~BRIE~
Aku baru saja selesai mandi. Ketika masuk ke kamar, aku melihat Arthur sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Aku tersenyum lalu mendekat ke arahnya. Namun, yang membuatku sedikit terkejut adalah Arthur juga membalas senyumanku.
"Terimakasih.", ucapnya tiba-tiba.
Aku mengerutkan dahi karena bingung.
"Untuk apa?"
"Terimakasih karena kau sudah mengajakku ke pasar malam. Di pasar malam tadi, aku bisa tertawa, berteriak antusias dan bersenang-senang. Sudah bertahun-tahun aku tidak melakukan atau merasakan hal menyenangkan seperti tadi. Karena begitu lama, aku sampai lupa bagaimana rasanya. Aku tidak menyangka bahwa aku masih bisa tertawa dan berekspresi bebas seperti tadi. Dan itu semua karena kau. Terimakasih karena kau sudah membuatku bisa kembali merasakan hal yang menyenangkan seperti tadi.", Arthur berkata dengan tulus.
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
"Sama-sama. Aku senang jika kau merasa seperti itu.", balasku. Kemudian, aku menatap matanya dan berbicara serius namun lembut. "Apa kau tahu? Semua orang berhak merasa bahagia dan bersenang-senang, asalkan hal yang membuat dia senang itu tidak merugikan orang lain. Begitu juga dengan dirimu, Arthur. Tidak peduli bagaimana masa lalumu dulu, kau tetap berhak merasa bahagia. Di masa lalu, mungkin kau melakukan hal yang salah atau tidak baik, tapi yang terpenting adalah sekarang kau sudah berubah. Kau berusaha berubah dan terus memperbaiki diri. Selain itu, pada dasarnya kau adalah pria yang lembut dan baik. Kukatakan sekali lagi, selama hal yang membuat kita bahagia adalah hal yang benar dan tidak merugikan orang lain, kita berhak merasakan dan menikmatinya. Maka dari itu, mulai sekarang, jangan takut untuk berekspresi. Jangan takut untuk tertawa. Dan jangan takut untuk berbahagia, Arthur."
Arthur tersenyum padaku. Tatapan matanya terlihat lembut. Kemudian, dia mengangguk.
"Ya. Aku akan belajar darimu. Aku akan belajar bagaimana cara mendapatkan dan merasakan kebahagiaan kembali ke dalam diriku. Terimakasih, Brie.", ucapnya tulus.
Aku balas tersenyum. Tapi, sedetik kemudian mataku membelalak karena aku baru sadar akan sesuatu. Aku juga merasa terkejut sekaligus senang.
"Arthur, kau baru saja memanggilku dengan namaku?", tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
"Ya. Apakah ada yang salah?"
Aku tersenyum semakin lebar dan menggeleng.
"Tidak ada yang salah. Apa kau tahu? Itu tadi adalah pertama kalinya kau memanggilku dengan namaku sejak pertama kali kita bertemu, Arthur.", aku berkata dengan girang.
"Benarkah begitu?", tanyanya dengan terkekeh seolah merasa heran bahwa hal kecil seperti itu saja sudah membuatku kegirangan.
"Benar. Selama ini, kau tidak pernah memanggilku dengan namaku. Kau selalu memanggilku dengan 'kau'. Baru malam ini, aku mendengar kata namaku keluar dari mulutmu. Dan aku sangat senang mendengar kau memanggilku dengan namaku seperti tadi.", ucapku senang dan antusias. "Sekarang, katakan sekali lagi.", pintaku.
"Katakan apa?"
"Katakan namaku sekali lagi.", aku mengulangi permintaanku dengan sedikit merengek.
Arthur tersenyum dan menggeleng. Mungkin, dia kembali heran mendengar permintaanku yang kekanakan itu. Tapi, tak urung dia juga tetap melakukan seperti apa yang kuminta.
"Terimakasih, Brie."
Karena begitu senang, aku langsung menghamburkan diriku padanya lalu memeluknya.
"Aku sangat senang mendengar kau memanggil namaku, Arthur. Aku sangat senang.", ucapku seraya memeluknya erat.
Arthur terkekeh. Kemudian, dia membalas pelukanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For The Beast
RomanceArthur Horrace, seorang mantan anggota mafia yang kembali ke desa tempat tinggalnya di Woodstock. Namun, hampir seluruh warga desa membenci dan mengucilkannya. Apalagi, dengan penampilannya yang garang, berambut panjang dan lengan yang penuh tattoo...