Bab 40

812 75 29
                                    

~BRIE~

Entah sudah berapa kali aku muntah hari ini. Sejak bangun tidur tadi pagi, hingga sekarang sudah tengah hari, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar mandi untuk muntah. Aku tidak tahu kenapa semakin hari perutku terasa semakin mual dan sering sekali muntah. Sudah seminggu aku mengalami hal seperti ini. Bukannya membaik, tapi pusing, mual dan muntah yang kualami justru semakin parah.

Saat dirasa sudah tidak ingin muntah lagi, aku menyalakan kran wastafel lalu berkumur dan membersihkan area sekitar mulutku.

"Sayang, kau baik-baik saja?", Arthur yang sejak tadi berdiri di belakangku ketika aku muntah, kini bertanya khawatir.

Aku menggeleng. Saat aku membalikkan badan hendak menghadapnya, tiba-tiba pandanganku kabur dan tubuhku terasa lemas. Tapi, sebelum tubuhku merosot ke lantai, Arthur berhasil menangkapku lalu menggendongku menuju ke kamar.

"Astaga, Sayang. Kau sampai lemah dan hampir pingsan seperti ini.", Arthur berbicara padaku.

Aku hanya diam sambil memejamkan mata. Tubuhku benar-benar lemas sekarang. Hingga rasanya aku tidak sanggup untuk berbicara.

"Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang. Dan aku tidak menerima penolakan lagi."

Aku membuka mata hendak protes. Tapi, Arthur kembali berbicara.

"Kau sudah sakit seperti ini selama seminggu, Sayang. Bukannya membaik, tapi kondisi tubuhmu malah semakin melemah. Bahkan, hari ini kau juga tidak bisa makan apapun sejak pagi. Aku tidak peduli apakah kau setuju atau tidak dengan keputusanku. Karena aku akan tetap membawamu ke rumah sakit hari ini."

Aku mendesah pasrah. Mungkin, Arthur benar. Sudah terlalu lama aku sakit. Jadi, aku akan mengalah kali ini. Aku akan membiarkannya membawaku ke rumah sakit.

Sekarang, Arthur sedang sibuk mengambil beberapa pakaian dari dalam lemari. Setelah itu, dia kembali ke ranjang menghampiriku.

"Sayang, aku akan membantumu berganti pakaian. Setelah itu, kita akan berangkat ke rumah sakit."

Aku mengangguk patuh.

Arthur membantuku duduk lalu mengganti pakaianku yang saat ini hanya berupa piyama dengan dress yang lebih pantas untuk kukenakan saat kami akan berangkat ke rumah sakit nanti.

***

Sekarang, aku sedang berada di rumah sakit. Setibanya di rumah sakit tadi, aku langsung mendapatkan perawatan dan diinfus karena aku mengalami dehidrasi. Sementara, Arthur menunggu di sebelah ranjang rumah sakit tempatku berbaring saat ini.

"Maafkan aku karena merepotkanmu.", ucapku merasa bersalah.

Arthur mengecup bagian belakang tangan kananku yang bebas dan tidak tertancap jarum infus. Lalu, dia menggenggamnya dengan hangat.

"Kau tidak merepotkanku, Sayang. Aku tidak keberatan merawatmu. Kau memang sedang sakit. Aku membawamu ke rumah sakit bukan karena aku kewalahan atau mengeluh saat merawatmu di rumah. Melainkan, karena aku sangat khawatir dengan kondisimu. Aku ingin kau bisa diperiksa dan ditangani oleh dokter agar kau segera sembuh.", balasnya.

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Dari ekspresinya saja, aku sudah tahu bahwa Arthur memang sangat peduli, perhatian dan mengkhawatirkanku.

"Apa kau sudah menghubungi para orang tua kita kalau aku dirawat di rumah sakit?", tanyaku.

"Belum. Aku belum sempat menghubungi mereka. Sejak tadi, pikiranku hanya fokus dan khawatir padamu. Hingga aku tidak sempat memikirkan hal lain, termasuk menghubungi para orang tua kita."

"Kalau begitu, jangan hubungi mereka dulu."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Kita juga belum tahu aku sakit apa karena hasil pemeriksaan dokter belum keluar. Bisa saja, aku hanya demam atau sakit maag. Jadi, lebih baik kita tunggu hasil pemeriksaan dokter dulu. Baru jika hasil pemeriksaan dan dokter mengatakan bahwa aku harus menginap di rumah sakit agar mendapatkan perawatan, maka kau bisa menghubungi para orang tua kita."

Love For The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang