|| Putri kecil kesayangan ku ||

62 7 14
                                    

Langit masih menangis sejak bom dijatuhkan, dua orang pria disana juga ikut menangis tak kala dengan ringisan seakan luka di dada perempuan yang tertidur selamanya ada di diri mereka.

Kapas putih nan tebal berwarna abu di langit berlomba-lomba berlari mengikuti arah angin, warna jingga pun ikut serta memberikan penerangan. Meskipun hujan masih turun, jingga itu akan tetap bermain bersama rintik hujan.

Tidak, yang paling tersakiti disini adalah seorang pria dengan mata yang mulai berubah kebiru-biruan. Entah apa alasannya, genetik semacam itu membuat satu pria lainnyaㅡ temannyaㅡterlihat khawatir karena perubahan matanya.

"Lo?!"

Venmout menoleh, menatap Rio dengan maksud agar pria itu lebih baik diam daripada menanyakan alasan yang pastinya sudah ia ketahui.

Kini, membiarkan hujan berusaha menembus kulit pun terasa percuma, apalagi ikut serta menyumbangkan air mata agar hujan dapat menghasilkan air yang lebih banyak. Semuanya hanya sia-sia.

Dengan keputusan bulat yang sudah dipikirkan secara matang, Rio berusaha memejamkan matanya, egonya mulai menyebar ke seluruh tubuhnya, tiap organ pun mulai melakukan tugasnya. "Kalau lo biarin gue bunuh manusia buatan itu, gue janji bakal akhiri perang ini, dan Pumi mengaku kalah dari Bumi. Kita akan sama-sama menutup akses sinyal radio kita, dan semuanya akan tertutup untuk saling terhubung. Alias, dihancurkan"

Venmout menimpali. "Dengan kata lain, lo akan membuat semua hubungan terputus? Tiap planet yang memiliki kehidupan akan kesusahan menembus sinyal milik masing-masing tempat? Terus, manusia yang udah terlanjur mengenal kehidupan lain, gimana?"

"Bumi menyatakan gugur, sebaliknya pun begitu. Dengan cara seperti itu, tiap manusia akan berpikir untuk tidak melanjutkan nya. Sama aja menyatakan perang dunia ke dua. Gue harap sih, mereka bisa berpikir begitu"

Satu pria lainnya yang hanya diam menatap kosong ke arah wanita yang diharapkan segera bangun itupun mencoba untuk menenangkan diri untuk ikut berkontribusi dalam diskusi perdamaian ini.

"Archer, menurut kamu, gimana?" Tanya Venmout pada pria itu. Kasihan. Seakan tanah-tanah itu sengaja melekatkan dirinya pada Archer supaya pria itu tidak bisa bangun dan lari kemana-mana.

Rio menatap Archer dengan alis bertaut, seperti dia akan tau apa yang akan dikatakan pria itu nanti. "Dia gak boleh ikut, kecuali mata biru itu pulih ke warna yang semula" Lagi, Rio kembali menatap Archer yang masih menundukkan kepalanya ke bawahㅡmenatap seorang mayat perempuan yang sampai kapanpun tidak dapat memerintahkan pria itu untuk segera berdiri lalu berhenti untuk menangisi dirinya.

Sebelum semua yang tidak di inginkan terjadi, Rio ikut menurunkan diri, hingga Archer menatap penuh ambisi kepada pria yang ada di sampingnya.

Bagi Archer, sebelum Rio mulai menenangkan mata birunya, pria itu lebih banyak memiliki ambisi untuk membalaskan dendam terhadap kenyataan yang baru saja ia terima.

Ketika kedua langkah kaki itu sudah melangkah lebih cepat meninggalkan dua orang pria lainnya, Rio menghalangi Venmout untuk menyusuli kemana Archer pergi. "Pumi itu diciptakan dari sel yang bersifat membunuh. Kalau mata biru itu udah muncul, kita harus diam daripada ikut terlihat di dalamnya. Siapapun yang ia lihat, ucapkan selamat tinggal kepada dunia"

Sang lawan bicara terkejut bukan main, alias, dia Venmout. Kepalanya langsung menoleh menatap seorang wanita yang masih berposisi sama dibawah sana.

Ternyata ini yang dinamakanㅡAda waktu ketika seorang pria harus mengambil keputusan yang sulitㅡketika perdamaian terjadi, maka ada pengorbanan yang harus dilakukan demi banyak orang yang tidak mengerti apa-apa atas dasar keserakahan dua pihak yang jauh lebih dari kata pintar.

PARALLEL UNIVERSES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang