Chapter 10

4.7K 344 3
                                    

"Kamu di mana?"

Pertanyaan dari Joshua di panggilan telepon membuat jantung Jeana berdetak lebih kencang. Kenapa kakaknya menelepon di saat seperti ini?

Jeana menoleh ke kanan dan kiri, memastikan kakaknya tidak sedang mengawasinya dari suatu tempat. Setelah yakin bahwa kakaknya memang tidak berada di sekitarnya, Jeana memperbaiki posisi ponsel yang ia jepit di antara bahu dan kepalanya, "Ehhh... Aku mau pergi makan malam," jawab Jeana berusaha terdengar santai.

"Sama Wilfred?" tanya Joshua lagi dari seberang sana.

Kecurigaan Joshua sebenarnya bukan tanpa alasan. Malam itu, adik semata wayangnya memberikan usaha lebih untuk berdandan. Jeana bahkan memakai parfum kesayangannya serta stiletto pemberian ibunya yang selalu ia keluhkan membuat kakinya pegal walaupun terlihat cantik.

"Bukan, sama teman," jawab Jeana singkat.

"Oh, Kakak kira kamu pergi kencan. Ya sudah, hati-hati di jalan, ya. Pulangnya jangan terlalu malam."

Setelah menggumam kecil, Jeana mengakhiri panggilan telepon lalu menghela napas lega.

Takut ketahuan oleh keluarganya, Jeana memutuskan untuk menunggu Han di depan coffee shop di jalan raya dekat rumahnya. Tadinya Jeana ingin membawa mobil sendiri, tapi Han bersikeras menjemputnya.

Dengan perut yang terasa dipenuhi kawanan kupu-kupu, mata Jeana tidak berhenti mengamati mobil-mobil yang lewat. Walaupun suasana malam sangat riuh dan gelak tawa para pengunjung coffee shop memenuhi udara, Jeana masih bisa mendengar debaran jantungnya sendiri.

Apakah seperti ini rasa antusias ketika sedang menunggu dijemput oleh pacar? Seperti tidak sabar menunggu giliran naik bianglala?

Tidak lama kemudian, sebuah mobil Audi Sport berwarna hitam berhenti di tepi jalan dan seorang pria melambaikan tangan dari kaca jendela yang diturunkan.

"Udah lama nunggu?" tanya Han setelah turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang untuk Jeana dan menutupnya setelah gadis itu masuk.

"Belum, aku juga baru sampai," jawab Jeana setelah Han masuk ke dalam mobil.

Bukannya langsung menjalankan mobil, Han malah terdiam sambil memandang wajah Jeana. Merasa jengah ditatap seperti itu, Jeana lalu memegang pipinya sendiri, "Apa... ada sesuatu di wajahku?"

Dahi Jeana berkerut. Perasaannya mengatakan ia terlihat baik-baik saja, lebih cantik dari biasanya malahan, tapi kenapa Han masih melihatnya? Wajah Jeana perlahan terasa memanas.

"Oh, nggak. Cuma mau bilang, you look extraordinarily beautiful tonight," jawab Han santai sambil melemparkan senyum manisnya.

"O-Oh... Thanks, you look great too..." balas Jeana lirih sambil menundukkan kepalanya, tidak bisa berlama-lama menatap Han atau jantungnya terasa akan meledak.

"Jea, seat belt,"

"Eh—"

Belum sempat Jeana bereaksi, Han sudah meraih sabuk pengaman dari kursi yang gadis itu duduki. Terkejut akan jarak di antara mereka yang mendadak menyusut, tanpa sadar napas Jeana sudah tercekat. Gadis malang itu juga hanya bisa terduduk kaku di kursinya.

Wajah Han tepat berada persis di depan wajahnya dan Jeana bisa mencium wangi parfum pria itu. Wangi bergamot yang lembut tetapi dewasa, ada sedikit hint of mandarin juga menguar dari leher Han. Tanpa sadar, Jeana menggigit bibirnya, matanya pun tidak tahu harus fokus ke mana.

"Nah, sudah," ucap Han setelah memasangkan seat belt Jeana, tidak menyadari wajah Jeana yang merona karena kedekatan mereka barusan.

"Oh, hampir saja lupa," Han berkata pada dirinya sendiri, lagi-lagi batal menjalankan mobilnya.

Jeana menatapnya bingung. Apa yang Han lupakan? Jangan bilang pria itu masih punya kejutan lainnya?

Han lalu memutar tubuhnya dan menjulurkan tangannya ke kursi belakang, mengambil sesuatu dari sana.

"Untukmu. A bouquet of flowers is a must on your first date," ujar Han sambil mengulurkan satu buket besar bunga mawar pink. Setelah menerima buket itu dan menempatkannya di pangkuan, mata Jeana menangkap selembar kartu yang disematkan di tengah buket.

Walaupun matahari sudah tenggelam sejak tadi dan pencahayaan di dalam mobil cukup minim, Jeana masih bisa membaca dengan jelas kalimat yang tertulis rapi di kartu itu, 'May our date be as wonderful as you are'.

Ah, andai saja Han menyadari bahwa warna pipi Jeana kini sudah sama seperti warna buket bunga ini. Seseorang, tolong ingatkan jantung Jeana caranya bekerja dengan normal! Jeana takut kena serangan jantung!


***


"Bagaimana hari ini? Menyenangkan?" Han menyesap wine di gelasnya.

Jeana mengangguk, mengulum senyumnya.

Bagi Jeana, semuanya berjalan sempurna malam itu. Restoran yang romantis, alunan biola yang mengiringi makan malam mereka, menu kesukaan Jeana, dan Han yang penuh dengan perhatian. Ini bahkan pertama kalinya seseorang memotongkan steak kecil-kecil untuknya agar lebih mudah dimakan.

"Tidak susah, kan? Yang perlu kamu lakukan hanyalah rileks dan semuanya akan berjalan lancar," ujar Han sambil melayangkan senyum teduhnya yang mampu membuat Jeana merasa lebih tenang.

"It's all thanks to you. Kalau bukan karena kamu mungkin situasinya bisa berbeda," jawab Jeana sungguh-sungguh.

Pada dasarnya ia bukan orang yang pandai membuka pembicaraan atau mencairkan suasana, tetapi Han membuat segalanya terasa lebih mudah. Han banyak mengajukan pertanyaan untuk Jeana, menuntunnya dalam percakapan. Setelah itu, tanpa sadar Jeana sudah kembali bertanya kepada Han, membuat obrolan mereka terus mengalir. Tidak seperti seseorang yang hanya menjawab semua pertanyaan Jeana tanpa bertanya balik dengan alasan sudah membaca semua tentang gadis itu di artikel!

Han tertawa kecil, "Jea, tenang aja. Katamu, Wilfred juga tipe yang tidak punya pengalaman. Menurutku kemungkinan besar dinner-nya akan berjalan seperti hari ini."

"Kamu yakin?"

"Yakin. Ini adalah tipe dinner klasik, kemungkinan besar akan seperti ini," jawab Han mantap.

"Han, kamu... Sering pergi dinner seperti ini?"

"Rahasia," jawab Han sambil tersenyum simpul.

Mungkin Jeana keliru, tetapi barusan Han terasa sedikit asing, seolah-olah pria itu jauh dari jangkauannya walaupun mereka hanya terpaut jarak kurang dari satu meter saat ini.

"Dari tadi kamu sering banget jawabnya kayak gitu. Mulai dari nama aslimu, di mana tempat tinggalmu, keluargamu..."

Han menunduk, memutar gelas wine di tangannya, "Padahal kamu bisa lakukan background check on me, nggak usah susah-susah bertanya."

"Nggak ada orang yang melakukan itu dalam sebuah hubungan," bantah Jeana.

Han tersenyum, "It's more about being professional. Dalam pekerjaanku, sebaiknya hal seperti itu tidak perlu diketahui klien."

"Kenapa?"

Melihat Jeana mengerjapkan matanya dengan polos, Han tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Ia melipat tangan di atas meja, sebelah ujung bibirnya naik, "That will ruin their fantasies of me."

"But I want to know the real you..."

"Suatu hari nanti... Kalau semuanya terasa tepat, aku akan memberitahumu tentang aku. Semuanya," jawab Han lirih dengan sorot mata yang tak bisa ditebak sambil memainkan gelas wine-nya.


***

Poison [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang