Jetlag

1.7K 433 86
                                        

Rajasa Mainbase

Seminggu kemudian

Rafa meneguk lagi dari botol kacanya.

Memejam saat rasa panas melewati tenggorokan. Lalu ia tertawa sendiri, mengusap kening dengan punggung tangan sebelum kembali bekerja. Dia tekankan obeng listrik ke kompleks mesin, menyumpah saat ada percikan. Untuk kesekian kalinya ia membuat model lanjutan Gravidor, tujuannya adalah meminimalisir pedih yang ditimbulkan kilatnya, agar banyak orang bisa menggunakannya.

Dia memutar tuas di radio. Radio tua berbadan kayu yang kadang berbunyi statis. Dia lebih senang mendengar lagu-lagu lama di radio itu sejak kembali.

"Iris, ada kabar soal Cipto Sanjaya?"

"Belum, Tuan."

"Sudah jalani pengenalan wajah?" Rafa melirik foto di tablet. Itu Cipto bersama Wisnu dan para karyawan pertama Corp.

"Sudah, belum ditemukan kesamaan. Akan kuperluas jangkauanku."

"Gunakan bantuan satelit."

Rafa hendak meraih botolnya, tapi tangan kekar Dom merebut. Meski penampilan sangar Dom mengintimidasi, matanya memancarkan kekhawatiran. Dia membuka jendela, melempar botol itu ke lautan jauh di bawah.

"Itu dua puluh juta," protes Rafa.

"Sejak kapan kau peduli harga?"

Rafa mengangguk sekali. "Benar, aku kaya. Sial. Tak kusangka aku rindu hari-hari itu, rumah sumpek itu, makan roti sisa kemarin. Hidup di sana lebih tegang—tenang."

Dia tertawa sendiri dengan wajah kemerahan. Meski obeng di tangannya terlihat bergoyang seperti agar-agar, ia berhasil memasang baut ke mesin. Lalu memeriksa data pada layar semu yang melayang di depannya. Perlu mengerjap agar bisa membaca.

"Iris, jalankan simsul... siluma... sim—itulah pokoknya."

"Menjalankan simulasi." Terdengar dengung di kedua gelang besi Gravidor seiring kilat menyala di atasnya. "Level sengatannya turun sebelas persen. Masih dapat mematahkan tulang manusia."

"Rajungan."

"Kiddo, kau harus keluar hirup udara segar. Suzy juga mencarimu." Dom menepuk wajah Rafa. "Kau masih jetlag."

"Aku perlu menyelesaikan Gravidor untuk tender bulan depan. Dan suruh Suzy perang—pergi."

"Kau bodoh saat mabuk."

Rafa mengangguk bangga. "Saat jatuh cinta juga."

"Untuk apa mengerjakan alat yang cuma berhasil dipakai Kalea?"

Raut wajah Rafa sontak berubah mendengar nama itu. Beberapa detik ia melamun seperti pindah ke masa lain, seakan kakinya bukan berpijak di sini. Lalu tersadar saat Dom menepuknya. Dia pun tak menjawab, karena memang tidak tau. Itulah mengapa ia berkali-kali membongkar Gravidor berharap menemukan jawaban.

"Tuan Rajasa, mengenai Nona Kalea, sistemku menemukan kejanggalan pada Gravidor sebelumnya."

"Yang dia buang?"

"Benar. Aku menjalankan analisis lengkap pada algoritma Gravidor tersebut. Didapat bahwa inti mesin mengalami malfungsi beberapa bulan sebelum dibuang. Bukan malfungsi total, tapi seharusnya perlu reboot internal agar dapat mengaktifkannya."

Rafa tercekat. "Apa katamu? Kapan?"

"Inti mesin terakhir dipicu saat Pancoran diserang. Api di atas dua ribu derajat celcius serta tekanan tinggi menimbulkan korsleting internal, meski lapisan luar Gravidor hanya retak ringan."

GARDA 2 - The SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang