©Claeria
Setelah mengakui perasaannya kepada Wilfred beberapa minggu yang lalu, Jeana merasa ada yang berbeda pada hubungan mereka. Bisa dikatakan, selain menjadi lebih terbuka satu sama lain, keduanya juga merasa lebih dekat.
Tidak seperti beberapa bulan yang lalu ketika pertemuan mereka lebih terasa seperti sebuah kewajiban sebagai dua orang yang dijodohkan, kini mereka bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa mereka tidak jauh berbeda dari pasangan yang sudah bertunangan pada umumnya.
Jeana dan Wilfred kini saling mencari dan mendamba. Seluruh waktu kosong yang mereka miliki hampir selalu didedikasikan untuk satu sama lain. Mulai dari pergi mencicipi makanan di restoran di seluruh Jakarta, berburu buku di Kinokuniya, mengikut kelas memasak berdua guna mencegah tragedi pancake terjadi lagi, sampai bekerja dengan laptop masing-masing di akhir pekan sambil bersantai di kedai kopi.
Minggu ini, Wilfred memutuskan untuk mengajak Jeana pergi makan malam di sebuah restoran di daerah Kemang. Langit sore itu sungguh indah, dengan semburat ungu dan pink yang menjadikannya seperti lukisan. Jeana suka lantai dan perabotannya yang terbuat dari kayu, lilin kecil dalam gelas, mawar yang diletakkan di tiap meja, serta musik klasik yang mengalun lembut. Semuanya membuat malam itu terasa romantis.
Namun, berbeda dengan Jeana yang tampak menikmati semua itu, Wilfred terlihat gelisah. Sejak menginjakkan kakinya di sana, pikiran pria itu sepertinya tidak ada di tempat. Wajahnya pucat dan ia beberapa kali kedapatan sedang meremas jemarinya sendiri.
"Will, kamu nggak apa-apa?" Jeana mengerutkan dahinya khawatir menatap Wilfred yang duduk di seberangnya. Mereka baru saja selesai menyantap hidangan utama dan sedang menunggu dessert, tetapi tampaknya kondisi Wilfred lebih parah dari sebelumnya.
"Apa kita pulang aja? Kamu nggak enak badan?" tanya Jeana lagi, kali ini sambil menggenggam tangan Wilfred di atas meja.
Astaga, tangannya terasa sedingin es!
"Ah? O-oh... Nggak, aku nggak apa-apa."
Mendengar jawaban Wilfred yang kurang meyakinkan, Jeana semakin bersikeras, "Tapi muka kamu udah pucat kayak gini! Tangan kamu juga dingin. Apa sebaiknya kita pulang sekarang aja?"
"Jangan. Kita kan sedang pesan dessert," tolak Wilfred.
"Iya, tapi kamu kayaknya nggak enak badan, deh... Desser-tnya kita cancel aja, ya?"
"Aku nggak apa-apa, kok..."
"Apa kita pulang aja?"
"Lho?! Jangan! Jangan pulang," cegah Wilfred.
"Lebih penting dessert daripada kondisi kamu?!"
Jeana lalu bangkit berdiri dan menarik tangan Wilfred yang sudah dialiri keringat dingin. Jeana baru saja akan membuka mulutnya untuk menceramahi pria itu lebih lanjut ketika seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka.
"Lho, cake-nya tidak jadi, Pak? Ini bunganya gimana?" tanya si pelayan yang muncul dengan dua piring strawberry shortcake dan satu buket bunga mawar berukuran besar di atas nampan.
"Maaf, Mas. Tunangan saya sepertinya sedang sakit. Lagian kayaknya bunganya bukan punya—"
"Jadi, Mas! Tolong ditaruh di meja saja," potong Wilfred buru-buru, membuat Jeana mengernyitkan dahi.
"Jea, duduk dulu, ya?" jawab Wilfred dengan wajah sedikit memelas.
Walaupun tidak memahami apa yang sedang terjadi, Jeana mengangguk dan duduk kembali di tempatnya sesuai permintaan Wilfred. Setelah si pelayan meletakkan cake dan buket bunga di atas meja dan berlalu, Wilfred akhirnya angkat bicara.
"Aku... nggak sakit kok. Aku nggak apa-apa."
"Tapi kamu pucat dan keringat dingin begitu. Are you sure you're okay?"
Wilfred tersenyum canggung lalu berdeham, "Sebenarnya aku tuh nervous setengah mati sampai keringat dingin dan pucat begini..."
Wilfred lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, tangannya mengelus dadanya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang sudah berdentum tidak karuan. Ia lalu merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna merah muda.
Tatapan Jeana beralih dari wajah Wilfred ke kotak itu, lalu kembali ke wajah tunangannya lagi.
Ya Tuhan, jangan bilang...
Tanpa melepaskan tatapannya dari pantulan wajahnya di bola mata Jeana, Wilfred membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin di dalamnya, "Jeana... Aku tahu kita sudah bertunangan, tapi kali ini izinkan aku melakukan semuanya dengan benar. Kali ini bukan karena permintaan orang tua kita, tapi karena keinginanku sendiri, sebagai seorang pria."
Jeana tertegun. Mendadak sepertinya dunia terasa senyap, telinganya hanya bisa mendengar debaran jantungnya sendiri. Sepertinya dugaannya benar. Ia tahu apa yang pria itu sedang lakukan.
Melihat Jeana yang terdiam seolah memberinya izin untuk bicara lebih lanjut, Wilfred membasahi bibirnya dan melanjutkan kata-katanya.
"Awalnya, aku memang setuju dijodohkan denganmu semata-mata karena keinginan orang tuaku dan latar belakang keluargamu. Aku menjalaninya seolah-olah hubungan kita adalah suatu kewajiban, sama halnya seperti sebuah pekerjaan," ucap Wilfred.
Jeana tersenyum, masih hangat di ingatannya bagaimana Wilfred selalu menaruhnya di urutan belakang prioritasnya, bahkan masih sempat-sempatnya bekerja di hari pertunangan mereka.
"Tapi, entah sejak kapan, kamu muncul di pikiranku. Aku senang melihatmu tersenyum, aku ingin mendengarkan ceritamu, aku ingin menjadi tempatmu bersandar," ucap Wilfred sambil meraih tangan Jeana, mengelus telapak tangan gadis itu dengan ibu jarinya.
"Aku tahu ada orang lain yang sempat mengisi hatimu dan aku tahu perjalanan ini nggak mudah. Ada banyak hal yang kita lalui, ada banyak halangan dan masa-masa sulit untuk hubungan ini. Kamu tahu? Aku bertingkah seperti orang bodoh ketika akhirnya kamu membuka hati untukku..."
Mata Jeana terasa panas dan ia menunduk.
"But I'm in this for the long ride. Aku janji, tidak akan ada orang yang berusaha lebih keras dariku untuk membuatmu bahagia, atau menyayangimu lebih dari aku," kali ini tangan Wilfred yang bebas meraih dagu Jeana, mengangkat wajah gadis itu agar kembali menatapnya.
"Jeana Tandiono." Wilfred menarik napas lalu melanjutkan, "Maukah kamu menghabiskan seluruh sisa hidupmu sebagai istriku?"
Seketika itu juga air mata menetes dari pelupuk mata Jeana. Ia tidak bisa berkata apa-apa, lidahnya terasa kelu. Yang bisa ia lakukan hanya menggangguk sambil menyeka air matanya, menerima lamaran Wilfred.
Melihat gadis itu mengangguk, Wilfred tersenyum lebar dan mengembuskan napas lega. Sungguh, badannya terasa ringan seolah beban berat baru saja diangkat darinya. Keringat dingin tidak lagi mengalir di tubuhnya. Kalau ini adalah sebuah film, rasanya saat ini Wilfred bisa melihat kembang api bertebaran di langit malam itu.
"Boleh aku pakaikan cincinnya?"
Masih berusaha menghentikan air matanya mengalir, Jeana lagi-lagi hanya mengangguk. Dengan semangat, Wilfred menggeser kursinya supaya posisinya lebih dekat dengan gadis itu. Ia meraih tangan Jeana dan menyematkan cincin di jari manisnya.
"Will... Terima kasih," ucap Jeana lirih setelah berhasil menghentikan air matanya. "Terima kasih karena sudah mempertahankan aku, mempertahankan kita."
"You're always welcome, Jeana."
Jeana dan Wilfred tersenyum satu sama lain sebelum tertawa serempak. Wilfred menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Kemudian, tanpa aba-aba, wajah keduanya saling mendekat. Bibir mereka bersambut, menemukan satu sama lain, memberikan rasa hangat yang familiar bagi keduanya.
Kali ini, semua terasa begitu tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poison [COMPLETED]
RomanceDijodohkan dengan Wilfred Wiraatmadja, si manusia es yang dingin dan kaku, membuat Jeana merasa kehilangan harapan untuk mengalami kisah cinta yang indah seperti di novel-novel yang ia baca. Namun, semua berubah ketika ia bertemu dengan host papan...