~BRIE~
Aku baru saja turun dari pesawat yang kutumpangi dari New York ke Vermont. Sekarang, aku sedang berada di bandara Rutland. Setelah mengambil koper, aku keluar dari bandara lalu memesan taksi yang akan mengantarku ke Woodstock.
Jarak antara Rutland ke Woodstock cukup jauh. Paling tidak membutuhkan waktu hampir empat puluh lima menit untuk sampai ke Woodstock dari bandara yang ada di Rutland.
Setibanya di Woodstock, aku meminta supir taksi agar langsung mengantarku ke rumah Arthur. Ya, aku tahu bahwa aku memang tidak tahu malu mengenai aku yang masih saja kembali ke rumah Arthur. Mengingat Arthur sendiri marah, kecewa dan mengabaikanku. Tapi, aku tidak ingin berpisah darinya. Aku kembali ke rumah Arthur karena aku ingin berbicara dan menyelesaikan masalah pertengkaran kami saat Arthur sudah pulang ke rumahnya nanti. Aku juga sengaja pulang lebih dulu ke Vermont bermaksud untuk memberi Arthur waktu. Begitu pun denganku. Saat ini, kami sama-sama sedang terbawa emosi dan tidak bisa berpikir jernih. Jika aku tetap berada di New York bersama Arthur, mungkin yang akan kami lakukan hanya bertengkar, saling berteriak dan aku menangis. Jadi, kupikir dengan aku pulang lebih dulu ke Vermont, adalah solusi yang baik bagi kami untuk saling meredakan emosi serta memberiku waktu untuk bisa berpikir dimana letak kesalahanku.
Sekarang, aku sudah sampai di rumah Arthur. Untung saja, sebelumnya Arthur sudah memberitahuku dimana dia biasa meletakkan kunci rumahnya saat dia sedang pergi. Setelah mencari kunci tersebut di tempat yang biasa, aku membuka pintu lalu masuk ke dalam.
Seketika, suasana hening, sepi dan dinginnya rumah Arthur menyambutku. Dua hari yang lalu, sebelum aku dan Arthur berangkat ke New York, suasana di rumah ini terasa hangat. Kami masih saling tertawa dan bermesraan di rumah ini. Seolah mengerti bahwa penghuninya sedang bertengkar, suasana hangat di rumah ini jadi ikut hilang dan digantikan oleh suasana dingin, sama seperti suasana hatiku dan Arthur saat ini.
Hanya dengan merasakan keadaan rumah yang seperti ini saja, air mataku kembali menetes. Setelah masuk dan menutup pintu, aku berjalan menuju ke kamarku dan Arthur. Aku meletakkan koperku sembarangan di lantai lalu membaringkan tubuhku di ranjang. Bahkan, ranjang yang kutiduri ini pun terasa sangat dingin. Padahal, sebelumnya ranjang ini adalah tempat terhangat dimana aku dan Arthur biasa bercinta dengan sangat panas.
Aku kembali menangis dengan keras ketika mengingat betapa pertengkaran kami membuat suasana hati dan rumah ini menjadi dingin dan sepi. Aku sangat sedih mengingat pertengkaranku dengan Arthur. Seharusnya, sekarang kami bisa jalan-jalan dan bersenang-senang di New York. Tapi, karena rasa cemburuku atas kedekatannya dengan Marsha, aku dan Arthur jadi bertengkar dan saling diam seperti saat ini.
Selama berada dalam perjalanan pulang ke Vermont tadi, aku terus berpikir di sepanjang jalan. Aku memikirkan semua kalimat yang diucapkan oleh Arthur saat dia marah padaku tadi.
Apakah benar bahwa perasaan cemburu yang ada dalam diriku sudah sangat berlebihan? Setelah kupikir-pikir, sepertinya Arthur benar. Perasaan cemburu yang timbul dalam diriku saat aku melihat Arthur dekat dengan wanita lain sudah sangat berlebihan. Mungkin, Arthur menganggapku sebagai wanita yang terlalu posesif terhadap dirinya. Dan sikapku yang posesif itu sudah sangat mengganggunya.
Karena begitu terganggu, Arthur sampai terang-terangan mengungkapkan kemarahan dan kekecewaannya padaku. Bahkan, dia juga sampai meragukan niat dan ketulusanku yang ingin dia kembali diterima oleh masyarakat. Perasaan cemburu dan posesifku yang sangat berlebihan itu pasti sudah membuat Arthur jadi merasa muak. Dia sudah menahannya sejak lama. Tapi, sekarang dia pasti sudah tidak tahan lagi terhadap diri dan sikapku selama ini. Maka dari itu, dia mengungkapkan segala kekesalannya padaku sekarang.
Aku memang wanita yang bodoh, kekanakan dan tidak tahu malu. Aku sudah mengecewakan Arthur dengan sifat pencemburu dan posesifku yang berlebihan padanya. Tapi, aku juga tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Cintaku padanya begitu besar hingga aku tidak sanggup menahan api cemburu yang timbul setiap kali melihat dia dekat dengan wanita lain.
Aku memang bodoh. Aku sangat bodoh. Aku jadi kesal, marah dan kecewa pada diriku sendiri mengingat kebodohan yang kulakukan selama ini.
Bagaimana jika Arthur tidak mau memaafkanku? Bagaimana jika setelah pertengkaran ini, Arthur justru ingin bercerai dariku karena dia muak dan tidak sanggup lagi menghadapi sikap buruk dan kekanakan yang ada dalam diriku?
Aku takut. Aku sangat takut.
Aku sangat mencintai Arthur. Aku tidak ingin berpisah darinya. Aku tidak ingin dia menceraikanku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menangis memikirkan masalah pertengkaranku dengan Arthur hari ini. Hanya yang kutahu sekarang adalah hari sudah mulai gelap, yang mana itu menunjukkan bahwa aku sudah menangis beberapa jam sejak aku sampai di rumah Arthur siang tadi. Walaupun hari sudah mulai gelap, tapi aku masih enggan menghidupkan lampu. Jadi, aku membiarkan seluruh rumah dalam keadaan remang hingga gelap.
Karena merasa lelah dan pegal akibat terlalu lama berbaring dan menangis di kamar, aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan menuju ke teras belakang rumah. Teras belakang rumah suasananya sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan suasana di kamar. Walaupun sama-sama terasa dingin dan sepi, pemandangan luar ruangan dan udaranya yang segar di teras belakang membuatku merasa sedikit lebih baik.
Begitu sampai di teras belakang, aku kembali merasa sedih saat melihat kursi bersantai yang ada di sini. Kursi bersantai ini sengaja dibuat oleh Arthur khusus untukku. Tapi, sekarang si pembuat kursi ini sedang marah dan kecewa padaku.
Dengan perasaan yang kembali sedih, aku duduk di kursi bersantai ini sambil mengingat kembali saat dimana aku dan Arthur bersantai berdua dan bermesraan di kursi ini. Semuanya terasa indah dan menyenangkan saat itu. Dan itu membuatku merindukannya.
Tapi, aku tidak yakin dengan Arthur. Arthur pasti masih sangat marah dan kecewa padaku. Dia mungkin tidak merindukanku. Atau mungkin saja, saat ini dia sedang memikirkan keputusan apakah dia akan tetap bertahan atau menceraikanku.
Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana jika benar bahwa Arthur sedang berpikiran untuk menceraikanku karena dia tidak tahan lagi menghadapi diriku? Apakah sebaiknya aku menelponnya lalu meminta maaf? Tapi, aku tidak suka jika kami berbicara melalui telepon. Karena aku tidak bisa melihat respon dan eskpresinya saat aku minta maaf padanya melalui telepon. Aku ingin berhadapan dan melihat ekspresinya secara langsung saat aku meminta maaf padanya. Aku ingin tahu apakah Arthur benar-benar bisa memaafkanku atau tidak.
Dalam hati, aku bertekad jika Arthur mau memaafkanku dan dia memutuskan untuk tetap bertahan denganku, aku akan berusaha untuk berubah dan memperbaiki diriku. Aku akan belajar mengendalikan diri dan menahan rasa cemburu yang timbul di hatiku. Aku juga tidak akan bersikap posesif lagi padanya. Aku tidak ingin membuat Arthur marah dan kecewa terhadap diriku lagi. Aku ingin Arthur kembali dan tetap bertahan denganku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For The Beast
RomanceArthur Horrace, seorang mantan anggota mafia yang kembali ke desa tempat tinggalnya di Woodstock. Namun, hampir seluruh warga desa membenci dan mengucilkannya. Apalagi, dengan penampilannya yang garang, berambut panjang dan lengan yang penuh tattoo...