Chapter 16

3.7K 357 5
                                    

Hari ini adalah hari yang luar biasa membingungkan bagi Jeana.

Tebak dia ada di mana?

Saat ini Jeana sedang duduk di dalam salah satu restoran Jepang yang terletak di dekat kantornya. Kedua tangannya menggenggam boneka teddy bear berukuran kecil dengan bulu berwarna krem yang lembut. Boneka itu memiliki wangi vanila yang lembut dan manis, tampaknya karena parfum sachet yang tertanam di dalam tubuhnya.

Tidak hanya itu, di atas meja juga terdapat sekotak cokelat dengan berbagai bentuk dan rasa. Ada yang berisi selai stroberi, karamel, rhum, dan lainnya.

Bukan, bukan kedua benda itu yang membuat Jeana terheran-heran.

Mata Jeana beralih dari si beruang menggemaskan di tangannya kepada pria yang duduk di hadapannya. Pria yang membuat Jeana sampai saat ini berpikir apakah besok salju akan turun di Jakarta.

"Kamu suka beruangnya?"

Wilfred menyesap teh hijau di cangkirnya sambil tersenyum tipis menatap Jeana.

Ya, Wilfred, saudara-saudara. Bukan Han yang memberikannya boneka dan cokelat malam ini, melainkan tunangannya yang selalu menjawab pesannya hanya dengan satu dua kata saja.

Tadi ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, para karyawan di ruangan Jeana tiba-tiba dihebohkan dengan kabar bahwa di resepsionis terdapat tamu yang sangat tampan.

Para karyawan, terutama yang wanita, berusaha mencari kesempatan untuk melewati resepsionis dan mencuri pandang bergantian, ingin melihat seperti apa wujud si tamu tampan yang membuat heboh. Yang lebih membuat mereka geger lagi adalah fakta bahwa katanya pria itu menunggu kekasihnya pulang kerja!

Sebenarnya, Jeana juga cukup penasaran, tetapi tubuh dan pikirannya sudah terlalu penat untuk bergabung dalam kehebohan itu. Jadi, ia memutuskan untuk mengemas barang-barangnya dan mengakhiri hari.

Ketika melewati meja resepsionis, betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok si pria tampan yang digosipkan itu. Si pria tampan tidak lain dan tidak bukan adalah Wilfred Wiraatmadja, si manusia es, yang adalah tunangannya sendiri!

"Will? Kamu... ngapain di sini?" tanya Jeana setelah berdiri mematung selama lima detik di tempatnya.

Mendengar suara gadis yang ia tunggu, Wilfred langsung menoleh dan tersenyum menatap Jeana.

"Ah, kamu sudah selesai?" tanya pria itu sambil menghampiri Jeana.

Tindakan Wilfred itu sontak mengundang siulan dan pekikan. Ketika Jeana dan Wilfred menoleh, ternyata para karyawan Jeana sedang kompak mengintip dari balik tembok! Mereka tidak henti-hentinya cekikikan dan melempar senyum penuh arti kepada Jeana yang wajahnya jelas langsung memerah karena malu.

Melihat itu, Jeana lalu refleks menarik lengan Wilfred dan membawanya keluar dari kantornya. Ketika mereka sudah berdiri berdua di depan lift, Jeana akhirnya menatap pria itu dengan dahi mengernyit.

"Will, kamu ngapain ada di sini?"

"Saya mau jemput kamu."

"Jemput? Ada apa? Apakah kita ada janji hari ini?" Jeana memutar otaknya, tetapi ia tidak berhasil menemukan ingatan membuat janji dengan Wilfred. "Atau orang tua kita memanggil kita untuk datang ke sebuah acara?"

Wilfred menggeleng pelan dan mengangkat bahunya, "Saya hanya ingin bertemu denganmu dan memberi kejutan."

Mulut Jeana langsung menganga lebar. Apa katanya barusan? Sejak kapan Wilfred ingin bertemu dengannya? Untuk apa? Seingat Jeana, pertemuan mereka selama ini hanyalah kencan rutin yang mereka lakukan dua minggu sekali di akhir pekan dengan tujuan mengenal satu sama lain lebih lanjut. Tapi ini baru hari Rabu!

"Apa saya tidak boleh ingin bertemu dengan tunangan saya sendiri?" sambung Wilfred ketika melihat Jeana hanya melongo seperti sedang melihat hantu.

Jeana menggeleng sekilas, tetapi kedua alisnya masih terpaut.

"Tentu saja boleh... Aku hanya... Tidak menyangka..."

"Kalau begitu, ayo kita pergi."

"Mau ke mana?"

"Makan malam. Saya yakin kamu pasti lapar setelah bekerja. Ah, telepon supirmu dan katakan padanya untuk pulang duluan. Saya yang nanti antar kamu pulang."

Maka, di sini lah Jeana, duduk di depan Wilfred di sebuah restoran Jepang dengan boneka teddy bear serta sekotak cokelat yang dihadiahkan pria itu.

Sejauh ini, Wilfred tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mabuk, demam, atau kepalanya terbentur. Jadi, pria itu pasti melakukan ini semua dengan penuh kesadaran. Tapi, kenapa?

Melihat pria itu mulai menyantap sushi di meja, sepertinya Wilfred tidak berniat memberikan penjelasan. Oleh karena itu, setelah mengumpulkan segenap keberanian dan meremas si boneka beruang erat-erat, Jeana memutuskan untuk bertanya.

"Will, kamu kenapa? Tidak biasanya kamu melakukan hal ini. Apa terjadi sesuatu?"

Wilfred menggigit bibirnya sekilas sebelum meletakkan sumpitnya di atas meja. Ia lalu mengusap lehernya dengan canggung, "Saya—Aku... ingin berubah."

"Ya?"

Barusan Wilfred menggunakan kata 'aku'? Apa Jeana tidak salah dengar?

Wilfred menarik napas dalam-dalam, "Sa—Aku menyesal karena selama ini bersikap terlalu cuek sama kamu. Aku selalu mementingkan pekerjaanku dan tidak memikirkan perasaan kamu. Padahal selama ini kamu sudah berusaha untuk hubungan kita."

"Kamu... sadar?"

Wilfred mengangguk.

"Aku sadar kalau kamu selalu berusaha berdandan cantik ketika kita pergi berdua. Aku juga sadar kalau kamu selalu berusaha memulai percakapan lebih dahulu."

Melihat Jeana tetap diam di tempat seolah menantikan kelanjutan kata-katanya, Wilfred lalu melanjutkan, "Sama seperti kamu, aku juga belum berpengalaman dalam hal berpacaran. Aku tidak tahu cara memperlakukan seorang wanita layaknya seorang kekasih yang baik. Aku bahkan selalu kehabisan waktu untuk memulai pembicaraan karena terlalu bingung memilih kata-kata yang tepat."

"Aku... tidak tahu kamu merasa seperti itu. Kupikir kamu tidak ingin bicara denganku..."

Wilfred tersenyum tipis. "Jangan bilang kamu kira aku membencimu selama ini?"

"Hmmm, sedikit?"

"Sama sekali tidak. Aku minta maaf karena selama ini memperlakukanmu dengan dingin. Mulai saat ini, aku ingin berusaha menjadi pasangan yang lebih baik dan mengenalmu lebih dalam."

Wilfred lalu mengulurkan tangan kanannya dan meraih tangan Jeana di atas meja. Ketika jemari pria itu menyentuh punggung tangannya, Jeana merasa seperti tersengat aliran listrik. Sebuah sensasi aneh menjalar di tubuhnya, membuatnya langsung menatap mata Wilfred.

Ketika Jeana menatap mata Wilfred, ia bisa melihat pantulan dirinya sendiri di bola mata hitam nan jernih itu. Tidak ada kepalsuan di sepasang mata itu, Jeana hanya bisa menemukan kesungguhan yang menyihirnya di sana.

Dengan tangan yang menggenggam tangan Jeana, Wilfred akhirnya berbisik lirih setengah memohon, "Jeana, will you give me a chance?"

Poison [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang