Bab 6

1.6K 153 36
                                    

~BRIE~

Aku sudah menunggu Arthur selama berjam-jam. Tapi, sampai sekarang dia masih belum juga pulang. Kupikir, ucapannya tadi siang bahwa dia akan pulang larut, hanya bohong dan gertakan. Maka dari itu, aku menantang dan bersikeras ingin tetap menunggunya. Namun, rupanya Arthur bersungguh-sungguh saat mengatakan bahwa dia akan pulang larut malam ini.

Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sekarang sudah hampir jam sembilan malam. Sebaiknya, aku pulang sekarang sebelum malam semakin larut. Dan aku akan datang lagi ke rumah Arthur besok.

Aku berdiri dari undakan teras rumah Arthur lalu berjalan pergi dari runahnya. Rumah Arthur memang terletak sedikit terpencil di perbatasan desa dan dekat dengan hutan. Jadi, jalanan yang kulalui saat pulang dari rumah Arthur menuju ke perumahan desa sangatlah sepi. Sebenarnya, aku adalah orang yang cukup berani. Tapi, sejak kejadian dimana Richard menghadangku malam itu, aku jadi sedikit merasa was was dan takut jika pergi sendirian di malam hari. Maka dari itu, aku mempercepat langkahku agar bisa segera sampai di keramaian desa. Dan aku sedikit merasa lega karena dari tempatku berdiri saat ini, aku sudah bisa melihat keramaian di perumahan warga yang paling dekat dengan perbatasan.

Namun, saat aku sedang berjalan, tiba-tiba sosok Richard muncul dan kembali menghadangku. Seketika, aku terkejut dan sedikit takut. Aku masih trauma dengan perbuatannya malam itu. Tapi, sebisa mungkin aku berusaha memberanikan diri agar Richard tidak melihat ketakutanku.

"Richard, apa yang kau lakukan di sini? Jangan berani macam-macam padaku! Atau aku akan berteriak. Kau tahu bahwa tempat ini sudah dekat dengan perumahan warga. Jika aku berteriak, mereka pasti bisa mendengar teriakanku.", ucapku waspada dan penuh antisipasi.

Richard tertawa meremehkan.

"Tenang saja, Brie. Aku tidak sedang berniat jahat padamu. Aku menghadang dan menemuimu di sini karena aku ingin tahu mengenai perkembangan usahamu dalam membujuk Arthur. Apakah kau sudah berhasil membujuk pria buas itu agar bersedia menikahimu?", tanyanya dengan nada mengejek.

Aku menatapnya tajam.

"Bukan urusanmu!"

"Sudahlah, Brie. Hentikan usahamu membujuk pria buas itu. Dia tidak akan mau menikahimu. Maka dari itu, aku datang menemuimu di sini. Aku ingin memberikan solusi terhadap masalahmu."

"Aku tidak butuh solusi darimu, Brengsek!", ucapku sinis dan kesal.

"Berhenti bersikap jual mahal padaku, Brie. Apakah sampai sekarang kau masih belum juga sadar bahwa kau tidak berarti dan tidak ada harganya lagi di desa ini? Sekarang, reputasimu sudah tercoreng. Walaupun kau adalah putri kepala desa dan merupakan gadis tercantik di desa ini, tapi semua itu tidak berarti apa-apa. Tidak akan ada pria di desa ini yang mau mendekatimu. Kenapa? Karena mereka meragukan kesucianmu. Tapi, pengecualian bagiku. Kurasa, aku bisa memberikan sedikit toleransi terhadap reputasimu yang sudah tercoreng itu. Aku bersedia menerimamu. Aku akan berpura-pura mengabaikan fakta bahwa kau pernah pulang bersama Arthur. Dan aku juga bersedia menikahimu."

Seketika, aku menatapnya tajam. Aku benar-benar marah atas ucapannya yang merendahkanku.

"Hell! No! Jangan harap aku mau menikah denganmu, Richard! Kau pikir siapa yang sudah membuat reputasiku jadi tercoreng seperti ini? Kau yang telah merusak dan menghancurkan reputasiku, Bajingan! You're such an asshole!", aku berteriak dan mengumpatinya dengan kesal dan penuh amarah. Kemudian, aku menatapnya penuh curiga. "Atau jangan-jangan, kau memang sudah merencanakan semua ini? Kau sengaja merusak reputasiku agar para pria di desa tidak ada yang mau mendekatiku. Dengan begitu, hanya kau satu-satunya pilihan pria hingga aku terpaksa memilihmu? Apakah begitu cara licik yang kau gunakan agar bisa memilikiku?"

Love For The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang