Lone Jaguar

1.6K 447 78
                                        

Sudah dua hari Kalea tidak ke Markas.

Chief tidak memberi misi apapun, jadi ia memilih menghilang dari radar. Dia tidur di dua hotel berbeda, memakai nama yang berbeda-beda pula. Selalu waspada dan memeriksa melewati pundaknya. Sejak pertarungan di lab, ia merasa diawasi dan tak mempercayai siapapun.

Dua hari ini Kalea fokus pada beberapa hal. Dia mencaritahu soal orangtuanya melalui internet—meretas file milik Akademi seperti yang Zidan ajarkan.

Ada satu file yang menarik. Fotonya saat pertama datang ke Akademi. Gembil, masih berumur tujuh tahun dan sedikit murung. Di bawah fotonya terlampir sampel darah perak berlabel AB+. Itu darahnya.

Namun, hanya miliknya yang perak. Sampel darah kadet lainnya berwarna merah.

Yang ia ingat dari perawat di Akademi dulu, para kadet diinkubasi setelah tiba. Dibuat tidur beberapa minggu. Selama itu yang tidak perlu akan diambil dan yang perlu akan diberikan, begitu ujar si perawat. Menurut Zidan di saat itulah memori kadet dikosongkan serta serum Saberion diinjeksi ke tubuh. Para kadet pun bangun tak ingat apapun dan sudah berdarah perak. Darah sempurna, kalau kata si perawat.

Kalea tak henti melamuni fakta bahwa darahnya sudah perak sebelum tiba di Akademi.

Dia pun membuka daftar staff Akademi dari Zidan. Dua ilmuwan mengundurkan diri beberapa minggu sebelum ia dan Zidan dibawa ke Akademi. Wajah serta seluruh data mengenai mereka dicoret garis hitam. Tak ada informasi lain.

Itu petunjuk paling besar sejauh ini.

Selain melakukan pencarian, Kalea juga jalan-jalan sedikit. Menggiling motor pemberian Rafa di junkyard, terbayang menggiling pemberinya juga. Lalu menjual Mustang kesayangannya ke pecinta mobil antik yang ia temui di Facebook. Mobil itu sudah kotor karena berkali-kali dilacak Rafa. Sebagai gantinya, ia membeli mobil baru.

Tangan Kalea tenang menyetir kala mendahului mobil-mobil lain dengan Corvette 1970. Lincah tanpa mengenai mobil lain. Corvette miliknya hitam mengkilap disapu cahaya Jakarta. Badannya orisinil tahun 1970 dengan mesin yang dimodifikasi.

"Tak sia-sia kerja hampir mati setiap hari," gumamnya.

Dia membelokkan setir, naik ke flyover tol. Di sini sepi. Dia pun memacu kecepatan hingga mesin meraung gagah, membuatnya tersenyum puas. Dia selalu menyukai sensasi berkendara cepat, membuatnya merasa... bebas.

Dia ke rumah Bagas siang itu sebelum kembali ke Markas. Makan pasta sambil membicarakan purwarupa jet terbaru dari Rusia. Meski ada Kalea di depannya, pria itu tak henti melirik Corvette yang terpakir di garasi.

"Kuharap mobilku tak menyesakkan garasimu."

Bagas mengerjap. "Tidak kok."

"Ada apa?"

"Aku hanya berpikir... mobil itu mungkin seharga rumahku. Keren." Dia tersenyum. "Uang saku Garda lumayan ya?"

"Sebanding."

Kalea bertopang dagu, mempelajari bahasa di wajah kekasihnya itu. Meski hanya diam, Bagas sangat mudah dibaca.

"Kau pikir aku bertahan di Garda karena uang? Sudah kubilang, mereka keluargaku."

"Aku tak bilang apa-apa."

"Matamu seperti berteriak, aku bisa mendengarnya."

Bagas diam sejenak. "Menurutku tak mungkin hanya itu alasanmu."

"Menurutmu apa lagi?"

"Kau pemimpin misi, kau salah satu petarung paling ditakuti di negeri ini. Aku tau kau menyukainya. Kuasa dan kekuatan yang kau miliki ketika bertarung. Itu yang sebenarnya membuatmu bertahan, 'kan?"

GARDA 2 - The SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang