Yang pertama Kalea kenali adalah aroma kayu bercampur hangatnya udara. Ketika ia membuka mata, ia berada di tempat familiar. Dinding kusam, meja-meja kayu dengan gadget dan kunai di atasnya, lampu kritsal, lorong-lorong markas. Seakan sudah lama sekali tidak kemari.
"Kita di markas." Kalea termenung.
Rafa menatap cerah pagi dari jendela. "Ya, di tahun berapa?"
"Di tahun yang benar."
Terlihat para Garda bergegas dari ujung lorong. Semuanya ada, kecuali Chief. Mereka benar-benar berlari dengan kuatnya berbagai emosi di wajah mereka. Gwen dan Jemy berteriak memanggil Kalea saking tidak percaya.
Mereka menyambar memeluk Kalea sampai ia terdorong sedikit. Gwen yang paling depan memeluk paling erat, disusul Jemy dan Sabina. Gilang bahkan tak peduli, ikut berpelukan bersama mereka. Mata Kalea pun berat oleh air mata. Dia hanya memimpikan pelukan ini kemarin-kemarin. Setelahnya Zidan memeluk Kalea, mengusap punggungnya, lega bukan main meski jantung berpacu.
"Wow, di sini baru sehari tapi kau beda banget." Gwen memegang rok dan selendang Kalea. "Kau manis banget. Berapa lama kalian di sana?"
"Kurasa tiga bulan."
Jemy mengangguk takjub. "Waktu adalah misteri."
Kemudian Sabina mengghampiri Arda, berkali-kali bertanya apakah kilat itu menyakiti tubuhnya. Dia nampak khawatir, memeluk erat.
"Tak apa, Beany, aku hanya tersasar sebentar."
Zidan yang masih sembab menunjukkan tabletnya. "Da, kau pergi kemarin pagi. Seharian lebih kami kehilangan sinyalmu. Chief sampai ke DEKARSA mencari bantuan. Kukira kalian..."
Kalea mengusap pundak Zidan. "Tak apa, Kak. Kami sudah di sini."
Kemudian ia tersadar seseorang tidak ada. Rafa menghilang. Pintu markas masih bergerak, sepertinya Rafa pergi ketika para Garda menuju kemari. Mungkin berat baginya berada di sini setelah semua yang terjadi sebelumnya.
Pikiran Kalea terpecah saat pintu terbuka. Nampak Chief melongo di sana, menjatuhkan tas jinjingnya. Dia pun menyambar memeluk Arda dan Kalea bersamaan. Melepas mereka sejenak guna memastikan ia tak salah lihat lalu memeluk lagi.
"Kukira aku kehilangan kalian. Selamat datang kembali, Nak." Dia memeriksa pergelangan tangan Kalea. "Lain kali jangan terima apapun dari Kanselir."
"Siap, Chief."
"Ka?"
Kalea menoleh pada suara gagah namun tenang itu. Bagas masih mengenakan seragamnya. Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya sampai Kalea lupa mereka sedang bertengkar. Dia terkejut saat dipeluk dan langsung balas memeluk. Merasakan badannya yang seakan penuh di dekapan Kalea. Dia hampir lupa Bagas sebesar ini.
"Hai."
"Hai, Ka." Dia tersenyum. "Kau terlihat berbeda."
Bagas seakan mengerti Kalea yang berkali-kali memeriksa pintu. Dia meminta izin ke Chief untuk mengajak Kalea pergi. Chief mengizinkan, bahkan memberi sehari libur.
Mereka melewati rongsokan besi dan pepohonan kurus menuju jalan raya. Kalea langsung kegerahan, menyadari jaketnya terlalu tebal untuk Jakarta hari ini.
"Jadi, kau tak sendiri?" tanya Bagas.
"Ya, Rafa ikut ke dalam lompatan. Hanya reflek. Kami terjebak di tahun 1953." Dia menahan diri menceritakan semuanya.
Kemudian Kalea mengerti kenapa Bagas mengajaknya keluar. Rafa berdiri di pinggir jalan kosong. Diam melipat tangan di dada, matanya menatap angkuh kekosongan. Bagas membiarkan Kalea menghampirinya sendirian.

KAMU SEDANG MEMBACA
GARDA 2 - The Series
Action(BOOK 3 & 4) Kasus demi kasus menuntun Garda pada musuh tak terduga. Sekali lagi Edsel bermain dengan bahaya setelah menculik empat modifen terkuat dari Tarhunt. Bahaya kali ini mungkin saja membahayakan alam semesta juga. Ditambah, Rafa mulai memi...