Chapter 4

6.9K 484 5
                                    

Yemima dan Viona berdecak tidak percaya sambil mengerubungi ponsel Jeana. Mereka lagi-lagi berada di Haven. Namun, kali ini bukan untuk kumpul mingguan, melainkan rapat darurat. Sepulangnya dari pertemuan dengan Wilfred, Jeana merengek kepada mereka untuk bertemu karena sudah tidak tahan untuk bercerita.

"Gila, hemat banget kata-katanya. Dia kalo ketemu langsung ngomongnya juga irit kayak di chat begini?" tanya Yemima tidak percaya sambil mengembalikan ponsel Jeana ke pemiliknya.

Mereka baru saja membaca chat singkat antara Jeana dan Wilfred. Isinya tidak penting, Wilfred hanya mengabarkan bahwa itu adalah kontaknya, Jeana berterima kasih atas pertemuan kemarin, lalu Wilfred menutupnya dengan kata-kata 'mohon bantuannya mulai sekarang'. Tentu saja chat itu banyak diisi dengan tiga kata favorit Wilfred versi Jeana, yaitu 'ya', 'tidak', dan 'oh'.

"Style ngomongnya kayak bapak gue, kaku banget!" timpal Viona sambil menatap Jeana prihatin. Setelah mendengar cerita Jeana dan membaca chat itu, dia akhirnya mengakui bahwa wajah tampan dan dompet tebal ternyata bukanlah segalanya.

Jeana langsung memijat dahinya yang terasa berat dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Tidak cukup pekerjaan saja yang memusingkan, tingkah calon suaminya juga semakin menambah beban pikiran.

"Gue bingung harus ngomong apa ke dia..."

"Kasian banget sih, Beb. Belum pernah pacaran, eh, langsung dijodohin. Eh, calonnya malah kayak begini pula. Kapan dong merasakan dag dig dug ser kisah cinta masa muda?"

Jeana mendengus dengan dramatis, "Dag dig dug kisah cinta apanya! Kalo terus-terusan sama cowok kayak begini yang ada kisah cinta gue bukan kayak novel romantis, tapi kayak buku sejarah!"

Yemima lalu menepuk bahu Jeana dengan wajah penuh simpati, "Dalam hidup, nggak semua kisah cinta harus indah romantis kayak di novel, Je. Yang penting suami kita itu setia, nggak aneh-aneh, nggak bermasalah, dan sayang keluarga. Itu aja cukup."

"Tapi gue kan juga pengen sekali aja dalam hidup bisa ngerasain deg-degan kayak orang lain, punya pacar yang romantis dan perhatian, punya pengalaman yang manis..." jawab Jeana sambil bertopang dagu dengan mata menerawang.

Tampaknya Jeana harus segera mengucapkan selamat tinggal kepada angan-angannya itu, mengingat ia akan segera bertunangan dengan pria yang seperti bihun kering yang belum direbus: kaku.

Viona tiba-tiba menepuk kedua tangannya, membuat Jeana dan Yemima terkejut. Seolah baru saja mendapatkan ide cemerlang, dia menghentak-hentakkan kakinya dengan tidak sabar.

"Gue punya ide! Kalau cuma mau punya pengalaman kayak gitu, nggak harus sama Wilfred!" pekiknya bersemangat.

Yemima memutar bola matanya dan mendengus, "Ya terus sama siapa? Jea kan dijodohinnya sama Wilfred."

"Gue udah nggak mungkin batalin perjodohan ini terus pacaran sama orang lain, Na," jawab Jeana sambil mengangkat sebelah alisnya.

Seharusnya Viona paham bahwa Jeana bisa mati di tangan Papa kalau berani mengacaukan perjodohan ini. Tidak ada yang berani macam-macam dengan seorang Wiraatmadja dari Nusantara Group, termasuk seorang Tandiono.

"Siapa bilang kalau lo harus pacaran dulu untuk ngerasain semua itu? Gue tau ke mana kita bisa cari pengalaman itu," jawab Viona sambil mengedipkan sebelah matanya.

"No, thanks. No more ide aneh dari otak binal lo itu," jawab Yemima tegas sambil mengangkat tangannya, memberi gestur menolak kepada Viona.

"Sialan, gue nggak binal, ya! Cuma nakal sedikit!"

"Apa sih maksudnya? Memangnya pengalaman kayak gitu bisa dicari?" tanya Jeana menyipitkan matanya.

"Penasaran? Mau tau, hmmm?"

Jeana menggigit bibirnya sebelum akhirnya mengangguk.

Sungguh, Viona baru saja menawarkan sebuah kotak Pandora ke hadapannya. Jeana yakin bahwa Viona akan membawa masalah, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan logikanya. Sesuatu di alam bawah sadar Jeana mengatakan bahwa ia harus mengambil kesempatan ini.

Melihat Jeana mengangguk, Viona tertawa puas, membuat Yemima menghela napas dan menggelengkan kepalanya karena harus berhadapan dengan ide gila Viona untuk kesekian kalinya.

"Malam ini, jam tujuh, kalian semua gue jemput. Dandan yang cantik ya, Beb," Viona lalu mengerlingkan matanya sambil tersenyum penuh arti.

"I'll take you girls to a special place, one you cannot imagine."


***


Jeana hanya bisa melongo di depan pintu masuk sebuah klub bersama Viona dan Yemima. Viona ternyata membawa mereka ke daerah di pusat kota yang terkenal dengan area hiburan eksklusifnya, tempat yang tidak pernah Jeana ketahui keberadaannya.

Serenity Club.

Nama tempat itu tertera dalam bentuk lampu neon besar berwarna kuning emas yang terpampang dengan megah di pintu masuk. Tidak, Serenity Club tidak terlihat murahan atau mencurigakan. Malahan, tempat ini meneriakkan kesan mewah dan romantis dari seluruh penjuru.

"Ini... Tempat apa?" tanya Jeana sambil menunjuk lampu neon terang benderang itu.

Masih melongo menatap pintu masuk Serenity Club, Yemima memukul lengan sahabatnya, "Viona, lo udah gila ngebawa kita ke sini?"

"Kenapa sih? nggak ada yang salah kok. Ini kan host club, bukan tempat prostitusi," balas Viona sambil mengerjapkan matanya dengan polos.

"Na... Lo yakin ini aman? Kalau Papa, Mama, dan Kak Joshua tau, mereka pasti ngamuk," Jeana menoleh ke kanan dan kiri.

Jangan sampai ada orang yang bisa mengenalinya di tempat ini. Membayangkan reaksi keluarganya jika tahu bahwa ia pergi ke tempat ini saja sudah berhasil membuat bulu kuduk Jeana berdiri seketika.

"Tenang aja. Di sini keamanan dan kerahasiaan dijaga nomor satu. Nggak bakal ada yang tau lo ke sini kecuali lo sendiri yang ngomong ke mereka," jawab Viona santai. Jeana berani bertaruh, sepertinya ini sudah kesekian kalinya Viona mengunjungi tempat ini.

Di tengah perdebatan mereka, seorang pria berambut kecoklatan yang memakai setelan jas berwarna coklat berjalan mendekat. Dari ujung mata Jeana, ia menyadari bahwa pria itu sebenarnya sudah memperhatikan mereka sejak tadi dari balik pintu masuk.

"Hi ladies, kalian tidak mau masuk?" tanyanya dengan sopan sambil tersenyum ramah.

Mata Jeana tanpa sadar melirik ke arah plat nama kecil warna silver yang tersemat di saku jas pria itu. Namanya Dino.

Viona lalu berdeham dan memancarkan senyum seribu watt-nya kepada Dino.

"Hai. Boleh beri tahu Summer kalau Viona sudah datang?" pinta Viona sambil menunjukkan kartu warna hitam bertuliskan 'VVIP'. Melihat kartu itu, kedua mata Dino langsung membulat, ia langsung menghubungi seseorang melalui ear piece yang ia kenakan.

"Wow. Ada orang yang namanya 'Summer'? Kenapa namanya kayak gitu sih? Bukan orang Indonesia, ya?" bisik Yemima.

Viona mendekatkan wajahnya ke telinga Yemima dan berbisik di sana, "Mereka pakai nama samaran di sini, bukan nama asli. Anggap saja seperti nama pena untuk penulis atau nama panggung untuk penyanyi."

Sambil membicarakan tentang nama para host yang unik, Yemima dan Viona berjalan masuk ke dalam. Sementara itu, Jeana masih berdiri di depan pintu masuk, menatap lekat-lekat papan neon besar bertuliskan 'Serenity'.

Ia menelan ludah, memantapkan hatinya sebelum melangkah masuk. Saat itu, ia tidak menyadari bahwa tempat itu akan mendatangkan huru hara dalam hidupnya, berbeda dengan arti namanya yang berarti 'ketenangan'.

Poison [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang