~ARTHUR~
"Arthur, aku akan langsung tidur malam ini. Efek anggur yang kuminum tadi membuatku merasa pusing dan sedikit mabuk.", Brie berkata padaku setelah kami berdua sampai di apartemen.
"Baiklah. Kau bisa langsung tidur. Tapi, apa kau yakin bahwa kau baik-baik saja, Sayang?", tanyaku khawatir.
Brie mengangguk.
"Aku baik-baik saja. Sekarang, aku akan ganti baju dan membersihkan diri dulu.", ucapnya lalu berjalan mendahuluiku masuk ke kamar mandi.
Sedangkan, aku berada di kamar dan mulai melepas jas serta pakaian formal laim yang melekat di tubuhku.
Tidak lama kemudian, Brie sudah keluar dari kamar mandi. Dia sudah mandi dan mengenakan gaun tidur bermodel kimono. Dia terlihat berbeda malam ini. Dia jadi lebih pendiam dan tidak tersenyum riang atau menggodaku seperti yang biasa dia lakukan. Selain itu, ekspresi juga terlihat lelah. Sepertinya, Brie benar-benar mabuk dan butuh istirahat.
"Aku akan tidur dulu.", ucapnya lalu membaringkan tubuhnya di ranjang.
"Ya, Sayang. Sekarang, giliran aku yang akan mandi. Setelah itu, aku akan tidur bersamamu."
Brie tidak menanggapi ucapanku. Melainkan, dia langsung memejamkan mata.
Setelah itu, aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sekitar lima belas menit kemudian, aku sudah selesai mandi. Saat di kamar, aku langsung berbaring di ranjang sebelah Brie.
Aku hendak menciumnya. Tapi, sebelum itu aku menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Biasanya, saat sedang tidur pun ekspresi Brie akan tampak rileks dan bahagia. Namun, sekarang ekspresinya terlihat berbeda dan sedikit tegang. Dahinya tampak berkerut seakan menunjukkan bahwa dia sedang sedih dan gelisah. Apakah ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya hingga membuat ekspresinya tegang dan gelisah seperti ini?
Setelah berpikir selama beberapa saat, aku tetap tidak bisa menemukan jawabannya. Jadi, aku memutuskan untuk menanyakan hal itu secara langsung padanya besok.
Aku tidak ingin Brie menyimpan sendiri masalahnya jika dia memang sedang memiliki masalah. Aku ingin dia berbagi masalahnya denganku agar aku bisa membantu menyelesaikan dan menenangkannya.
Lalu, aku melanjutkan niatku mencium dahinya. Aku menciumnya dengan lembut dan hati-hati agar tidak mengganggu tidurnya.
"Selamat malam, Sayang. Aku mencintaimu.", ucapku padanya.
Setelah itu, aku ikut berbaring dan ikut tidur bersamanya.
***
"Sayang...", aku membangunkan Brie yang masih tidur.
Tidak lama kemudian, Brie membuka sedikit matanya lalu menyipit menatapku. Dia terlihat sedikit bingung saat melihat penampilanku.
"Arthur, kau sudah rapi? Jam berapa sekarang? Dan kau ingin kemana dengan pakaian rapi seperti itu?", tanyanya tidak bersemangat dengan suara serak khas orang bangun tidur. Selain itu, ekspresinya juga menunjukkan bahwa dia masih sangat mengantuk.
"Aku akan ke kantor sebentar. Ada rapat penting yang harus kuhadiri. Karena Greg sedang cuti, jadi aku yang akan menggantikan sementara tugasnya mengurus urusan kantor selama kita berada di sini."
Brie masih diam seolah sedang mencerna jawabanku. Sepertinya, dia masih belum sepenuhnya sadar dari rasa kantuknya.
"Kau tidurlah lagi. Aku tahu kau pasti masih merasa lelah dan pusing akibat minum semalam. Aku hanya akan ke kantor sebentar. Sepulang dari kantor nanti, aku juga akan mampir ke apotek dan membeli aspirin untuk meredakan pusing dan pengar yang kau rasakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For The Beast
RomanceArthur Horrace, seorang mantan anggota mafia yang kembali ke desa tempat tinggalnya di Woodstock. Namun, hampir seluruh warga desa membenci dan mengucilkannya. Apalagi, dengan penampilannya yang garang, berambut panjang dan lengan yang penuh tattoo...