Bab 35

939 73 47
                                    

~ARTHUR~

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih lima jam dari New York ke Vermont, kini aku sudah sampai di rumahku di Woodstock. Aku memang mengemudi dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata karena aku ingin segera sampai rumah. Aku ingin segera memastikan apakah Brie benar-benar pulang ke rumah kami atau tidak.

Aku menghentikan mobilku di depan teras rumahku yang tampak gelap. Tidak hanya bagian teras, tapi bagian dalam rumahku juga seluruhnya gelap. Tidak ada lampu yang menyala.

Sekarang sudah malam. Jika Brie memang pulang ke rumah, seharusnya dia menghidupkan lampunya, bukan? Atau jangan-jangan Brie tidak pulang ke rumah ini? Melainkan dia pulang ke rumah orang tuanya?

Aku jadi merasa semakin takut dan panik. Aku takut jika Brie tidak pulang ke rumah ini. Tapi, rasa takutku itu sedikit hilang saat mengetahui bahwa kunci di tempat biasa aku meletakkannya saat aku sedang keluar rumah, sudah tidak ada. Hanya aku dan Brie yang tahu dimana aku meletakkan kunci itu. Jika kuncinya di sini sudah tidak ada, berarti Brie yang mengambilnya.

Dengan segera aku berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Dan benar. Pintu rumahku tidak terkunci. Suasana ruang tamu rumahku juga tampak hening dan gelap. Tidak ada tanda-tanda bahwa Brie sedang berada di ruang tamu rumahku. Lalu, aku menekan sakelar di dinding ruang tamu untuk menyalakan lampu. Jika Brie tidak ada di ruang tamu, mungkin dia sedang tidur di kamar. Jadi, dia lupa menghidupkan lampu. Itulah yang menjadi harapanku.

"Sayang...", aku memanggilnya seraya berjalan menuju kamar.

Saat membuka pintu kamar dan menghidupkan lampu, aku juga tidak melihat Brie ada di dalam kamar. Tapi, aku melihat kopernya tergeletak sembarang di lantai. Selain itu, sisi sebelah ranjang juga tampak sedikit berantakan seperti habis ditiduri.

Ketakutan yang kurasakan sedikit mereda saat mengetahui fakta bahwa Brie memang benar pulang ke rumah ini. Tapi, jika di depan dan di kamar tidak ada, lalu dimana dia sekarang?

Hanya tinggal satu tempat dimana kemungkinan Brie berada di rumah ini, yaitu di teras belakang rumah. Brie selalu mengatakan padaku bahwa teras belakang rumah adalah tempat favoritnya di rumah ini. Jadi, aku melangkahkan kakiku berjalan ke arah pintu belakang rumah lalu membukanya.

Dan aku langsung mendesah lega ketika melihat Brie sedang duduk sendirian di kursi bersantai buatanku yang ada di sana.

Brie menoleh dan mendongak menatapku yang kini sedang berdiri di ambang pintu.

Walaupun pencahayaan di sini sedikit remang karena lampu teras belakang rumah belum dinyalakan, tapi aku tahu dan bisa melihat bahwa Brie habis menangis. Jika dilihat dari penampilannya yang berantakan serta wajahnya yang sangat sembab dan memerah sedih, sudah dapat dipastikan bahwa dia menangis sangat lama hingga berjam-jam.

"Arthur, kau sudah pulang?", tanyanya canggung dengan suara yang terdengar sangat parau.

Sebelum bergabung dengan Brie duduk di kursi teras, aku menekan sakelar di dekat gawang pintu untuk menyalakan lampu. Sekarang, wajah Brie yang sembab dan memerah sedih terlihat jelas di mataku.

Aku duduk di depannya, di kursi bersantai yang sama dengan yang saat ini sedang dia duduki. Begitu aku sudah berada di hadapannya, Brie sedikit menunduk dan sesekali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia seperti sedang menghindari tatapanku.

"Apakah urusanmu di New York sudah selesai? Maafkan aku karena tadi aku pulang dulu. Oh ya, apakah kau sudah makan malam? Aku juga minta maaf karena saat kau pulang, aku belum memasak. Aku tidak tahu kalau kau juga pulang ke rumah hari ini.", tanyanya beruntun seolah sedang menyembunyikan kesedihan yang dia rasakan. Dia juga hanya berani menatapku sekilas dengan memaksakan senyum yang justru terlihat pedih di mataku. Sikapnya yang berusaha tampak baik-baik saja itu tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang dia rasakan saat ini.

Love For The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang