan perhiasan adalah dipahami sebagai bingkai. Keluarga, kerabat, dan kekasih adalah lukisan. Cinta, kesetiaan, kebahagiaan, dan kehilangan adalah kait yang memastikan lukisan tetap terbingkai di dinding. Susunan batu yang melindungi diri dari hujan, panas terik matahari, kotoran burung, debu, atau lemparan batu dari tangan anak-anak nakal, adalah hal terpenting yang memastikan seluruh pemahaman itu lahir dan terbentuk menjadi sesuatu yang berharga.

Susunan batu yang mulai usang, tak masalah memiliki rumah yang sederhana dengan atap tanah liat yang beberapa di antaranya mulai berlubang. Susunan batu itu membentuk dinding yang dapat melindungi diri dari hujan, panas terik matahari, kotoran burung, debu, atau lemparan batu dari tangan anak-anak nakal. Menciptakan sebuah tempat tinggal satu-satunya. Dari kejauhan sama sekali tidak tampak menarik. Ketika melangkah ke dalamnya dan berjumpa dengan orang terkasih hal-hal yang usang dan rapuh itu tak lagi menjadi penting.

Itulah pemahaman yang Arlene miliki.

Rumah sederhana yang Arlene yakini siapapun yang melewati rumahnya menyebut sebagai Bangunan Tak Layak di Kota Ferun. Arlene memahami bahwa tidak ada orang yang dapat percaya jika di dalam Bangunan Tak Layak itu tersimpan banyak kenangan bersama ibunya yang hingga kini sedang dilukis. Dari kejauhan, Arlene menggenggam satu keranjang rotan berisikan tumbuhan liar yang ajaibnya dapat dijadikan sebuah makanan lezat oleh tangan ibunya. Itulah bingkai kehidupan.

Dari kejauhan, rumah sederhana yang Arlene yakini sebagai tempat tinggal dan asal mula lukisan tercipta, baru disadari bahwa ucapan orang-orang memang benar. Asal muasal keyakinan itu diperoleh ketika mencuri dengar sepasang kekasih membicarakan mengenai pemahaman lain yang belum banyak Arlene lakukan. Ia berniat mempelajarinya sembari memperkuat keyakinan akan rumah sederhana.

"Ibu, aku tidak membawa makanan terlalu banyak kali ini. Hanya ini yang aku temukan di hutan. Maaf."

Arlene menghela napas usai menutup pintu rumah yang berbahan kayu. Hampir lapuk karena dinginnya angin Laut Vegreryn yang berhembus dari timur dan hujan deras di penghujung tahun. Jemarinya hampir bergetar dan terasa kebas dengan ruam kemerahan karena membawa keranjang rotan yang kasar dan merasa kedinginan. Keranjang rotan itu diletakkan di atas meja makan kayu yang sudah tua. Lalu mendekat ke arah perapian, di mana ibunya sedang menggantung periuk di atas api.

Romana, ibu Arlene menoleh, meraih keranjang rotan dan melihat sendiri sayuran yang Arlene kumpulkan dari dalam hutan. Dia menghela napas, mencuci sayuran tersebut dari tanah dan kotoran dengan air bersih yang disimpan dalam periuk khusus air. Saat berjalan kembali mendekati perapian, kedua alisnya berkerut, memperhatikan putrinya yang berusia 12 tahun melamun menatap api sambil membelitkan untaian rambut pirangnya di antara jemari.

"Apa yang kau temukan di dalam hutan, Sayang?"

"Tidak ada apapun di dalam hutan." Arlene menggeleng, menguraikan rambut dari tangannya, dan memberi senyuman tipis. Mata hitam Arlene mengerjap beberapa kali saat menatap ibunya sekilas dan berdiri mendekati periuk di atas perapian.

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang