Outcast

1.2K 419 92
                                        

Rafa mendadak benci ide ini.

Sekilas ia berpikir untuk melompat keluar dari Ferrari dan pasrah saja di tangan semua yang ingin membunuhnya.

Markas Garda adalah tempat terakhir yang ingin ia kunjungi. Terlalu banyak rasa bersalah dan kebencian terhadapnya di sana. Dia membayangkan semua orang. Menghitung berapa kata maaf yang harus ia berikan agar Pak Wardana tidak menembaknya. Mungkin Ravena juga di sana, membayangkan raut wajah menyebalkannya membuat Rafa gelisah. Dia semakin ingin lompat keluar.

Dia meringis pelan karena jahitan di sisi perutnya seperti menyetrum. Dia pun bersandar, memejam, membiarkan Iris menyetir mengikuti mobil Bagas di depan.

Ketika mereka sampai di gerbang markas, Rafa tidak berani melangkah masuk. Dia melamuni pintu kayu usang itu. Mempertimbangkan apakah dikejar musuhnya lebih baik daripada meminta maaf ke semua orang di sini.

"Ada apa, Fa?" suara Kalea memecah lamunannya.

"Kukira kau bercanda saat mengajakku kemari."

Kalea mendekat . "Aku tau yang kau pikirkan. Aku mengerti. Mereka mungkin membencimu, tapi, sekarang mereka tau kau berada di sisi mana. Mereka akan mengerti."

"Kau yakin?"

Kalea mengangguk tapi Rafa tetap belum yakin. "Gimana kalau orang-orang gila itu mengerjarku kemari?"

"Fa—"

"Langsung ke intinya saja. Aku tak mau mereka melukaimu." Dia berhenti sesaat. "Atau mencuri Ferrari-ku."

Terdengar ketukan pantofel mendekat. "Tenang saja, aku juga tak mau itu terjadi," balas suara tua namun tegar itu. "Kecuali soal Ferrari-mu. Peduli amat mau dicuri kek."

Rafa mengangguk sekali. "Pak Wardana."

"Harimu berat ya?"

"Biasa. Hampir mati tiap sejam sekali."

Kemudian Wardana mendekat dengan penuh percikan api di matanya, membuat Rafa menegapkan wajah. Keangkuhan masih tebal di wajah Rafa, tapi jantungnya berdegup cepat oleh rasa takut. Dia tak percaya berada di sini, hendak berlindung di rumah pria yang anak-anaknya hampir Corp bunuh beberapa kali.

"Gwen sudah menyiapkan klinik untukmu," kata Chief.

"Aku boleh masuk?"

Chief mengangguk. Rafa diam sejenak memastikan itu sungguhan sebelum melangkah. Namun, baru selangkah masuk, Chief menahan pundak Rafa, bicara pelan setelah Kalea menjauh.

"Nak, aku ingin kau mengingat momen ini. Kau kuizinkan kemari, berlindung di sini setelah semua yang kau lakukan." Suaranya tetap tenang. "Aku tak mengerti gimana Kalea sanggup memaafkanmu berulang kali. Aku tak bisa begitu. Jadi, kuharap kau tak berulah lagi."

Rafa mengangguk pelan. "Corp akan berbeda sekarang."

"Bagus, kunanti itu. Oh, dan Jemy mau mencoba Ferrari-mu tanpa izin. Kau akan membiarkannya."

"Um, tentu, dia bisa mengakses Iris."

Wardana tersenyum tipis. "Masuklah."

Rafa di sambut dinding kayu tua yang diterangi chandelier usang. Ada para Garda di sana, menatap tak percaya bertemu Rafa lagi. Kali ini tanpa saling menembak. Rafa menatap mereka satu persatu lalu mengangguk sekali. Dia tak pernah semati gaya ini.

Kemudian ia mengejang oleh suara lari dari ujung lorong. Itu Ravena yang matanya sembab, antara sedih dan marah melihat Rafa. Dia pun memeluk Rafa, erat sambil bicara betapa ia sangat khawatir. Lalu ia menyebut Rafa bodoh, heroik dan bau dalam satu kalimat.

"Kau membahayakan semua orang, Bang! Jonah harus berlindung karena ulahmu! Tapi aku lega kau menyudahi bisnis sinting itu." Ravena mengusap air mata di jas Rafa. "Kau terluka?"

"Sedikit," rintihnya.

"Well, tak sebanding dengan yang kau lakukan di Institut."

"Aku tau."

"Para modifen membencimu."

"Aku tau. Maaf melibatkanmu dan murid-murid Institut."

"Jangan lupa," sahut Jemy. "Bagian kau hampir membunuh kami pakai titan jadian-jadian itu."

Terdengar desing dari anggukan Arda. "Dan hampir menggiring setan-setan alien kemari."

Rafa mengangguk. "Ya, maaf soal itu juga."

"Kau masih berdarah." Amarah Gilang tertahan di suaranya. "Sebaiknya segera ke klinik."

Gwen setuju. "Ikut aku, Tampan. Akan kukembalikan kau ke Kalea besok."

Kemudian Gilang mendekat. Rafa mengira hendak ditinju, tapi Gilang menjabat tangannya. "Selamat datang. Jangan meledakkan markas kami lagi."

"Makasih. Tentu."

Rafa melambai kikuk ke Kalea, entah kenapa, kemudian mengikui Gwen ke klinik. Ketika menyusuri lorong sewangi kayu tua ini, dia mendadak merasa berada di rumah. Markas Garda selalu mengerikan sekaligus nyaman baginya.

Dia bertemu mata dengan Zidan ketika masuk klinik. Zidan baru selesai menyiapkan peralatan untuk Gwen. Baru saja meletakkan pisau bedah. Rafa berharap Zidan tak berencana melempar itu.

"Zi, um—"

"Tak perlu," balas Zidan yang sudah tau ucapan Rafa. "Ingat saja, satu-satunya alasan kau di sini adalah karena adikku menyayangimu."

"Oh. Uhm, oke."

"Ada kamar kosong di sebelah kamar Jemy. Sudah rapih. Lab juga terbuka untukmu."

"Aku boleh memakai lab?"

Zidan melirik tajam. "Tapi jangan macam-macam dengan komputerku."

"Sudah sudah." Gwen menengahi mereka. "Fa, naik ke kasur sekarang. Jahitanmu perlu dibenarkan. Dan Zi, sampai jumpa besok. Dah!"

Perlahan Rafa duduk di tempat tidur klinik. Membuka jas dan kemejanya yang kotor oleh noda darah serta bekas gosong. Keringat mengkilap dari tubuhnya karena menahan pedih luka-lukanya. Tanpa obat dan alat dari klinik Corp, lukanya terasa lebih buruk.

Gwen hampir tersedak liur sendiri ketika melihat abs Rafa. Kemudian ia mengerjap, memeriksa luka Rafa.

"Hm, ini bukan tusukan pisau," komentar Gwen.

"Aku tau."

"Kau ditusuk apa?"

"Trisula."

"Apa?!"

"Yap. Milik Dinasti Sagar," balas Rafa. "Itu bukan satu-satunya benda absurd yang ditusukkan padaku hari ini."

"Beruntunglah Kalea menemukanmu."

"Ya." Rafa mendadak tersenyum. "Dia selalu menemukanku."















---

Hi, apa kabar? Miss you guys soooo much!! Sorry hilang cukup lama karen ada satu dan lain hal

I hope you enjoy it! Terima kasih sudah baca dan vote

Stay safe <3

GARDA 2 - The SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang