Bab 25

865 59 20
                                    

~ARTHUR~

Saat ini, aku dan Brie sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Kami baru saja pulang dari acara kerja bakti bersama para warga di balai desa.

Aku merasa sangat senang karena sekarang seluruh warga desa kembali mau menerima dan berinteraksi denganku. Mereka juga melibatkanku serta memintaku agar hadir di acara-acara rapat ataupun perkumpulan yang akan diadakan oleh para warga desa ke depannya.

Sejujurnya, aku masih tidak percaya bahwa aku bisa kembali lagi bersosialisasi dengan warga desa seperti saat ini. Setelah selama kurang lebih tiga tahun aku ditolak dan dikucilkan, kini seluruh warga desa Woodstock kembali menerimaku. Dan itu semua berkat Brie.

Ngomong-ngomong soal Brie, saat ini dia sedang duduk di kursi penumpang sebelahku sambil memakan makanan ringan yang dia dapat dari tenda tadi. Brie memakannya dengan lahap dan terus menerus. Bahkan, pipinya juga terlihat sedikit menggembung karena banyaknya makanan yang dia masukkan ke dalam mulut.

"Apakah kau sangat lapar hingga kau begitu bersemangat memakan makanan itu, Brie?", tanyaku seraya terkekeh melihat cara makannya yang menggemaskan.

"Ya. Aku sangat lapar. Karena begitu lapar, rasanya aku ingin makan orang.", balasnya dengan sedikit geram dan ketus. Dia tidak tersenyum atau menoleh padaku seperti biasa. Ekspresinya juga terlihat dingin.

Aku mengerutkan dahi mendengar jawabannya yang terdengar tidak senang serta ekspresinya yang tidak biasa. Apakah saat ini Brie sedang marah?

Belum sempat aku bertanya padanya, Brie sudah keluar dari mobil lebih dulu karena kami memang sudah sampai di rumah. Dan saat keluar dari mobil, Brie menutup pintu mobil dengan keras dan sedikit membanting. Setelah itu, dia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menungguku.

Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat marah? Apakah aku melakukan kesalahan hingga membuatnya marah seperti itu?

Aku bertanya-tanya dan berpikir tentang kemungkinan hal apa yang membuatnya marah. Tapi, aku tetap tidak bisa menemukan jawabannya. Karena merasa bingung, aku memutuskan ikut keluar dari mobil lalu menyusul Brie masuk ke dalam rumah.

Saat di dalam rumah, aku melihat Brie sedang duduk di ruang makan sambil memakan makanan ringan yang sama seperti yang dia makan di mobil tadi. Dia tetap diam dan tidak berbicara denganku. Selain itu, ekspresinya juga cemberut dan terlihat semakin kesal.

Aku ingin bertanya padanya kenapa dia jadi kesal dan marah seperti itu. Tapi, aku mengurungkan niatku. Lebih baik, aku mandi dan membersihkan diri dulu. Karena sekarang tubuhku masih kotor dan berkeringat setelah bekerja bakti bersama warga desa tadi.

Sekitar lima belas menit kemudian, aku sudah selesai mandi. Kemudian, aku keluar kamar dan melihat Brie sedang memasukkan beberapa kotak makanan ke dalam kulkas.

"Brie...", aku memanggilnya.

"Apa?!", balasnya ketus dan tidak ramah.

Brie tidak pernah berbicara seketus ini padaku. Dan dengan cara menjawabnya yang seperti itu saja, aku jadi semakin yakin bahwa saat ini Brie sedang marah padaku.

Tapi, dia marah padaku karena apa? Bukankah tadi saat dia mengantarkan makanan ringan padaku saat di balai desa, dia masih tampak riang dan baik-baik saja? Bahkan, dia tadi juga masih bersikap genit dan menggodaku. Kenapa tiba-tiba dia jadi marah seperti ini?

Aku berjalan ke arah ruang makan lalu duduk di kursi. Sekarang, aku sedang berpikir tentang bagaimana cara untuk berbicara pada Brie agar aku bisa bertanya tentang hal apa yang membuatnya marah padaku.

"Brie, apakah makanan ringan yang kau dapat dari tenda tadi masih ada?", aku bertanya basa-basi.

Tanpa menjawab pertanyaanku, Brie langsung membuka kembali kulkas lalu mengeluarkan sekotak makanan. Kemudian, dia berjalan ke arahku di ruang makan lalu meletakkan kotak makanan itu tepat di depanku dengan bersungut-sungut.

Love For The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang