Bandung, 1953
Sudah tiga bulan terakhir Kalea punya pekerjaan baru. Dia menikmatinya meski pekerjaan ini lebih santai dari misi-misi Garda.
Kalea menoleh, melirik melewati pundak memastikan tak ada yang mengikuti. Gang ini kosong dan gelap tanpa banyak lampu. Saking gelapnya hanya terlihat lahan hitam jauh di depan.
Dia menatap ke depan sembari melangkah. Telinganya mendengar derap langkah di dalam bangunan ruko yang mengapit jalan. Dia juga melirik cat merah di dinding ruko, membentuk bekas cakaran besar. Itu yang ia cari seminggu ini.
Tak lama kemudian, ia mendengar suara di kejauhan. Dia merapat ke dinding ketika mendekati belokan menuju sebuah gudang. Ini bagian belakang, tak ada pintu, hanya jendela besar yang terang oleh lampu di dalam.
"Jangan ribet-ribet ya," gumamnya. "Kerudung lain belum pada kering."
Angin malam menggelitik wajah seiring ia berlari menuju gudang. Dia melompat, bertumpu ke tumpukan kayu dan menerjang jendela dengan kaki. Kaca pecah berhamburan mengenainya yang mendarat membungkuk di lantai kayu.
Yang pertama ia rasakan adalah udara panas dan bau minuman keras.
Para sandera d ruangan ini semuanya perempuan. Tangan mereka diikat dan mulut dibekap. Mereka berteriak di balik bekapan, tapi Kalea menaruh telunjuk di depan bibir. Dia menghampiri seorang sandera, melepas bekapannya.
"Kau akan baik-baik saja," katanya, menenangkan sambil melepaskan ikatan gadis itu. "Di mana mereka?" Gadis itu menunjuk ke balik pintu. "Baiklah. Bantu lepaskan yang lain ya. Keluar pada aba-abaku."
Gadis itu mengangguk, gemetar. "Kau siapa?"
"Um, orang biasa."
Kalea bangkit, keramahan di wajahnya sudah hilang. Dia memungut dua patahan kayu jendela, memutarnya sekali. Lalu menendang pintu sampai terlepas dari engsel. Terlihat setidaknya lima pria di sana, semua membawa golok.
Sebelum mereka bergerak Kalea melempar patahan kayu hingga menancap di pundak satu pria, menahannya ke dinding. Melempar kayu satunya ke samping, mengenai wajah pria itu, membuatnya tak jadi menebas.
Kalea mundur saat ditebas dari depan lalu menerjang, menyikut dagu pria itu dari bawah. Mengerang menendangnya sampai menimpa temannya di belakang. Dia tangkap tangan yang hendak menebasnya, memelintirnya hingga terdengar patahan. Lalu menangkup dada pria kurus itu, melemparnya melewati pundak dan menjatuhkannya di atas kotak-kotak kayu. Dia lempar serbuk kayu ke wajah pria di samping lalu lompat menendang wajahnya.
Krak! Botol kaca dipukul ke kepala Kalea sampai pecah. Dia memicing karena kerudungnya jadi bau minuman keras.
"Tak ada yang pegang-pegang kerudungku!" Dia angkat kursi dengan satu tangan, membantingnya ke pria itu.
Pria terakhir berusaha menelepon dengan tangan gemetar. Kalea melempar kaki kursi hingga mengenai wajahnya. Lalu ia injak gagang teleponnya sampai pecah. Pria itu menendang tapi Kalea tangkis kakinya. Dia tahan kepala pria itu ke dinding kayu, menekannya.
"Mana sandera yang lain?"
"Aku tidak—"
Kalea menjedukkan pria itu ke dinding. "Hm? Di mana?"
"Kami akan membalasmu."
"Tak yakin bosmu bakal percaya wanita lembut ini menghabisi kalian." Kalea setrum lehernya dengan kabel telepon yang terbuka. "Buruan, aku ada janji lain."
"Dekat... sungai."
"Sungai tuh banyak! Yang mana?"
"Lima ratus meter ke kanan ada... sungai. Sisanya di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
GARDA 2 - The Series
Acción(BOOK 3 & 4) Kasus demi kasus menuntun Garda pada musuh tak terduga. Sekali lagi Edsel bermain dengan bahaya setelah menculik empat modifen terkuat dari Tarhunt. Bahaya kali ini mungkin saja membahayakan alam semesta juga. Ditambah, Rafa mulai memi...