Chapter 26

3.3K 313 4
                                    

©Claeria

Han sedang mengancingkan kemeja yang ia kenakan di depan lokernya dengan tatapan kosong ketika Summer berjalan mendekat. Pria itu membuka lokernya sendiri yang terletak di sebelah loker milik Reinhan.

"Udah selesai urusan lo? Cepet amat," komentar Summer sambil mengambil botol parfumnya dari dalam loker dan menyemprotkan isinya ke tubuhnya. Seketika, wangi bergamot bercampur dengan musk menguar ke seluruh penjuru.

"Begitulah," jawab Han asal sambil mengambil jas berwarna biru tua yang akan ia kenakan untuk bertugas malam ini. Warna yang tidak mengundang perhatian, menggambarkan suasana hatinya yang sesungguhnya ingin menghabiskan waktu malam ini tanpa kehadiran siapa pun.

Summer lalu melipat tangan di dada dan mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke arah Han. Pria itu mengendus-endus Han lalu mengomel dengan kesal, "Ah, sial! Badan lo bau rokok!"

Dengan cepat, ia menyemprot Han dengan parfumnya sendiri, "Ngerokok buat hilangin stress boleh, tapi perhatiin juga, dong, Han. Kabur semua klien lo kalo lo bau rokok begini. Host ranking satu kok baunya begini?"

Han hanya terkekeh melihat Summer. Pria itu memang paling ketat soal penampilan para host di Serenity. Semua orang harus terlihat rapi, elegan, dan juga wangi. "Kita ini menjual mimpi! Pernah lihat prince charming jelek dan bau? Nggak pernah, kan? Beast dalam wujud manusia aja ganteng!" begitu kata Summer dulu.

"Jadi, pertemuan sama tunangan Jeana tadi berjalan lancar nggak? Melihat lo yang sekujur tubuhnya bau rokok begini, kayaknya nggak lancar, ya?" tanya Summer sambil memasukkan botol parfumnya ke dalam loker.

Han tersenyum tipis sambil menutup loker dan menyandarkan punggungnya di sana.

"Gue nggak ada apa-apanya, Sam," Han mengembuskan napas dan tertawa kecil, "Bisa-bisanya gue kepikiran buat saingan sama orang yang muncul di berita televisi dan majalah bisnis, bawa mobil sport keluaran terbaru, dan pakai jam tangan yang harganya hampir sama dengan harga apartemen gue."

Summer melirik Han sambil memakai dasi, "Ke mana perginya semangat bertarung lo tadi pagi? Gue kira lo udah siap berantem."

"Berantem?" Han tertawa setengah mendengus. "Kalau dia ngancem gue, ngamukin gue, atau mau nyogok gue, mungkin semua bisa jadi lebih mudah. Mungkin gue bisa ngelawan dia habis-habisan. Sayangnya nggak."

Summer menaikkan alisnya sebelah, "Terus dia ngapain ketemu sama lo?"

"Dia ketemu gue cuma buat bilang kalau dia juga suka sama Jeana dan dia mau Jeana bahagia dengan orang pilihannya," jawab Han dengan jengkel, seolah Wilfred melakukan suatu hal yang menghinanya.

"Wow, that guy must be fun at parties," ledek Summer.

"Indeed," jawab Reinhan sambil tersenyum tipis. Ia lalu kembali berdiri tegak dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja di tengah break room.

"Mau ke mana, Han?" tanya Summer dengan kening berkerut.

Tanpa menoleh ke arah Summer, Han melambaikan tangannya asal-asalan, "Cari angin."

Han melangkahkan kakinya ke arah rooftop. Ketika menemukan tidak ada seorang pun di sana, ia mengembuskan napas lega.

Matahari sudah hilang dari pandangan. Angin berhembus, menerpa wajah Han dan membuat rambut yang sudah ia sisir rapi kembali berantakan.

Han berdiri sambil bersandar pada tembok, matanya menyapu pemandangan kota Jakarta di depannya. Hamparan gedung-gedung dan rumah tidak pernah menjadi pemandangan yang indah di matanya. Ia lalu memilih untuk menengadah, menatap langit yang ditutupi oleh gumpalan-gumpalan awan.

Han butuh ketenangan.

Han butuh rehat sejenak.

Han saat ini tidak memahami dirinya sendiri. Bukankah sebelumnya ia pantang terlibat dalam sebuah hubungan, terutama yang merepotkan? Han adalah pria yang menyukai hal-hal simpel dalam seluruh aspek hidupnya, tapi lihat apa yang ia lakukan kali ini? Menjerumuskan diri sendiri dalam sebuah hal yang terlalu rumit untuk ia pecahkan.

Mengganggu waktu merenungnya, ponsel Han berdering nyaring. Kalau bukan karena melihat nama peneleponnya, Han pasti akan mematikan benda itu. Han lalu tersenyum singkat sebelum menjawab panggilan itu dengan nada ceria yang terdengar dibuat-dibuat.

"Halo, Ibu."

Suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang sana, "Nak, sedang sibuk? Ibu ganggu, nggak?"

Han menggeleng walaupun sang ibu tidak bisa melihatnya, "Nggak, kok. Ada apa, Bu?"

"Kamu kapan pulang ke Bandung? Nggak kangen sama Ibu dan si kembar?" Han memejamkan mata dan tersenyum mendengar rajukan ibunya.

Hatinya selalu terasa diremas setiap kali mendengar kata 'kangen' dari mulut ibunya. Sejujurnya, Han juga sudah lupa kapan terakhir ia pulang ke kota kelahirannya itu. Mungkin enam atau tujuh bulan yang lalu. Entah sekarang si kembar sudah bisa apa lagi, terakhir kali Han pulang mereka sudah bisa ikut-ikutan Ibu memanggang kue untuk dijual.

"Si kembar apa kabar, Bu? Reinhan kangen."

"Mereka udah nanyain kamu setiap hari, Ibu sampai pusing," jawab Ibu dari seberang sana.

"Mungkin bulan depan ya Bu, semoga ada waktu," jawab Han sambil kembali menengadah menatap awan-awan di langit.

Sesungguhnya, ia juga ingin pulang. Han sudah rindu udara sejuk Bandung yang baginya terasa jauh lebih bersih dibandingkan udara di Jakarta. Ia juga rindu keluarganya. Ia rindu bermanja-manja pada wanita yang telah melahirkannya.

"Ngomong-ngomong, Nak, si kembar sebentar lagi sudah mau masuk SD," ucap Ibu dengan hati-hati, seperti takut menyinggung putranya. "Biayanya..."

"Iya, Reinhan ingat. Nanti Reinhan transfer aja ya Bu," jawab Han lembut.

Mana mungkin ia lupa? Justru si kembar lah alasan utamanya mau menerima tawaran bodoh Jeana yang membawanya sampai di titik ini. Kalau bukan karena uang, Han jelas akan menerima tawaran itu sejak awal.

"Ngomong-ngomong, Bu..."

"Hmmm?"

Jeda sejenak sebelum Han melanjutkan, "Kalau... Kalau Reinhan berhenti kerja dari tempat yang sekarang gimana?"

Pertanyaan itu segera disambut tawa kecil sang ibu. Han ikut tersenyum mendengarnya. Tawa ibunya selalu terdengar merdu baginya, seperti musik untuk telinganya yang tidak pernah gagal menghiburnya.

"Ya nggak apa-apa. Ibu kan sudah pernah bilang, yang penting Reinhan bahagia, tidak ada beban menjalaninya. Lagipula, kamu itu pintar, Nak. Kamu tidak harus bekerja di sana kalau memang tidak suka."

"Bu...."

"Apa lagi?" tanya Ibu dengan nada gemas yang dibuat-dibuat.

"Ibu malu nggak Reinhan kerja di tempat seperti ini?"

Kali ini, bukan tawa yang keluar dari mulut ibunya, melainkan sebuah embusan napas panjang.

"Reinhan... Kamu itu sudah banyak bantu keluarga kita. Semua beban kamu yang tanggung sendirian. Ibu tidak ada di posisi untuk menghakimi kamu. Ibu cuma bisa bersyukur karena punya anak sebaik kamu, Nak. Buat Ibu, selamanya kamu anak Ibu yang membanggakan."

Tidak ada satu kata pun yang bisa Han katakan setelah mendengar jawaban ibunya. Rasa hangat menyusup ke dalam dadanya, membuat napasnya tercekat. Han tahu kalau ia bicara sekarang, suaranya akan terdengar bergetar. Pria itu lalu memilih untuk diam saja dan memejamkan matanya, membiarkan rasa hangat memenuhi tubuhnya.

"Nak..."

"Ya, Bu?" tanya Han, benar saja suaranya terdengar bergetar.

"Kalau rasanya semua sudah terlalu berat, kamu harus ingat, kamu selalu punya rumah untuk pulang," ucap sang ibu dengan lembut dari seberang sana.



Poison [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang