Bab 32

742 62 49
                                    

~BRIE~

Aku baru saja selesai sarapan. Walaupun sudah terlambat untuk dikatakan sarapan. Karena sekarang sudah hampir jam sepuluh pagi. Aku memang baru bangun sekitar jam sembilan tadi. Maka dari itu, aku baru makan sekarang.

Tidak biasanya aku bangun sesiang ini. Karena sejak semalam kepalaku terasa pusing, jadi aku tidur lagi setelah Arthur membangunkanku tadi pagi. Sepertinya, pusing yang kurasakan ini adalah efek dari anggur yang kuminum semalam. Padahal, aku hanya minum anggur satu gelas. Tapi, efeknya aku langsung merasa mabuk dan pengar seperti ini. Lain kali, aku akan berpikir dulu jika aku ingin minum minuman beralkohol. Karena efek pengar yang ditimbulkan sangatlah tidak menyenangkan. Seperti yang sedang kurasakan saat ini.

Walaupun aku masih merasa pusing, tapi aku tetap bangun, makan lalu mencuci piring. Aku tidak ingin merepotkan Arthur jika aku sampai membuat apartemennya kotor dan berantakan hanya karena rasa pengar menyebalkan yang menyerangku saat ini.

Tepat setelah aku selesai mencuci piring, aku mendengar suara pintu apartemen terbuka. Apakah itu Arthur?

"Brie...!", Arthur memanggilku.

Aku berjalan dengan riang dan penuh semangat hendak menyambut kedatangannya. Tapi, perasaan riang dan semangatku itu langsung hilang saat melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Arthur padaku saat ini.

"Apa yang kau katakan pada Marsha semalam, Brie?", Arthur bertanya dengan nada bicara yang dingin dan sedikit membentak.

Aku terkejut dengan nada bicaranya yang seperti itu. Sudah beberapa bulan Arthur tidak pernah berbicara padaku dengan nada dingin dan tajam seperti yang dia lakukan saat ini. Selain itu, saat ini ekspresinya juga terlihat marah.

"Apa yang kau katakan pada Marsha semalam? Jawab pertanyaanku, Brie!", Arthur semakin membentakku.

Oh, jadi semua ini karena Marsha? Arthur tiba-tiba pulang ke apartemen dalam keadaan marah hanya untuk bertanya tentang apa yang terjadi antara aku dan Marsha semalam?

Sungguh, dia benar-benar keterlaluan.

Karena emosiku juga ikut tersulut, aku malah balas menatapnya dengan tatapan berani dan menantang.

"Aku memperingatkan dan melarangnya agar tidak terlalu dekat denganmu.", balasku santai dan tidak takut. Aku juga mengatakan itu tanpa perasaan bersalah sedikit pun.

"Kenapa kau melakukan itu pada Marsha? Kenapa kau melarang Marsha dekat denganku? Dan siapa kau hingga berani mengatur serta melarang temanku agar tidak terlalu dekat denganku?", Arthur semakin berteriak marah.

Sungguh, ucapan Arthur kali ini benar-benar melukai hatiku.

"Siapa aku? Kau bertanya tentang siapa aku? Apa kau sudah lupa bahwa aku adalah istrimu?", aku balas berteriak. "Dan dengarkan jawabanku atas pertanyaanmu tadi. Aku melarang Marsha dekat denganmu karena aku cemburu. Aku sangat cemburu melihat kedekatan kalian saat di pesta kemarin. Karena aku tahu bahwa Marsha tertarik padamu. Dia punya perasaan padamu. Dia mencintaimu. Itu sebabnya aku memperingatkan dan melarang dia agar tidak terlalu dekat denganmu. Aku tidak ingin dia menggodamu. Aku tidak ingin dia merebutmu dariku, Arthur.", aku berteriak dengan frustasi.

Arthur menatapku semakin berang.

"Berhenti bicara omong kosong tentang Marsha yang memiliki perasaan padaku! Marsha tidak mencintaiku! Di sini, kau yang bersalah. Kau yang sudah bersikap berlebihan dan terlalu posesif! Sikapmu itu sangat berlebihan dan kekanakan, Brie! Aku tahu bahwa kau adalah istriku. Tapi, apakah dengan begitu kau merasa berhak sepenuhnya atas diriku? Apakah kau merasa seberhak itu hingga mengatur dan melarang setiap orang yang dekat denganku? Dulu Karen. Kemudian teman-teman wanitaku di desa. Dan sekarang Marsha. Jika ada wanita lain lagi yang dekat denganku hanya sebatas menyapa atau mengobrol, apakah kau juga akan cemburu lalu marah dan melabraknya seperti yang selalu kau lakukan selama ini?"

Love For The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang