31 - mimpi manis tentang masa depan

3.2K 490 209
                                    

"Kalau misiku sudah selesai semua, pensiun disini kayanya enak ya? Damai banget vibe nya.." ucap suara lembut itu, maniknya memantulkan cahaya Aurora yang indah di langit swedia.

Pemandangan di tempat ini sungguh indah, hutan pinus yang menjulang tinggi, seakan berada di dunia lain di mana tidak ada masalah dalam kehidupannya. Belum lagi salju yang mulai turun, mulai melukiskan dataran dibawahnya dengan warna putih yang suci.

Ia mengabaikan fakta bahwa ia baru saja melumuri tangannya dengan lebih banyak darah musuh di tanah yang ia sukai ini. Setidaknya, ia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa hal itu diluar kehendaknya.

Menjadi pion agensi, melakukan hal yang sangat ia benci. Apa bedanya dia dengan Revan yang ia selamatkan di masa lalu?

Manik crimson itu tidak menatap langit yang dipenuhi northern light , melainkan menatap ekspresi sang partner. Ia tahu betul rasa tak berdaya saat harus menjadi puppet para penguasa.

Ia tahu Taufan adalah orang yang bebas secara naluri. Namun betapa kejamnya dunia, menggunakan kelemahannya sebagai rantai yang diikatkan pada leher sang pemuda, dan kini membuatnya menjadi alat yang dapat dimanfaatkan sesuka hati.

Dan Revan marah, karena setiap ia hendak menghancurkan para makhluk biadab yang disebut para petinggi agensi itu, Taufan hanya tersenyum dan menghentikannya. Mengatakan bahwa ini belum saatnya.

Apa yang ingin ia lindungi di agensi bobrok itu? Bahkan saudaranya tak ada yang peduli padanya kecuali murid bungsunya itu.

Namun ia tak dapat mengucapkan segala keluh kesah itu terhadap partner nya, karena ia sangat tahu, tak ada yang lebih menderita dari semua hal ini kecuali Taufan sendiri.

Ucapan yang biasanya tajam dan dingin, kali ini terdengar hangat dan lembut. Seakan angin musim semi yang membantunya keluar dari rasa dingin, "Saat kau sudah memenuhi janjimu itu, ayo pindahkan saja kantor kita kesini."

Taufan tersenyum. Mimpi yang hampir tidak mungkin. Ia tahu betul.

Namun, ada sebuah keindahan dari bermimpi. Oleh karena itu, ia akan berpura-pura tak tahu menahu akan realita yang menimpanya.

Sekali ini saja.

Biarkan ia hidup dalam ilusi, dan memberikan mimpi manis untuk orang disekitarnya.

Layaknya salju yang terlihat indah, namun dingin menusuk saat menyentuh kulit.

Saat mereka terbangun, tolong jangan buat itu terasa terlalu sakit.

°•°•°•°

Pemilik manik silver itu lagi-lagi mondar-mandir seakan mencari sesuatu. Di hari yang penting ini, dia terlihat begitu gelisah.

Bukan karena ragu akan kekuatannya, atau gugup akan turnamen yang akan ia hadapi..

Ia hanya, menunggu seseorang untuk datang.

Orang yang paling penting baginya.

"Tiga puluh menit lagi akan mulai, kenapa dia belum juga datang?" Gumamnya.

Sebuah tangan menyentuh pundaknya, membuat ia terkejut.

Sempat ia berharap bahwa itu mentornya, namun ternyata itu adalah kakak ketiga dari elemental bersaudara.

"Solar, untuk hari ini semoga sukses ya" ucap Gempa menyemangati. Ada senyum ramah terlukis di wajahnya.

Jauh di dalam hatinya, ia masih merasa pahit akan fakta bahwa saudara-saudara ini memperlakukan mentornya secara kejam.

Namun bukan berarti ia membencinya.

Mentornya telah mengajarinya dengan baik, tentu ia harus menampilkan hasil ajarannya itu kan.

Hanya karena mereka memperlakukan mentornya dengan buruk, bukan berarti ia dapat membenci mereka secara membabi-buta.

"Ah, terimakasih dukungannya, Gempa." Ucap Solar tersenyum simpul. Jawaban yang hampa itu, terdengar biasa-biasa saja di telinga lawan bicaranya.

"Kau pasti bisa menang" ucap Gempa lagi.

Solar tertawa kecil, "yah, aku cukup optimis dalam hal ini.. jika saja Halilintar tidak memaksa panitia untuk mengganti lawanku dengannya." Ucapnya, nada bicaranya terdengar santai. Namun siapapun tahu kata-kata ini dipenuhi dengan ketidaksukaan terhadap tindakan Hali.

"Aku tidak pernah tahu kalau anak sulung ternyata malah yang paling kekanak-kanakan." Ucapnya lagi.

Gempa terdiam, ia ingin mengatakan sesuatu untuk membela sang sulung. Namun tak bisa.

Ia sendiri pun cukup terkejut saat kakaknya itu meminta panitia untuk menjadikan Solar sebagai lawannya.

Bukankah itu termasuk penyalahgunaan kekuasaan? Hali telah merubah sistem yang tadinya sudah adil menjadi goyah.

"...maafkan Hali ya, kau tahu, dia sangat tertarik akan kemampuanmu." Ucap Gempa. Dan bukannya merasa lebih baik saat mengatakannya, dirinya malah merasa semakin tidak tahu malu.

"Yah, walau bagaimanapun, kami semua berharap kau akan sukses dan menjadi bagian dari agen S" ucap Gempa dengan senyumannya.

"..begitukah?" Tanya Solar datar.

"Terimakasih banyak atas dukungannya. Tapi apa betul Halilintar juga menginginkan itu?" Tanyanya lagi. Ia tahu hubungannya dengan sang sulung bukan dalam keadaan akur, jadi mendengar hal itu terasa lucu baginya.

"Tentu saja!" Jawab Gempa lagi.

"Kira-kira, apa alasannya ya?" Solar melontarkan pertanyaan itu seakan ia sedang bermonolog.

"Hmm?"

"Jangan-jangan, alasannya adalah untuk membuat Mentor ku kembali ditinggalkan dan sendirian?" Tanya Solar lagi, senyuman dingin dan manik berlian yang menyala, menyembunyikan amukan internal dalam dirinya.

Gempa tersentak, "mana mungkin begitu!" Bantahnya dengan sigap.

"Iyakan? Tentu saja tidak mungkin. Mau bagaimanapun, kalian kan saudara, mana mungkin sekejam itu terhadap Taufan iyakan? Asalkan kalau si sulung memang hobinya merundung orang.." jawab Solar lagi dengan senyuman beribu makna yang mirip dengan sang mentor.

Hanya senyumannya saja, mulut dan perkataannya jauh lebih tajam dibanding sang mentor yang selalu sayang kepada saudaranya.

"Lagipula, terlalu bodoh jika berpikir bahwa aku akan meninggalkan mentorku segera setelah aku menjadi agen S iyakan? Karena aku tak akan pernah meninggalkan dia." Ucap Solar lagi.

Ia tahu Gempa tidak berniat buruk, ia tahu betul. Tapi ia juga tahu bahwa Gempa mengerti, namun selalu diam, pura-pura tidak sadar akan segala hal yang terjadi antara mereka.

Maju, mundur, labil, ia marah dan benci akan tindakan Taufan, namun selalu berusaha untuk bersikap baik.

Layaknya seorang pengecut.

Saat Gempa terdiam, manik Solar kembali memindai sekitarnya. Ia dapatkan siluet orang yang sangat ia rindukan.

Wajahnya berubah menjadi jauh lebih berbinar dibanding saat berbincang dengan Gempa, "kalau begitu, aku pergi dulu ya Gempa, wish me luck." Ucap nya sambil langsung berlari ke arah sosok itu.

Gempa terkejut dengan aksi sang bungsu yang tiba-tiba itu, dengan sigap ia menoleh ke arah sang bungsu yang sedang berlari.

Ia mendapati kembar keduanya di sana, manik safir yang terlihat sedikit sayu, lingkar hitam di bawah matanya.

Namun, senyuman itu, senyuman yang penuh kasih sayang dan bukannya rasa canggung itu..

Sudah berapa lama ia tak melihat senyuman itu?

Dan kini, senyuman itu tak pernah lagi diarahkan padanya.

Apakah karena itu, ia membencinya?


// Author's note //

Im back!! Maaf ya hilang nya cukup lama, aku stress banget ga nemu2 ide, sebenarnya sampe sekarang juga masih ngerasa "ini cukup bagus ga si?" Tapi aku berusaha buat up , semoga kalian tetep suka yaa, makasii loh udah nungguin aku sayang kalian

Anyway komen yaa, biar aku terus termotivasi-

BOBOIBOY - AGENT AU [IDN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang