~BRIE~
Aku tidak bisa berhenti tersenyum sejak Arthur mengajakku pergi dari festival di desa tadi. Selain itu, aku juga berulang kali menyentuh bibirku tepat dimana Arthur menciumku tadi.
Sungguh, aku merasa sangat bahagia karena Arthur menciumku dengan cara yang lembut dan benar untuk pertama kalinya tadi. Tapi, yang membuatku lebih senang lagi adalah cara dia menenangkan diriku. Tadi, Arthur berusaha membuatku berhenti bicara dan meredakan emosiku dengan cara yang sangat manis, yaitu dengan mencium bibirku tepat di depan semua orang. Bukankah itu cara meredakan emosi pasangan yang sangat romantis?
"Kenapa sejak tadi kau terus tersenyum?", Arthur bertanya padaku.
Pertanyaan Arthur langsung membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan menatap Arthur yang kini sedang membuka sabuk pengaman yang dikenakannya. Dan aku juga baru sadar bahwa sekarang kami sudah sampai di rumah.
"Aku tersenyum karena sangat senang setiap kali mengingat saat kau menciumku di depan semua warga desa tadi.", jawabku jujur.
"Kau senang saat aku menciummu di depan semua orang?", Arthur bertanya dengan tatapan geli.
Aku tersenyum semakin lebar dan mengangguk.
"Ya. Aku sangat senang. Caramu meredakan emosiku tadi sangat romantis, Arthur. Kau benar-benar keren dan gentle. Apa kau tidak melihat bagaimana ekspresi terkejut orang-orang saat melihat kita berciuman tadi? Aku yakin, setelah ini, para gadis di desa ini pasti akan iri padaku karena aku memiliki suami yang sangat romantis seperti dirimu.", aku berkata dengan bangga.
Arthur berdecak lalu menggeleng.
"Kau terlalu berlebihan, Brie. Aku bukan pria yang romantis. Sebenarnya, tadi aku tidak berniat menciummu di depan semua orang. Tapi, karena tadi kau terlalu emosi, aku jadi bingung harus melakukan apa untuk menenangkanmu. Maka dari itu, aku langsung mencium bibirmu agar kau berhenti bicara sekaligus untuk meredakan emosimu."
"Dan kau memilih cara yang sangat tepat. Aku sangat menyukai caramu.", kataku seraya mengacungkan jempolku padanya. "Lain kali, jika aku terlalu emosi, kau bisa menggunakan cara itu lagi untuk meredakan emosiku.", imbuhku lalu mengerling padanya.
Arthur terkekeh mendengar ucapanku.
"Apakah sekarang kau sudah tidak emosi lagi?", tanyanya sedikit menggeser topik pembicaraan.
Aku yang sebelumnya lupa akan emosiku, jadi teringat kembali kejadian di festival tadi. Dan seketika, aku kembali merasa kesal.
"Aku masih sangat kesal setiap kali mengingat kejadian saat aku bertengkar dengan Selly di festival tadi.", jawabku dengan cemberut.
"Seharusnya, kau menahan emosimu, Brie. Kau tidak boleh berteriak atau bertengkar dengan wanita itu, apalagi di tempat umum. Karena itu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri serta memperburuk reputasimu. Aku tidak ingin orang-orang di desa memberikan penilaian negatif terhadap dirimu hanya karena kau membelaku."
"Tapi, dia sudah berkata buruk tentang dirimu, Arthur. Padahal, dia tidak tahu apa-apa dan tidak mengenalmu. Dia hanya wanita tidak tahu malu, yang sebenarnya sangat diuntungkan atas kebaikan hatimu membangun desa ini. Tapi, dengan tidak tahu dirinya, dia merendahkanmu dan terus berbicara omong kosong. Aku tidak terima saat dia bersikap buruk seperti itu padamu. Bagaimana bisa aku diam saja saat kau diperlakukan tidak adil seperti itu? Maka dari, aku membelamu.", ucapku yang kembali emosi.
Arthur memegang sebelah tanganku. Dan perbuatannya itu membuatku menatapnya.
"Ya. Aku tahu, Brie. Aku tahu dan percaya tentang bagaimana perasaanmu padaku. Tapi, tetap saja kau tidak boleh berlebihan membelaku hingga berteriak dan bertengkar seperti tadi. Karena itu tidak baik untuk reputasimu. Lagipula, aku sudah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti itu dari orang-orang di desa ini. Aku baik-baik saja dengan hal itu. Jadi, jangan khawatirkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For The Beast
RomanceArthur Horrace, seorang mantan anggota mafia yang kembali ke desa tempat tinggalnya di Woodstock. Namun, hampir seluruh warga desa membenci dan mengucilkannya. Apalagi, dengan penampilannya yang garang, berambut panjang dan lengan yang penuh tattoo...