Chapter 12

3.7K 333 1
                                    

"Pak Wilfred masih belum datang juga, Mbak?"

"Ah, tolong tunggu sebentar lagi, ya," Jeana tersenyum manis kepada pegawai butik yang sejak tadi bolak balik menghampirinya.

Sudah hampir satu jam Jeana menunggu di butik langganan Mama. Orang tuanya dan orang tua Wilfred sudah dengan sigap mengurus segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk pesta pertunangan.

Yang perlu dilakukan Wilfred dan Jeana hanyalah memilih desain baju yang akan mereka kenakan lalu fitting. Jeana mendengus kesal ketika mendengar itu, tetapi mungkin ini lebih baik. Setidaknya, masih ada satu hal yang bisa ia tentukan sendiri dalam perjodohan ini.

Walaupun begitu, Wilfred sepertinya tidak sepaham dengan Jeana. Buktinya, sudah hampir sejam Jeana menunggu di butik dan calon tunangannya itu masih belum terlihat batang hidungnya! Belum lagi, sejak tadi pria itu tidak mengangkat teleponnya.

Jeana paham betul bahwa Wilfred adalah pria yang sangat sibuk dengan agenda yang hampir selalu padat, tetapi setidaknya pria itu perlu meluangkan waktu walau hanya satu atau dua jam. Bagaimanapun, ini untuk pertunangannya sendiri.

"Halo... "

Akhirnya tersambung juga!

"Will, kamu di mana? Hari ini kita ada janji untuk fitting baju pesta nanti. Kamu nggak lupa, kan?" cerocos Jeana dengan nada suara yang berusaha ia tahan agar tidak meninggi.

"Ah... Itu hari ini?"

Jawaban singkat Wilfred membuat Jeana rasanya seperti disiram seember air dingin.

Jangan bilang...

"Jeana, maaf. Saya benar-benar lupa kalau itu hari ini..." jawab Wilfred lemah dari seberang sana.

Hal yang ditakutkannya sungguh terjadi, Jeana hanya bisa menghela napas dan memijat dahinya yang terasa berat. Seharusnya ia tidak berharap banyak kepada tuan es batu ini.

"Will... Apakah benar-benar tidak bisa? Satu jam saja? Tempatnya tidak jauh dari kantormu."

"Maaf, saya benar-benar tidak bisa. Setelah ini masih ada meeting sampai sore."

"Terus fitting-nya gimana? Apa di-reschedule saja? Aku sudah ada di butiknya sekarang..." jawab Jeana setengah berbisik, ekor matanya melirik ke arah para pegawai butik yang kini sedang menatapnya menunggu kepastian.

"Jangan. Nanti buang-buang waktu." Wilfred terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kamu pilihkan saja sekalian untuk saya? Nanti malam saya drop by ke sana untuk fitting."

"Tapi aku tidak tahu yang mana yang bagus dan cocok untukmu... Come on, Will..."

Jeana tidak peduli ia terdengar memelas, yang ia butuhkan saat ini adalah pria itu datang dan melakukan kegiatan itu bersamanya. Jeana merasa sudah cukup menyedihkan dan ia tidak mau menjadi lebih menyedihkan dengan melakukan fitting sendirian. Betapa ia akan terlihat seperti calon pengantin yang tidak diinginkan, apalagi dicintai.

"Saya percayakan saja pada pilihanmu..." suara Wilfred terdengar menjauh, sepertinya ia sedang bicara dengan seseorang. "Ah, ya, sebentar lagi."

"I'm so sorry, Jeana, but I should go now. See you later!"

Mata Jeana terbelalak menatap layar ponselnya. Ia bahkan belum sempat mengucapkan apapun ketika sambungan telepon sudah diputus secara sepihak.

"Bagaimana, Mbak? Apakah jadi hari ini?" tanya si pegawai butik hati-hati, tidak ingin menyinggung Jeana yang ekspresinya kini jauh lebih kusut dibandingkan sebelumnya.

"Kita lakukan saja fitting-nya hari ini. Wilfred akan menyusul nanti malam."

Baiklah kalau itu maumu, Wilfred. Akan kupilihkan sesuka hatiku untuk kita, sepasang boneka yang begitu serasi ini.


***


"Jangan melamun terus, nanti kesambet!"

Sebuah sensasi lembab dan dingin pada pipinya menyadarkan Jeana dari lamunan. Senyuman lebar pada wajah Han menyapa gadis itu ketika ia menoleh. Han mengambil tempat duduk di sebelah Jeana di kursi kayu yang panjang. Ia langsung membuka teh kalengnya dan meneguknya. Udara ibukota yang amat panas, sepanas emosi gadis yang duduk di sebelahnya, membuat kerongkongan Han terasa kering.

"Thanks," ucap Jeana singkat sambil mengambil sekaleng minuman dingin yang pria itu sodorkan.

Tanpa basa-basi, Jeana langsung membuka milk tea kalengan itu dan menenggak isinya tidak sabar. Ia tidak haus, hanya saja ia butuh menyegarkan tubuh dan pikirannya sekarang. Kepala dan dadanya terasa panas mengingat peristiwa di butik tadi.

"So... You're done with the fitting?"

"Yeah."

"Lalu kenapa kamu malah meneleponku? Bukankah seharusnya sekarang kamu bersama Wilfred?" tanya Han terheran.

Ia baru saja selesai makan siang tadi ketika Jeana meneleponnya. Han hanya bisa mengernyit ketika gadis itu mengajaknya bertemu di sebuah taman di dekat Serenity.

Merasa nada bicara Jeana lebih rendah dan tergesa dari biasanya, Han langsung mengiyakan ajakan itu. Benar saja firasatnya, Jeana tidak seperti biasanya. Bibirnya yang biasanya melengkung mengukir sebuah senyum, kini malah mengerucut.

"Mau tahu sesuatu yang lucu? Wilfred bahkan tidak datang tadi," jawab Jeana sambil tersenyum pahit dan menatap lurus ke depan, tidak mau menatap mata Han.

Bagi Jeana, dirinya saat ini tampak memprihatinkan. Belum lama ini ia bercerita kepada Han tentang kencannya dengan Wilfred yang sukses, lalu lihat sekarang. Wilfred berhasil membuatnya merasa kembali ke titik nol, menyadarkannya bahwa hubungan mereka hanya sebatas perjodohan yang menguntungkan bisnis kedua keluarga.

"Ini semua begitu lucu. Acara pertunangan ini diadakan sekali seumur hidup untuk kami, tapi apa yang terjadi? Semua persiapannya tiba-tiba sudah selesai. Yang perlu kami lakukan hanya memilih dan mengukur baju, lalu duduk diam di sana mengikuti acara."

Kaleng minuman Jeana perlahan mulai berubah bentuk, tidak kuasa menahan genggaman Jeana yang semakin erat.

"Sepertinya orang tua kami senang bermain boneka. Wilfred pun sepertinya tidak keberatan menjadi salah satunya."

"Jea... Look at me..." bisik Han lirih, tangannya menyentuh lembut pipi Jeana, mengarahkan gadis itu untuk menoleh ke arahnya.

"Seorang wanita yang akan menyambut hari baiknya tidak seharusnya cemberut dan murung begini."

Jeana menggigit bibirnya mendengar kata-kata Han barusan. Mata pria itu tidak menyorotkan rasa iba ataupun prihatin seperti dugaannya. Malahan, Han terlihat begitu menenangkan.

"Honestly, aku nggak bisa menyarankanmu untuk lari dari situasi ini, atau berharap Wilfred dapat mengubah sikapnya," lanjut Han, kini sambil merapikan anak rambut Jeana di dahinya yang tersapu oleh angin.

"Tapi kalau kamu memang harus menjalani peran sebagai boneka, then might as well do it fabulously. Be an ass kicking barbie."

Tanpa disadari, senyum merekah di bibir Jeana ketika melihat senyum jahil Han. Keputusannya untuk menemui pria itu sungguh tepat. Han tidak banyak berkomentar, apalagi memberikan saran yang tidak perlu. Namun, pria itu mampu membuat Jeana merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Jadi, mana foto baju-baju yang sudah kamu coba? Aku bantu pilihkan yang bisa membuat seorang Wilfred Wiraatmadja terpesona sampai tidak bisa berkata-kata."


***

Poison [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang