~ARTHUR~
"Aku sangat kesal pada wanita itu.", ucap Brie setelah kami sampai di sebuah bangku kosong yang ada di pasar malam. Kemudian, dia mengambil gula-gula kapas dari tanganku. Lalu, dia menggigitnya dengan ukuran besar dan memakannya dengan bersungut-sungut.
"Kau kesal pada siapa?", tanyaku tidak mengerti dan masih bingung dengan tingkahnya yang aneh sejak tadi.
"Tentu saja pada wanita kenalan barumu yang bernama Karen tadi.", balasnya ketus.
"Kenapa kau kesal pada Karen?"
Brie menatapku dengan ekspresi jengah sekaligus kesal.
"Apa kau tidak melihat sikap, ekspresi dan tingkahnya saat berbicara denganmu tadi? Dia sedang berusaha menggodamu, Arthur. Dan aku tidak suka melihat kau dekat dan berbicara akrab dengan wanita itu."
Aku memikirkan ucapan Brie sejenak. Kemudian, aku membelalakkan mata.
"Kami tidak berbicara akrab. Tadi, kami hanya mengobrol ringan sambil menunggu antrean gula-gula kapas. Itu saja.", aku menjelaskan padanya. Tapi, kemudian pikiranku tertuju pada satu hal yang mungkin menjadi penyebab Brie kesal dan bersungut-sungut seperti ini. "Tunggu... Jangan katakan bahwa saat ini kau sedang cemburu?", aku bertanya dengan nada penuh selidik dan interogasi.
"Memang aku sedang cemburu. Aku cemburu melihat kau dekat dengan Karen. Aku cemburu melihat kau berbicara akrab dengan Karen. Dan aku cemburu melihat bagaimana cara kau tersenyum pada Karen.", Brie mengaku dengan geram dan kesal. Lalu, dia menggigit lagi gula-gula kapas yang ada di tangannya dengan ukuran besar.
Aku menatapnya tidak percaya. Tapi, aku juga merasa tergelitik oleh pengakuan akan rasa cemburunya saat melihatku dekat dengan Karen. Aku jadi ingin tertawa melihatnya.
"Kenapa kau cemburu pada Karen? Bukankah kau sendiri yang menyuruhku agar bersosialisasi dengan orang lain?", aku menggodanya.
Brie terlihat semakin kesal dan cemberut.
"Memang benar. Tapi, aku tidak suka saat kau terlalu dekat dan bersosialisasi dengan wanita penggoda seperti Karen.", dia menjawab dengan geram.
"Karen tidak menggodaku. Tadi, dia hanya mengajakku berkenalan. Lalu, kami mengobrol karena kami sama-sama sedang mengantre gula-gula kapas."
"Apa kau tidak melihat bagaimana cara Karen menatapmu tadi? Kau itu tampan, Arthur. Dan Karen tertarik padamu. Dia sedang berusaha menggodamu.", Brie bersikeras.
Sekarang, aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku.
"Kenapa kau tertawa?", Brie bertanya dengan ketus dan terlihat semakin kesal.
"Jadi, menurutmu aku ini tampan?", sungguh rasanya sangat menyenangkan bisa menggoda Brie yang sedang kesal seperti ini.
"Ya. Kau tampan. Dan kau juga tahu bahwa kau itu tampan. Karena ketampananmu itu, banyak wanita di luar sini yang tertarik dan berusaha menggodamu.", Brie masih terus saja menjawab dengan nada geram dan ketus.
Dan karenanya, aku kembali tertawa. Aku merasa bahwa Brie sangat lucu. Bagaimana bisa dia cemburu pada Karen hanya karena aku dan Karen mengobrol sebentar? Dan bagaimana bisa dia menganggap bahwa aku ini tampan? Padahal, di mata kebanyakan orang, penampilanku ini terlihat menyeramkan.
Tapi, di sisi lain, sikap dan ucapan Brie tadi membuat hatiku terasa menghangat. Karena rasa dan ungkapan cemburunya itu justru menunjukkan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Serta, tidak peduli bagaimana pendapat orang lain tentang penampilanku, menurutnya aku tetap tampan dan dia menginginkanku.
"Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkanmu jalan-jalan sendiri lagi. Aku akan selalu berada dekat dan mengawasimu. Karena aku tidak ingin ada wanita lain yang dekat-dekat denganmu lalu menggodamu.", ucapnya posesif lalu menggeser duduknya agar semakin dekat denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For The Beast
RomanceArthur Horrace, seorang mantan anggota mafia yang kembali ke desa tempat tinggalnya di Woodstock. Namun, hampir seluruh warga desa membenci dan mengucilkannya. Apalagi, dengan penampilannya yang garang, berambut panjang dan lengan yang penuh tattoo...