Jika ditanya, "apa yang kau ingat tentang Taufan?" Maka jawabannya adalah "badai."
Bukan hanya hembusan angin, namun badai besar yang menginvasi hidupnya dengan perlahan.
Serangan yang berani, berlangsung dengan cepat, menembus pertahanannya tanpa izin. Seakan lancang, seakan tak berperasaan, ucapannya pun seringkali tajam, namun entah kenapa tetap terlihat ramah karena berbalut senyuman.
Namun, pernahkah kau berada dalam inti pusaran angin ditengah badai? Bagaimana rasanya? Solar pun tidak pernah merasakannya secara harfiah, namun..
Namun didalam pusaran badai itu ada kenyamanan, kehangatan yang menenangkan. Ada tangan yang mengayomi dirinya, yang selalu menjamin kebutuhannya.
Harusnya ia tahu, harusnya ia mengerti bahwa segala hal itu akan mengurungnya. Ucapan tajam yang meruntuhkan egonya, didikan lembut dan persisten yang mengarahkannya, kenyamanan hangat yang diberikan kepadanya. Pada akhirnya hal itu akan lenyap semuanya.
Bagai badai yang terasa intens namun berakhir begitu saja, meninggalkan kehancuran. Begitu pula dengan Taufan yang datang begitu saja, memberikan segalanya kepada Solar lalu meninggalkannya.
Hanya puing-puing yang tersisa. Hanya peninggalannya yang tersisa. Begitulah yang ia rasakan.
Setelah ia membuka kartu pokenot itu bersama Ice. Ia merasa bahwa sekali lagi ia ditertawakan oleh takdir. Padahal ia berharap bahwa ada secercah kemungkinan bahwa kartu itu berisikan informasi tentang keberadaan sang kakak. Tapi, yang ada didalam itu hanyalah aset-aset yang Taufan tinggalkan untuk Solar.
Bisnis, perusahaan, ilmu yang ia rangkum sendiri, aset, semua hal yang Taufan dapatkan atas kegigihan dan jerih payahnya, ia tinggalkan untuk sang adik.
Wajah Ice datar, jika saja dirinya adalah orang yang sama dengan dirinya di masa Taufan masih disini, pastilah hatinya sudah diisi rasa iri dengki terhadap Solar yang lagi-lagi menerima perhatian dari sang kakak. Namun, segala hal itu sekarang tak terlalu berarti baginya. Ia telah belajar tentang rasa pantas dan tidak pantas. Dan nyatanya, ia cukup sadar diri untuk mengerti bahwa afeksi dari Taufan sudah tak pantas untuk ia terima.
Bahkan Solar, orang yang selalu ia rasa mencuri tempatnya, kini terlihat memprihatinkan dimatanya. Bocah itu, si bungsu itu, seakan mendapatkan dunianya berubah menjadi angin. Hilang dari pandangannya. Seakan dunianya tak lagi dapat berputar pada porosnya, rapuh, menghancurkan dirinya.
Seakan satu-satunya alasan dirinya untuk tetap melangkah adalah agar dapat menerima kembali sang mentor di sisinya. Kembali masuk kedalam badai miliknya dan memastikan bahwa ia tak akan pernah keluar dari inti badai.
Ice menepuk pundak Solar. "istirahatlah dulu." Ucap Ice sambil pergi meninggalkan kamar Taufan. Ia kini menatap kitchen set yang hanya berhiaskan sereal instan dan minuman protein. Helaan nafas panjang ia lepaskan. "Gaya hidup seperti ini..." Mengingatkannya akan Taufan. Sembarangan dalam urusan makanan.
Ice sendiri bukanlah orang yang berprinsip harus makan 4 sehat 5 sempurna. Namun ia cukup percaya diri dengan asupan nutrisinya karena banyaknya variasi makanan yang ia lahap tiap harinya.
Ia menyeret tubuhnya yang malas itu, membuka kulkas yang syukurnya masih memiliki tiga butir telur didalamnya. Ia panaskan wajan dan mulai memasak. Ice memang hebat dalam memakan, namun skill memasaknya biasa-biasa saja menurutnya.
Tentu lebih bagus dibandingkan Blaze, Thorn ataupun Solar. Namun tentunya jauh dibawah Gempa dan Taufan. Namun sekedar omurice masih bisa ia buat. Untungnya ada nasi kemasan instan di laci makanan milik Taufan. Ice memasak seluruh bahan yang diperlukan dan menatanya di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOBOIBOY - AGENT AU [IDN]
Fanfiction"Taufan, kau telah menghancurkan segalanya!" "jika saja kau tak ceroboh! dia-- dia tak akan--" setelah kejadian di hari itu, hari-hari Taufan berubah. kebahagiaan seakan telah pergi begitu saja darinya bersama dengan saudara-saudaranya yang telah...