Chapter 14

3.7K 354 8
                                    

Kesibukan pesta pertunangan minggu lalu telah berakhir dan Jeana kini kembali ke rutinitas hidupnya. Kegiatan Jeana sehari-hari cukup monoton. Bangun tidur, mandi, sarapan, pergi ke kantor, pulang dari kantor, makan malam, mandi, membaca novel atau menonton satu dua episode drama, lalu tidur. Sebagai direktur utama dari perusahaan kosmetik lokal yang sedang naik daun, Jeana memang tidak punya pilihan untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor.

Menjadi tunangan seorang Wilfred Wiraatmadja juga tidak banyak mengubah rutinitas Jeana. Yang berbeda sekarang hanyalah kadang mereka mengobrol via chat— yang dibalas Wilfred tiap dua jam sekali jika ia tidak sedang sibuk— atau pergi bersama di akhir pekan, itu pun masih bisa dihitung dengan jari. Kalau harus membandingkan, mungkin Jeana lebih sering menghabiskan waktunya dengan Han.

Anehnya, tanpa Jeana minta, pria itu selalu muncul dengan sendirinya di saat Jeana membutuhkannya. Ketika Wilfred terlalu sibuk untuk membalas pesannya, Han tiba-tiba mengirimkan pesan remeh. Contohnya seperti beberapa hari yang lalu ketika Han memberikan kabar bahwa hari itu ia membuat telur dadar sambil mengantuk dan berakhir memasukkan gula, bukan garam. Atau ketika Wilfred membatalkan janji makan malam mereka, Han tiba-tiba menelepon untuk mengajaknya mencoba menu baru di restoran Jepang langganannya. Entahlah, sepertinya semesta memang berbaik hati menghadirkan pria itu di sisi Jeana.

Hati kecil Jeana selalu mewanti-wantinya untuk tidak boleh terbawa dalam suasana dan jatuh hati pada perhatian dan senyum menawan seorang Han, host nomor satu dari Serenity.

Pria itu bukan orang yang bisa ia miliki. He's a poison, a sweet one. Semakin Jeana mencecap betapa manisnya Han, maka semakin dalam racun itu akan menjalar, menguasai tubuhnya. Membunuhnya perlahan tanpa ia sadari.

Sadar akan kenyataan itu, Jeana selalu berusaha menempatkan Wilfred dalam daftar prioritasnya. Pria itu harus selalu menjadi opsi pertamanya untuk pulang, untuk menjadi pegangannya. Seperti saat ini.

Jeana memangku dagu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang ponsel. Ia melirik jam di layar, sudah jam setengah delapan malam. Hari ini ia memutuskan untuk pulang lebih cepat. Kepalanya terasa berat dan perutnya terasa mual. Hal yang biasa terjadi ketika stres terkait masalah kantor melandanya.

Di saat seperti ini, orang yang biasa Jeana minta pendapatnya, yaitu kedua orang tua dan kakaknya, tidak berada di dalam negeri. Papa dan Mama sedang berada di Cina, mengunjungi pabrik bahan baru rekanan mereka, sementara Joshua sedang meeting di Singapura.

Pilihan Jeana lalu jatuh kepada Wilfred, pria yang disebut majalah-majalah bisnis sebagai pria bertangan dingin. Namun, sepertinya tidak hanya tangan Wilfred yang dingin, tetapi juga sikapnya kepada tunangannya.

Sore tadi, Jeana menelepon Wilfred, mengatakan bahwa ia ingin bercerita dan mengobrol sejenak dengan pria itu.

"Nanti saya telepon, ya. Tanggung, sebentar lagi selesai," jawab Wilfred tadi di telepon.

Sudah setengah jam berlalu sejak Jeana selesai mandi dan berganti baju lalu hanya duduk di meja makan sambil memandangi ponselnya. Perutnya terasa begitu mual sehingga ia tidak menyentuh masakan yang disiapkan Mbak Jum, asisten rumah tangganya yang paling senior, sama sekali. Padahal menu malam itu adalah favoritnya; ayam goreng saus mentega, sapo tahu, dan fuyunghai.

Ragu Wilfred mengingat janjinya, Jeana lalu membuka aplikasi chat dan mengirimkan pesan.

Jeana

Will, sudah pulang?

Sudah bisa kutelepon?

Wilfred

Maaf


Satu kata itu berhasil membuat Jeana menghela napas lalu bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah gontai ke kamarnya. Ia sudah hapal betul kata yang sering diucapkan Wilfred kepadanya itu. Sudah sekian kali Wilfred menaruhnya di prioritas kesekian dan sudah sekian kali ia mengucapkan kata yang sama.

Poison [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang