~BRIE~
"Sudah. Aku sudah kenyang.", aku berkata pada Arthur saat dia hendak menyuapiku bubur untuk yang ke sekian kali.
Arthur mendesah pasrah.
Aku memang baru makan sedikit. Bahkan, bubur yang disiapkan oleh Arthur untukku, belum berkurang setengahnya. Tapi, aku tidak bisa memakannya lagi.
"Baiklah. Sekarang, minum dulu.", balas Arthur seraya menyerahkan segelas air putih padaku.
Aku juga hanya meminum sedikit air yang diberikan oleh Arthur. Lalu, aku mengembalikan gelas yang berisi air itu padanya.
Memang sejak aku sakit sekembalinya kami dari New York beberapa hari yang lalu, aku belum juga sembuh dan tidak bisa makan dengan benar. Aku sering kali merasa mual dan tidak jarang muntah setelah makan. Jadi, hanya sedikit makanan yang bisa masuk ke dalam tubuhku.
Walau begitu, Arthur tidak pernah menegur atau memarahiku karena aku sering muntah dan porsi makanku yang berubah menjadi sangat sedikit. Dia tetap merawatku dengan sabar dan telaten sambil sesekali mengungkapkan betapa dia sangat khawatir dengan keadaanku.
Sebelumnya, keadaanku sempat membaik. Tadi pagi, aku sudah bisa bangun dari ranjang. Bahkan, aku juga sempat memasak sarapan untukku dan Arthur. Tapi, sejak kedatangan Marsha ke rumah kami tadi pagi, perutku jadi kembali mual dan terus bergejolak. Serta, tubuhku juga kembali menjadi lemah. Akibatnya, selama seharian ini aku kembali berbaring di ranjang dan membuat Arthur kembali mengurusku.
"Aku akan mengembalikan mangkok dan gelas ini ke dapur sebentar. Setelah itu, aku akan kembali lagi ke sini.", ucap Arthur.
Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya.
Arthur tersenyum lalu berdiri. Sebelum keluar kamar, dia mencium dahiku lembut dan lama. Baru setelah itu, dia keluar dari kamar dan menuju ke dapur.
Tidak lama kemudian, Arthur sudah kembali lagi ke kamar. Dia mengikutiku duduk di ranjang sebelahku lalu meraih sebelah tanganku.
"Bagaimana perasaanmu, Sayang?", tanyanya sambil mengelus begian belakang telapak tanganku.
"Aku merasa lemas, pusing dan mual.", jawabku dengan jujur.
Arthur langsung membawaku ke dalam pelukannya lalu mencium puncak kepalaku.
"Apa yang membuatmu jadi sakit seperti ini, Sayang? Apa kau sedang stress memikirkan sesuatu? Atau mungkin kau sedang menahan perasaan dalam hatimu? Jika memang benar begitu, ceritakan padaku apa yang kau rasakan sekarang. Jangan memendamnya sendiri.", Arthur berbicara sambil mengelus pelan punggungku.
Sekarang, aku jadi bingung. Sejujurnya, aku juga tidak tahu sesuatu atau masalah apa yang sedang kupendam sekarang. Tapi, aku merasa bahwa masih ada sesuatu yang mengganjal diantara aku dan Arthur. Mungkinkah sesuatu yang mengganjal itu adalah rasa bersalahku padanya?
Aku masih diam di pelukan Arthur selama beberapa saat. Aku sedang memikirkan bagaimana perasaanku dan apa yang mengganggu pikiranku sekarang.
"Aku tidak tahu.", ucapku yang tetap saja merasa bingung.
Arthur menjauhkan sedikit tubuhku dari pelukannya. Lalu, dia menatapku.
"Apa yang kau tidak tahu?", tanyanya lembut.
"Aku tidak tahu tentang bagaimana perasaanku atau apa masalah yang sedang mengganggu pikiranku. Tapi, aku merasa bahwa masih ada yang belum beres dan mengganjal diantara kita."
"Kalau begitu, katakan sekarang. Katakan apa yang menurutmu masih belum beres dan mengganjal diantara kita. Katakan padaku sesuatu apa yang membuat hatimu merasa gelisah. Katakan semuanya padaku, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For The Beast
RomanceArthur Horrace, seorang mantan anggota mafia yang kembali ke desa tempat tinggalnya di Woodstock. Namun, hampir seluruh warga desa membenci dan mengucilkannya. Apalagi, dengan penampilannya yang garang, berambut panjang dan lengan yang penuh tattoo...