Bab 36

791 68 32
                                    

~BRIE~

Selama seharian kemarin, aku sakit. Aku merasa pusing, mual, muntah dan demam pada malam harinya. Selain itu, aku juga merasa lemas hingga rasanya aku hampir tidak bisa bangun dari ranjang. Dan saat aku sedang sakit itulah, Arthur yang merawatku.

Sejak dua malam sebelumnya, Arthur sudah begadang merawatku dan membuatkanku makanan di tengah malam ketika aku muntah karena seharian tidak makan sepulang dari New York. Lalu, seharian kemarin, dia juga merawatku serta mengurus kebutuhannya sendiri yang mana seharusnya itu menjadi tugasku. Kemudian, pada malam harinya, dia kembali begadang karena harus mengompresku yang sedang demam. Dia sudah tidak tidur selama hampir dua hari karena merawatku yang sedang sakit. Dan baru dini hari tadi, dia bisa tidur saat demamku sudah mulai turun.

Sekarang, aku sudah merasa sedikit lebih baik. Aku jadi merasa bersalah pada Arthur karena aku sakit, dia yang harus merawatku hingga dia tidak tidur. Aku pasti sangat merepotkannya kemarin.

Jadi, walaupun hari ini aku masih belum terlalu sehat dan masih merasa sedikit pusing dan lemas, aku tetap memaksakan diriku untuk bangun. Aku harus memasak dan mengurus Arthur serta diriku sendiri. Aku tidak ingin Arthur kerepotan lagi karena mengurusku seperti kemarin.

Setelah berhasil bangun dari ranjang, aku segera mandi dan berganti pakaian. Baru kemudian, aku menuju ke dapur. Saat membuka kulkas yang ada di dapur, aku terkejut ketika melihat kulkas yang sudah penuh dengan bahan makanan. Padahal, aku belum berbelanja minggu ini. Pasti Arthur yang berbelanja dan mengisi kulkasnya kemarin. Aku jadi semakin merasa bersalah padanya karena dia harus melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tugasku.

Setelah melihat isi kulkas, aku mengambil beberapa butir telur. Aku akan memasak omelet saja pagi ini. Karena aku masih terlalu lemas untuk memasak menu sarapan lain yang lebih rumit.

Kemudian, aku memulai kegiatanku memasak. Saat aku tengah mengocok telur, tiba-tiba aku mendengar suara Arthur memanggilku.

"Sayang?"

"Di dapur.", balasku dengan sedikit berteriak agar dia mendengarku.

Tidak lama kemudian, terlihat Arthur keluar dari kamar lalu menghampiriku. Dia berjalan cepat dan ekspresinya terlihat panik.

"Kenapa kau bangun, Sayang? Kau masih sakit. Seharusnya, kau beristirahat saja di kamar.", dia memprotesku dengan nada khawatir namun lembut.

Aku tersenyum tipis padanya.

"Aku sudah merasa lebih baik. Jadi, aku bangun karena ingin memasak sarapan untukmu."

Arthur mendesah lelah lalu memelukku.

"Jangan khawatirkan aku, Sayang. Aku bisa mengurus diriku sendiri selama kau sakit. Yang perlu kau perhatikan sekarang adalah kondisi kesehatanmu. Kau harus benar-benar sembuh lebih dulu. Baru setelah itu, kau bisa kembali memperhatikanku. Tapi, kenapa kau masih saja mengkhawatirkanku padahal keadaanmu sedang sakit seperti ini?"

"Karena kau adalah suamiku. Dan aku mencintaimu. Sudah menjadi tugasku untuk mengurus, memperhatikan dan menyiapkan segala keperluanmu."

Arthur melepaskan pelukannya padaku lalu menatapku dengan tatapan lembut.

"Aku juga mencintaimu.", balasnya lalu mendekatkan kepalanya padaku. Kemudian, dia mencium bibirku.

Sungguh, aku sangat merindukan ciumannya yang seperti ini. Sudah beberapa hari Arthur tidak menciumku di bibir dengan lembut seperti ini. Karena sejak kami bertengkar di New York dua hari yang lalu, kami belum berciuman lagi. Hingga hari ini.

Jika saja sekarang aku tidak sedang sakit, aku pasti sudah membalas ciumannya dengan sangat panas karena aku begitu merindukannya. Tapi, keadaanku sekarang membuatku tidak berminat dan tidak bersemangat melakukan apapun, termasuk berciuman panas dengan Arthur.

Love For The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang