Selamat Membaca!
“Terkadang masalah yang membuat kita semakin dewasa, ingat ya dewasa bukan karena umur tapi seberapa jauh pemikiran kamu.”
—Unkown—
___
Pagi ini dikediaman Wijaya terasa berbeda, sepi. Ya, biasanya bila jam segini suara teriakan dari kedua anak mereka memenuhi mansion. Tapi sekarang? Jangankan berteriak, bertegur sapa saja tidak.
“Aca jangan sekolah dulu,” Yuda membuka suara.
Aca menatap ayahnya sebentar, lalu mengangguk. “Iya ayah” gumamnya.
“Aca mau pindah sekolah? Atau balik ke London aja?” tawar Dinda, dengan senyum tipisnya.
Rayan menegang di tempat. Apakah mereka akan dipisahkan lagi? Oh, mengapa menjadi seperti ini!
“Aca butuh waktu bunda, kalaupun Aca pindah Aca nggak mau ke London. Aca bisa ke Tokyo, sama uncle Dimas.” sahut Aca. Rayan sedikit tenang dengan jawaban adiknya, walaupun belum sepenuhnya tenang sih.
“Yaudah. Rayan sebaiknya kamu lebih cepat perginya, kan katanya ada kuis. Semangat ya!” ujar Dinda antusias.
Rayan mengangguk singkat, sedikit kecewa karena Aca tidak memberikan ucapan semangat kepadanya. Setelah selesai Rayan langsung keluar rumah, dan berlalu menuju sekolah.
“Semangat abang!” gumam Aca dengan suara pelan bahkan sangat pelan hingga tidak ada seorang pun yang mendengar.
****
Nicholas sudah sampai disekolah 5 menit sebelum bel berbunyi, hari ini ada kuis jadi ia tidak akan membolos. Nicholas termasuk dalam jajaran murid berprestasi disekolah, hanya saja sikapnya seperti badboy. Walaupun memang badboy sih.
“Tumben lo datang awal? Biasanya kan telat,” cerocosan Rafan hal pertama yang mrnyambutnya saat duduk dikursinya.
“Hm” hanya itu balasan dari Nicholas.
Rifin mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kelas, “Rayan?” tanyanya singkat.
Adit yang mengerti jika Rifin mencari Rayan hanya mengendikkan bahunya, pertanda ia tidak tau.
Tidak lama seorang siswa memasuki kelas, itu Rayan!
“Kenapa muka lu, kaya orang nggak punya semangat hidup aja!” cerca Rafan.
Rayan menghelas nafas, “Emang nggak ada.” balasnya.
“Kenapa?” celetuk Nicholas bertanya. Rifin pun mengerutkan dahinya, tidak biasanya Rayan lesu dan tidak bersemangat kesekolah.
“Aca”
Satu nama disebutkan, mereka terdiam.
“Aca kenapa?” tanya Rifin. Aca sudah ia anggap sebagai adiknya, sejak pertama kali mereka bertemu. Wajar saja jika ia banyak bertanya, karena topik itu membahas Aca.
Rayan menatap wajah satu persatu sahabatnya, “Tadi bunda nan—”
“Selamat pagi anak-anak!”
Baru saja Rayan akan bercerita namun perkataannya terpotong oleh guru yang baru saja masuk. Rayan memberi kode kepada sahabatnya, sahabatnya yang mengertipun langsung mengangguk.
****
Kantin sekolah. Tempat untuk para siswa/siswi menuntaskan hasrat makan mereka, Nicholas dkk memasuki kantin disambut dengan teriakan alay dari para kaum hawa. Bukan suatu hal yang langka, karena dimanapun mereka berada maka asupan orang-orang yang membicarakan ketampanan mereka itulah yang di dengar.
Nicholas dkk duduk di kursi yang sedari dulu menjadi hak milik mereka, “Pesan makanan dulu,” perintah Nicholas menyerahkan dua lembar uang bewarna merah ke tangan Adit.
“Sisanya buat ongkir ye!” cengir Adit.
“Bushet, makanan kita harganya paling berapa. Masih banyak sisanya cuyy! Jadi kita bagi-bagi oke.” sahut Rafan menjawab.
Rifin memandang jengah kelakuan absurd kembarannya, “Bacot mending pesan sana.” kesalnya.
Adit dan Rafan pergi ke arah stand makanan.
“Jelasin!” suara dingin Rifin memulai percakapan mereka.
“Bunda nggak main-main sama ancamannya, dia beneran nawarin Aca buat pindah ke London. Aca bilang dia butuh waktu, meskipun dia pindah, Aca nggak bakalan ke London. Tapi ke Tokyo, tempat uncle Dimas.” jelas Rayan, mengusap wajahnya kasar.
Jawaban Rayan, sontak membuat mereka terbelalak. Begitupun Adit dan Rafan yang baru saja tiba dimeja mereka, dengan membawa makanan.
“Sebisanya kita harus cegah Aca! Gua nggak bakalan biarin dia pergi,” jawab Nicholas.
“Lo suka Aca?” tanya Rayan berhati-hati.
“Iya.” setelah itu Nicholas pergi, tanpa mengucapkan apa-apa. Makanannya saja sama sekali tidak dimakan.
Sama halnya dengan Rifin, iapun bangkit dari tempat duduknya menuju perpustakaan. Buku salah satu obat penenangnya saat pikirannya terbebani.
Jika Aca pergi, mereka tidak akan tersenyum lagi. Cahaya mereka hilang, sumber dari keceriaan mereka akan pergi. Ya, mereka harus mencegah itu.
Dilain sisi, Aca sedang memikirkan tawaran bundanya. Aca sudah memantapkan jawabannya, dan ya! Aca tidak akan menyesal.
Aca bangkit dari tempat tidurnya menuju ruang keluarga, tempat dimana bundanya berada.
Aca mendudukkan bokongnya disofa tepat disamping Dinda, “Aca udah punya jawabannya bunda,” ujarnya pelan.
Dindanya tadinya fokus kearah televisi, kini menatap mata anaknya. “Jadi Aca maunya gimana?” tanyanya.
“Aca bakalan tetap disini, Aca juga bakalan maafin teman-teman dan juga abang. Ini juga salah Aca yang nggak mau dengerin kata mereka, harusnya Aca tidak melupakan mereka hanya karena teman baru.” cicitnya. Keputusannya sudah mantap, ya hari ini ia akan memaafkan semuanya.
“Bunda akan dukung Aca, apapun keputusan Aca. Yang harus Aca tau, bunda sayang sama Aca.” Dinda meneteskan air matanya, lalu memeluk erat tubuh anak gadisnya.
“Aca juga sayang bunda, jangan nangis lagi!” balas Aca mengelus dengan sayang punggung bundanya yang bergetar karena menangis.
Dinda tersenyum manis, “Udah ya jangan melow terus. Bunda tadi buatin Aca kue Karamel kesukaan Aca, mendingan Aca cobain kue bunda!” ujar Dinda antusias.
“Okey bunda. Yuk kita kedapur,”
Biarkan kebahagiaan selalu menyertai keluargaku Tuhan, jerit Dinda dalam hati.
___
Pendek banget part ini:)
Salam manis,
Author15/04/2021
KAMU SEDANG MEMBACA
LASCA ( END )
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Seperti cerita pada umumnya, kisah yang menceritakan arti sebuah solidaritas, persahabatan, keluarga dan percintaan. Start: 31 Maret 2021. Finish: 21 Oktober 2021 Terinspirasi boleh, plagiat jangan♡ ! Warning❗❗ Kalo nggak su...