EPILOG

152 8 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Tamat. Waktunya tidur, Anak-anak."

Dalam penglihatan yang buram, sang ibu mencoba untuk menutup sampul buku. Mengerjap, menatap kedua anaknya yang masih bergeming usai mendengarkan dengan saksama di bawah atap rumah yang tinggi dan di dalam susunan batu yang kuat. Sorot cahaya bulan tampak terang dan jelas menembus jendela dan memantul di lantai, menyorot kisah malam itu.

Sang ibu bangkit berdiri, meletakkan buku dongengnya sejenak di atas kursi dan mendekati kedua anaknya untuk merapatkan selimut dan memberi kecupan di kening. Tangannya yang lentik menyentuh masing-masing kening, membisikkan kalimat agar cahaya bulan melindungi anak-anaknya hingga pagi. Anak-anak itu segera mencoba terpejam sebelum sang ibu meniup lilin, membawa pergi buku dongengnya, dan beranjak pergi. "Selamat malam, Visare. Selamat malam, Ilyra."

"Selamat malam, Ibu."

Si kembar tidak pernah benar-benar terpejam setelah ibu mereka pergi. Kenyataannya, kelopak mata mereka begitu lebar dan saling menghadap satu sama lain dari ranjang mereka. Bagi sebagian orang, pelajaran dapat didapatkan dari mana saja, tetapi untuk anak kembar itu, dongeng adalah satu-satunya cara untuk belajar mengenai aturan dan hukum kehidupan.

"Visare." Ilyra menatap saudara kembar laki-lakinya dengan sorot lurus. "Apa kau percaya dengan dongeng ibu barusan?"

Visare tersenyum, mengerjap. "Bukannya kau juga mempercayai dongeng pangeran berkuda putih itu? Ibu menceritakan tentang kehidupan penyihir dan manusia hidup dengan damai—ya, walaupun aku masih penasaran kenapa ibu menggunakan namanya di dalam dongeng itu dan memiliki penyihir terkuat. Memangnya dunia ini bisa seperti itu? Bayangkan saja apabila manusia mendatangi ayah atau ibu untuk menawarkan perdamaian, apa yang akan terjadi pada rakyat kita?" 

Visare kemudian menatap saudarainya dengan mata yang memicing, memutar bola mata ke atas menatap atap ruangan.

"'Apa yang akan terjadi pada kita' adalah pertanyaan yang sebenarnya." Ilyra merubah posisi tubuhnya menjadi terlentang. Menghela napas sedih, dia menatap langit ruangan. "Penglihatan ibu semakin parah. Tadi siang aku mendengar ayah meminta tolong pada Vilence si penyihir tua itu untuk mencaritahu tentang penyakit ibu. Vilence berkata bahwa penyakit itu hanya dialami oleh keturunan penyihir. Kekuatan ibu akan semakin kuat dan tak terkalahkan."

Visare mengangkat satu alisnya, menoleh. "Bukankah itu bagus?"

"Tapi ibu tidak akan bisa menatap kita lagi dengan benar. Juga menyaksikan pelantikanmu kelak menjadi raja—atau menyaksikan pernikahan kita dan kelak serta kelahiran cucunya. Untuk apa menjadi penyihir yang paling kuat jika ibu tidak bisa melihat dengan benar? Itu menyedihkan."

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang