BAB 10

94 10 1
                                    

Arlene pernah mematung di bawah jembatan pelabuhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arlene pernah mematung di bawah jembatan pelabuhan. Pernah gemetar saat berusaha mencari ibunya. Bibirnya gemetar saat berteriak dan bertanya kepada orang-orang di mana ibunya. Semua itu, Arlene lalui sampai hidup menjadi budak, memikirkan setiap nasihat yang Romana berikan.

Arlene selalu mengkhawatirkan rencana-rencana dan masa depan serta banyaknya pemahaman yang ingin didapatkan demi hidup dengan baik, menemukan tabib terlatih untuk Romana, dan memiliki rumah dengan banyak jendela yang indah. Semua pemahaman mengenai bingkai, lukisan, dan kait adalah tentang bagaimana kehidupan dikelilingi dengan orang-orang terkasih, ditanamkan ke dalam aturan, hukum, dan pemahaman baik.

Mata hitam Arlene berkilau karena air mata, dadanya sesak, dan tubuhnya gemetar. Tak yakin apa jenis perasaan itu, Arlene masih mematung ketika melihat Romana menuruni anak tangga istana dituntun oleh seorang pemuda. Mereka membicarakan sesuatu sampai Romana berhasil berpijak di tanah, mengerjap beberapa kali. Mungkin secara kebetulan pandangannya kembali jernih, Romana melihat Arlene dari kejauhan berkat bantuan dari sinar matahari, gemetar seperti Arlene.

"Putriku.... Putriku Arlene...."

Kaki Arlene yang dulunya gemetar di seluruh gang Kerl, kala itu ia gunakan untuk berlari kencang dan memeluk Romana begitu erat. Tangisan yang ia redam di lekukan lutut dan tangan selama menjadi budak di Polly, ia bebaskan pada udara di Landelle. Biarlah semua orang mendengar tangisannya.

"Oh, Sayang. Putriku...." Romana terisak, membebaskan tangisannya bersama Arlen, dan membawa keharuan terhadap siapa pun yang ada di kastil itu.

Para kesatria meletakkan pedang, berhenti berlatih. Setiap pria melepaskan tangan dari peti kayu, berhenti menurunkan sayuran atau buah-buahan. Setiap wanita berhenti berbincang dan tertawa. Mereka tersenyum penuh haru dan saling membicarakan tentang kisah Romana yang selama ini tersebar di dalam dinding kastil. Anak-anak yang berlarian berhenti tertawa, bertanya-tanya apa yang terjadi lalu setelah dijelaskan, mereka tersenyum atas pertemuan yang mengharukan.

"Aku sangat merindukan Ibu. Maafkan aku...."

Terisak di setiap kata, bahu Arlene berguncang. Wajahnya rindu untuk bersandar di atas dada Romana. Tangan yang kasar, dirindukan oleh punggung atau rambut Arlene setiap kali kesulitan untuk tidur. Suara yang lembut dan syahdu, selalu dirindukan oleh telinga Arlene yang sering mendengar pembicaraan terlarang atau suara-suara penuh dosa di Polly. Semua hal tentang Romana memeluknya, membayar setiap kerinduan, menggantikan penyesalan, memenuhi setiap relung kehidupan lebih indah daripada bunga iris.

Tahira tersenyum lebar dan hampir membasahi tanah dengan air mata. Bersyukur, rencananya dapat membawa nasib baik untuk Arlene dan kehidupan yang dapat dimulai dengan cara yang benar. Dia akhirnya dapat melihat secara nyata seperti apa sosok 'Ibu', tak hanya dari cerita-cerita Arlene karena tatapan Romana, sentuhan, dan pelukannya meyakinkan Tahira bahwa apabila sebutan 'Ibu' paling sempurna, hanya pantas dimiliki oleh Romana.

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang