The Jump

1.4K 419 28
                                        

Mereka berada di rumah masa kecil Arda.

Sabina menarik napas panjang, membiarkan angin sewangi kayu mengisi paru-parunya.

Arda ikut menarik napas meski cyborg tak butuh oksigen. Terasa wangi Sabina menyatu dengan aroma menenangkan di sini. Dia menyukainya.

Setelah puas, mereka melangkah ke rumah. Sabina megangkat dua tangan, memainkan jemarinya yang dikurung kilat hitam. Menembakkannya ke rumah, menggetarkan dindingnya sedikit. Lalu semua lampu di dalam menyala, berikut pemutar musik yang memainkan lagu lembut.

Mereka duduk di karpet tengah rumah, membuka cemilan dari kencan sebelumnya. Sempat berebut Pringles.

"Kau selalu menghabiskannya. Aku mau ini." Dia sembunyikan Pringles di belakang punggung.

"Tapi kau tak butuh makan!"

"Tak butuh bukan berarti tak mau."

Akhirnya Arda mengalah, membiarkan Sabina memakan Pringles. Sabina bersandar di dekapannya, memandang perapian yang menyala lemah. Mengobrol soal rencana mereka mencari rumah ini di peta. Agar bisa membelinya, membereskannya, mungkin menaruh tanaman furnitur baru karena semua di sini mulai keropos. Sabina ingin sofa kulit sementara Arda suka sofa bulu.

"Kak, pasti menyenangkan tinggal di sini sampai kita tua."

"Kita? Kau saja yang tua jadi nenek-nenek," canda Arda. "Aku awet muda."

Sabina menyikutnya. "Benar juga. Dasar cyborg."

Sementara Sabina membicarakan furnitur apa saja yang ingin ia beli. Arda mengusap lembut rambut Sabina, tenggelam dalam pikiran sendiri. Energi Sabina terasa lebih menyala di sini, karena mereka hanya berdua dan jauh dari semua rasa takutnya.

Dia membayangkan seperti apa Sabina lima putuh tahun lagi. Mengusap rambutnya yang perak, mungkin rontok ke tanganya karena sudah rapuh. Mungkin nanti pengelihatannya berubah dan Arda perlu menutunnya kemana-mana. Kulitnya tak akan sama, giginya ompong, tangannya tak sanggup menembakkan kilat lagi.

Namun, ia tau nyala yang di matanya akan tetap sama.

Sabina masih bicara. "Dan tetangga. Pikiran mereka pasti berisik tentangku."

"Dengarkan milikku saja." Arda tersenyum. "Merdu ,'kan?"

"Kau hanya memikirkan hal baik tentangku."

"Kau memang baik, meski suka menyetrum tidak jelas saat marah. Sarafku sintetis, jadi sentrum saja sesukamu."

Sabina tertawa. Kemudian mengatikan jemarinya ke jemari Arda. Merasakan kulitnya yang lebih kaku dari manusia biasa. Serta getar halus dari balik tulang besinya, aliran listrik yang menggantikan darahnya.

Ketika kilat hitam mengurung tangan mereka yang bergandengan, Sabina bisa merasakan listrik yang mengalir di seluruh tubuh Arda. Dia bisa mengendalikannya. Satu salah gerakan saja, ia bisa meledakkan aliran itu.

"Aku akan baik-baik saja," kata Arda.

Sabina tak menjawab. Dia melepas kilat hitam dari kedua tangan. Kilat menyebar mematikan semua lampu, kecuali lampu kristal di atas mereka. Membuat mereka bermandi cahaya keemasan di tengah gelap. Sabina memejam, mendengarkan tenangnya pikiran Arda.


***


Markas GARDA

Heli kargo mendarat di helipad belakang markas. Bagas memindahkan tuas-tuas di dasbor sambil mengabari markas melalui headphone. Setelahnya ia bersama para Garda membantu Zidan menurunkan barang dari lab DEKARSA Bandung.

GARDA 2 - The SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang