Chapter 31

4.2K 321 6
                                    

Walaupun frekuensinya dalam sebulan bisa dihitung dengan jari, keluarga Tandiono selalu menyempatkan diri untuk berkumpul di meja makan. Salah satunya seperti pagi ini.

Papa, Mama, Joshua, dan Jeana sudah duduk rapi di meja, menyantap sarapan yang disajikan oleh asisten rumah tangga mereka. Nasi goreng lengkap dengan beberapa lauk seperti daging ham, omelet, sosis bakar tersedia di atas meja. Tidak lupa ada roti panggang mentega yang disajikan dengan beberapa pilihan selai untuk Joshua yang tidak biasa makan berat di pagi hari.

Salah satu aturan tidak tertulis yang disyukuri Jeana adalah saat sarapan mereka biasanya hanya akan berbincang tentang hal-hal remeh dan kebiasaan sehari-hari, bukan berdiskusi tentang masalah project dan perusahaan. Contohnya seperti saat ini. Papa lebih memilih berdiskusi tentang betapa manjurnya suplemen kesehatan yang ia beli beberapa waktu lalu ketika pergi ke China.

"Setelah minum itu rasanya Papa jadi nggak gampang capek, tapi sayang sudah mau habis suplemennya. Joshua, Jeana, kalian tidak ada yang berencana ke China dalam waktu dekat?"

Joshua hanya tertawa kecil, "Aku tidak. Jeana, mungkin? Bukannya terakhir kali kamu bilang mau ada kerjasama dengan perusahaan kosmetik China?"

"Korea tepatnya, Kak," sanggah Jeana sambil menyendok nasi gorengnya.

"Pa, itu kan ada tonik herbal yang kemarin baru dikasih anak-anak. Minum itu dulu aja," timpal Mama sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelas Papa.

"Oh, benar juga," Papa lalu bangkit berdiri dan beranjak ke rak tempat ia menyimpan suplemen dan obat-obatannya.

Setelah merogoh-rogoh beberapa saat, pria paruh baya itu kembali dengan senyum lebar di wajahnya. Ia lalu duduk dan mengacungkan sebotol besar tonik herbal dengan tulisan bahasa Jepang di sana, "Joshua, Jeana, terima kasih, ya. Tumben kalian beli tonik buat Papa, biasanya nggak ada yang ingat."

"Bukan aku yang beli," sergah Joshua sambil tersenyum, diam-diam sedikit merasa bersalah karena sindiran halus Papa tadi.

"Ah, itu bukan dari aku juga. Itu dari Wilfred," jawab Jeana lalu meminum air putihnya dengan canggung ketika Papa, Mama, dan Joshua kompak menoleh ke arahnya, "Wa-waktu itu Wilfred titip ke aku, katanya oleh-oleh untuk Papa. Aku lupa bilang."

"Papa kira dari kalian," bahu Papa langsung merosot kecewa, "Sampaikan terima kasih Papa buat Wilfred ya. Calon mantu Papa ternyata lebih perhatian dari anak sendiri."

"Sama calon mertua aja perhatian, gimana sama calon istri, ya nggak? Mama tuh kepengen kamu cepetan nikah terus Mama momong cucu," seloroh Mama sambil tersenyum penuh arti ke arah Jeana yang langsung menghindari tatapan Mama.

Kali ini Jeana tidak bisa menyangkal. Tunangannya itu memang pandai mengambil hati kedua orang tuanya. Setelah tahu Papa sangat memerhatikan kesehatan, pria itu rutin membelikan berbagai vitamin dan suplemen untuk Papa. Untuk Mama yang hobi berkebun, Wilfred rajin membelikan bunga atau tanaman hias. Setelahnya, Mama akan memamerkan kepada grup arisannya kalau calon menantunya menghadiahkan bunga dan tanaman itu, membuat ibu-ibu lainnya memekik iri.

"Jadi, kapan kalian rencananya mau menikah?" tanya Papa yang kini sudah melipat tangan di atas meja, tanda bahwa ia serius bertanya.

"Pa, aku sama Wilfred kan sepakat pernikahannya diundur dulu..."

"Ya tapi kan sudah hampir setahun lebih sejak kalian ngomong begitu. Sampai kapan mau ditunda terus?"

Mendengar itu, kedua tangan Jeana yang memegang sendok dan garpu langsung terhenti di tempat.

Satu tahun, batinnya.

Ternyata waktu berjalan tidak selambat yang ia kira.

"Sampai kami berdua siap, Pa," jawab Jeana sekenanya. Kalau sudah seperti ini, biasanya Papa akan mendesak terus sampai mendapat jawaban yang memuaskan.

Poison [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang