57 - you who soothe my pain

2.3K 348 232
                                    

"aku baik-baik saja." Ucap sang pemilik manik safir dengan rintihan yang terdengar sangat bertolak belakang dengan ucapannya.

Peluh dingin di dahinya menjadi bukti akan rasa sakit yang ia tahan, dengan suara yang sedikit bergetar ia melanjutkan. "maaf telah membuatmu khawatir."

Solar menggeleng, menghampiri sang mantan mentor dan menopang tubuhnya agar tetap kuat terduduk. "Apakah aku perlu meminta dokter Ying untuk kesini?" Tanyanya penuh dengan rasa khawatir.

Ia tahu bahwa mentornya ini pasti tidak ingin sisinya yang seperti ini terlihat oleh orang lain. Dengan dirinya yang menunjukan sosok lemah dihadapan Solar, Solar sangat mengerti bahwa rasa sakit yang kini sedang dirasakan oleh sang mentor mengalahkan besarnya gengsi dari sang pemilik manik safir itu.

Taufan terdiam, berusaha menarik nafas yang dalam, berharap itu akan mengurangi rasa sakit pada tubuhnya. "...jangan." jawabnya lirih disela-sela hembusan nafas yang terdengar begitu menyakitkan.

"Tapi kondisimu--" ucapan Solar terpotong oleh sang kakak.

"Aku kesini untuk bertemu denganmu, Solar." Jawabnya, membutuhkan usaha agar manik safirnya dapat menatap manik silver sang adik bungsu.

"Bukan untuk bertemu yang lain.." lanjutnya lirih. Solar tersentak. Mulutnya kehilangan kata-kata untuk diucapkan. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena telah meminta sang mentor untuk menemuinya.

Ia tak pernah menyangka kondisinya seburuk ini, ia tak pernah menyangka bahwa ini sangat menyiksa mentornya.

Bahkan di sela-sela rasa sakitnya, Taufan seakan dapat membaca kegundahan yang ada di hati Solar, senyum lembut ia usahakan untuk merekah diwajahnya yang kaku. "..ini bukan salahmu."

"Memang aku yang ingin menemuimu, jadi berhentilah memasang wajah seperti itu." Lanjutnya.

Solar terdiam, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi yang ia rasakan.

Taufan kembali merasakan serangan rasa sakit pada jantungnya, membuatnya mengalihkan fokus yang tadinya diarahkan untuk sang adik bungsu, kini terpusatkan untuk menahan rasa sakit yang sangat ini.

Jika saja ia sedang di headquarter nya, sudah pasti ia akan memilih untuk pingsan dan membawa rasa sakitnya ke alam ketidaksadaran. Namun didepan adiknya mana bisa ia berlaku seperti itu? Ia tak ingin adiknya melihat sisinya yang rapuh lebih dari ini. Ia tak ingin adiknya semakin khawatir akan dirinya.

"--fan!!" Panggilan sang adik yang sedari tadi tak sempat ia hiraukan kini berhasil merebut sedikit atensi nya.

"Jangan mencengkram dadamu seperti itu, lukamu bisa terbuka!" Ucap Solar dengan rasa khawatir yang tak ia sembunyikan.

"...Solar..bisakah kau ambilkan obatku?" Tanya Taufan, matanya berembun dikarenakan rasa sakit yang mencabik tubuhnya.

"Dimana?" Tanya Solar dengan sigap sambil memindai ruangan. Ia menemukan berbagai wadah pil di tas Taufan.

"Hanya ada painkiller." Ucap Solar sedikit frustrasi.

Taufan mengangguk, "tidak apa."

"Painkiller sudah cukup." Ucapnya. Dengan sigap meraih botol painkiller yang dibawakan Solar ke arahnya. Ia dengan terburu-buru membuka tutup botol itu dan dengan sembarang menumpahkan beberapa butir pil nya ke telapak tangan dan menelannya tanpa air seakan ia bisa mati kapan saja jika ia tak segera meminumnya.

Solar memiliki banyak complain tentang cara Taufan meminum obatnya itu, bagaimana ia main asal mengeluarkan isinya dan meminumnya tanpa menghitung jumlah pilnya, bagaimana ia meneguknya dengan tergesa sampai beresiko dapat tersedak. Namun ia tahu bahwa itu tidak penting untuk ditanyakan saat ini. Dengan segera ia mengambil segelas air mineral untuk Taufan.

Taufan mengambilnya dengan tangannya yang gemetar. Hampir menjatuhkannya jika saja ia tidak mencengkram gelas itu sekuat yang ia bisa.

Solar membantunya menopang gelas itu, menuntun tangan yang memegang gelas itu agar sang mentor dapat meminum air mineral itu dengan lebih nyaman.

Tentu saja pil itu tidak langsung bereaksi. Rasa sakit masih menjulur di seluruh badan Taufan. Sang pemilik manik safir itu berusaha terlihat tegar. Namun Solar sangat mengerti bahwa ia dapat runtuh kapan saja.

Dengan lembut, Solar memegang pundak Taufan. Senyuman yang tak dapat menutupi rasa khawatir dan sedihnya terlukis di wajah yang biasanya terlihat dingin itu. "Berbaringlah dulu kak." Ucap Solar.

Taufan merasa ia sudah terlalu banyak menunjukkan kelemahannya di depan sang murid. Ia menggeleng pelan, namun sebelum ia bicara, Solar berkata-kata terlebih dahulu.

"Tidak sekalipun aku merasa terbebani dengan kondisimu kak Taufan, aku berharap kau sedikit lebih percaya padaku."

"Menunjukan kelemahanmu tidak akan membuatku meninggalkanmu kak." Lanjutnya, berharap Taufan bisa tahu bahwa ia tidak perlu memasang topeng kuat dan tegar didepannya.

Namun ia tahu, sang kakak sangat keras kepala.

Ia tahu betul bahwa sang kakak lebih baik kehilangan banyak darah dibanding menunjukkan kelemahan didepannya.

Jadi, fakta bahwa Taufan dengan tidak berdaya membiarkan Solar membantunya berbaring, hal itu membuat sanubari Solar semakin terasa sakit.

Hal itu memberi tahunya seberapa besar derita yang dialami oleh tubuh sang mentor saat ini.

"Beristirahatlah dulu kak."

Taufan terdiam, setelah beberapa saat ia mengangguk pelan. " Terima kasih, Solar."

Mata itu terpejam, sebuah bentuk kepasrahan akan pertarungannya melawan rasa sakit yang amat sangat. Sepertinya painkiller nya sudah mulai bekerja. Syaraf-syaraf nya tak lagi terasa terlalu menusuk, begitu pula jantung nya. Walau rasanya seakan mati rasa, tak dapat merasakan apapun. Tapi kehampaan itu lebih baik daripada rasa sakit.

.
.
.

Solar menyelimuti sang kakak yang terbaring di kasur. Menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Berharap sedikit kehangatan darinya dapat tersalurkan pada sang mentor.

Ia tahu bahwa ini salah, ia tahu jika sang kakak sekaligus mentornya ini tahu, ia akan sakit hati dan kecewa pada dirinya.

Namun Solar tak dapat berdiam diri. Ia tahu bahwa Taufan akan lebih tenang jikalau dirinya dapat menganggap segala kejanggalan ini sebagai sebuah angin lalu, sebuah ilusi yang hanya perlu diabaikan.

Namun itu adalah penghinaan terhadap dirinya, terhadap apa yang ia pelajari, dan terhadap kepintarannya jika ia benar-benar menganggap tak ada yang salah dari ini semua.

Ia beranjak pelan dari kursi, langkahnya yang hati-hati mengantarkannya ke meja kerja Taufan. Jari jemarinya meraba meja dingin berwarna silver itu, membuka lacinya dengan perlahan, berusaha tidak menciptakan suara apapun.

Ia temukan sebuah berkas dengan mark CONFIDENTIAL di lembaran pertamanya. Solar meraup udara karena kegugupan yang ia rasakan. Ia tertegun.

Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuat mentornya semakin sakit kepala dengan apapun reaksi yang akan ia miliki setelah membaca lembaran-lembaran ini.

Jarinya perlahan membuka lembaran pertama, dan bahkan paragraf awal saja sudah membuatnya terhenti.

Jarinya membeku. Ia terdiam membisu.

"Apa-apaan ini.."

"Kenapa bisa?" Ucapnya tak percaya.

// Author's note //

Nguehehe seneng deh chapter kemaren banyak komennya ❤️❤️

Gimana pendapat kalian ttg chapter ini?

Btw, solar waktu masih tinggal sama taufan pernah nyadar klo misi nya Taufan ga sesuai sama level nya kan? Nah disini dia nyari tau lagi, dan nemuin hal yg bikin dia terkedjoet

Btw happy reading! Ditunggu siraman komennya ❤️

BOBOIBOY - AGENT AU [IDN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang