|| teori apa itu? ||

767 43 11
                                    

"Iya dong pak, ceritakan tentang dunia pararel saja."

"Materi baru mau bapak sampaikan, semua harus belajar!"

"Yah!" Semua murid di kelas langsung lemas bagai disuntik imun yang menyebabkan meriang di badan. Lama-lama lemah, lemas, lalu pingsan.

"Tapi pak, apa bapak percaya kalau matematika itu sebenarnya hanya sebuah hitungan yang bisa berubah tergantung di alam semesta mana angka tersebut dihitung. Apa bapak tau siapa itu Max Tegmark?" Semua mata memandangㅡpandangan bagai lampu sorot ke arah bangku penonton hingga rasanya aku jadi membeku diatas kursi kayu panas ini. Disini aku dikategorikan sebagai murid pendiam. Meski pendiam aku juga harus bersuara. Bahwasanya, belajar di jam terakhir itu membuat ku bad mood, sumpah serapah ku keluar kalau sudah begitu

"Max Tegmark itu ilmuan, lantas ada apa, Van?"

Aku agak canggung sih kalau situasinya sudah seperti ini. Teman-teman ku yang duduk di belakang, samping kiri kanan dan depan pun mulai memberikan aku semangat agar aku dapat berbicara lebih banyak supaya kita semua sama-sama tidak belajar.

"Betul. Hem...maksud saya disini adalah, jika rumus saja hanya sebuah garis finish menuju kepastian, apa bedanya dengan banyak rumus yang bisa ditemui melalui logika, pak?"

"Tergantung, kamu, kalian, itu bisa tidak berpikir luas, dan bisa tidak kalian itu menemukan banyak cara untuk menyelesaikan persoalan nya. Kalau kalian mampu, ya.. kalian bisa menemukan rumus baru untuk penyelesaian soal sesuai tingkat kesulitan masing-masing. Kalau tidak bisa juga, yah, kembali lagi pada teori umum yang sudah menjadi rumus umum bagi pelajar seperti kalian-kalian ini. Kok kamu bisa berpikir teori dari mas Max Tegmark, Van?"

Bukan cuma aku yang tertawa, teman-teman satu kelas ku 'pun juga. Lucu saja, guru kami ini menyebutkan nama Max Tegmark dengan sebutan 'mas'. Serasa tetangga dekat yang sering saling menyapa saja. Ingin geleng-geleng kepala, tapi guru ku itu masih saja menatap aku. Aku jadi bingung harus menjawab apa lagi. Di lain sisi, aku sudah sudi dengan persetujuan ini- persetujuan untuk basa-basi agar kami semua membuang waktu dalam jam mengajar saat ini.

"Memang bapak kenal dekat dengan si mas Tegmark itu, pak?" Ucap teman ku yang duduk di pojok dekat jendela, depan meja guru tersebut.

"Lumayan. Sudah-sudah! Ayo belajar!"

"Pak! Itu si Vanya masih mau bertanya, tetapi tidak terdengar, pak."

Aku menoleh kepada seorang pria, melotot menatap dia yang sedang mesem-mesem menggoda aku. Pun aku terkesiap karena Jeffri ini memang senang sekali mencari kesempatan yang padahal aku sendiri sudah diam sambil buka tutup mata karena kantuk. Bosan. Belajar tidak menyenangkan sama sekali.

"Apa itu, Van?"

Mulut ku komat-kamit. Buka tutup, buka tutup. Tidak jelas. "Saya...mau bertanya.... itu pak....kalau....apa benar yang ditayangkan di TV soal pengakuan saudara kembar tanpa identitas yang jelas itu benar adanya?"

Beliau terlihat berpikir, yang lain pun juga. Apa lagi akuㅡaku saja tidak tau apa yang sudah aku tanyakan tadi. Tayangan di TV itu cuma sekilas ku baca judulnya di bawah layar, pun tak mendengar dengan teliti apa yang reporter TV tersebut sampaikan.

"Kalau dari pengakuan sang ibu nya... Ibunya tersebut menyampaikan bahwa anaknya itu anak tunggal, data dari rumah sakit pun menyatakan kalau beliau tidak pernah melahirkan anak kembar, tertukar, dicuri, apalagi dijadikan kasus gelap rumah sakit yang mungkin satu anak dinyatakan meninggal namun tidak dikonfirmasi oleh pihak yang bertanggung jawab. Sempat heboh memang, tapi data-data kebidanan lama beliau pun menyatakan kalau anaknya memang tunggal waktu diperut ibunya. Aneh ya."

PARALLEL UNIVERSES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang