Solar segera pulang setelah mengambil kartu dari tangan Revan. Kartu bergambar hewan dan kue yang Revan sebut sebagai "warisan dari kakakmu."
Solar sedikit kesal saat melihat seringai yang terlihat seakan merendahkan orang lain itu. Namun jika dipikirkan lagi, manik rubi milik sang surai putih tetap memantulkan secercah kekhawatiran yang ia sembunyikan.
Ia injak gas mobilnya dan melaju dengan pesat kembali ke agensi yang ia benci.
Sesampainya ia disana, ia tidak pergi ke arah gedung S yang kini sudah terlihat kembali seperti sedia kala, mewah dan luas. Ia melangkahkan kaki ke gedung B. Menekan tombol di lift dan membiarkan mesin itu membawanya ke ruangan tempat kebahagiaan singkatnya terjadi.
Kode password yang masih sama, tanggal mereka berdua menjadi mentor dan murid ia masukan. Jeda terjadi saat ia hendak memasukan nomor terakhir kata sandi ke pintu itu, seakan ia memikirkan sesuatu.
'klik' pintu terbuka, ruangan yang walau sudah tak disinggahi empunya masih terlihat bersih berkat robot a.i yang Solar sengaja tugaskan di ruangan itu.
Namun hanya ada satu ruangan yang tak boleh disentuh siapapun olehnya. Ruangan sang mentor. Ia merasa ruangan itu adalah bukti dan jejak dari sang mentor yang ia sayangi. Ia tak ingin 'jejak' itu tersapu oleh eksistensi lain, apapun itu.
Namun, saat ia menaruh tangannya di gagang pintu ruangan itu, pintu tersebut tak terkunci. Solar mengerutkan alisnya dan ia dapat merasakan bahwa amarah muncul dalam dirinya.
Ia dorong pintu ini, dan benar saja, ia menemukan sosok dengan topi biru. Sayangnya bukan sosok yang ia harapkan. "Keluar." Ucap Solar dingin pada orang itu.
Pria bertopi biru yang tadinya sedang memeluk boneka pausnya kini menatapnya dingin. Tatapan yang lelah dan tak peduli. "Siapa kau bisa memberiku perintah?" Ucap pria itu. Semakin ia dewasa, perilakunya semakin dingin. Atau mungkin, situasi yang membuatnya seperti itu.
"Ck." Solar melangkah menghampirinya, mengangkat kerahnya dan menyeretnya keluar. "Tinggalkan ruangan ini, dasar tak tahu diri."
"Kau kira hanya kau adiknya?" Tanya Ice tak mau mengalah, untuk orang pemalas, kekuatannya cukup kuat untuk tidak terseret oleh genggaman Solar.
"Iya. Kenapa? Bukannya hanya aku yang ada saat kalian semua meninggalkannya?" Ucap Solar dingin. Seringai penuh kesinisan membuat tatapan Ice terlihat semakin dingin. Namun seakan sadar diri, ia tidak melanjutkan ucapannya, sebaliknya, matanya tertuju pada kartu yang berada di genggaman Solar.
"Kartu.. pokenot? Tapi desain yang belum pernah kulihat sebelumnya." Ucap Ice, membuat Solar sedikit tersentak dan reflek menyembunyikan kartu itu di dalam sakunya.
"Biarkan aku melihatnya." Ucap Ice mendekati Solar.
"Kau tidak berhak." Jawab Solar ketus. "Keluarlah." Lanjutnya sambil menatap tajam Ice. Tatapan manik silvernya itu bersinar seakan itu adalah berlian.
"Kau selalu membahas hak, kepantasan dan hal seperti itu. Aku sadar aku memang melakukan kesalahan, tapi sebagai adik aku tetap ingin mengetahui tentang dirinya. Masalah aku bisa dimaafkan, berhak atau tidak, itu semua bergantung pada Taufan, bukankah begitu?" Ucap Ice dengan nada yang lebih lembut. Nada yang dipakai kakak yang sednag berkomunikasi secara damai dengan adiknya.
"Tidak. Bullshit." Jawab Solar datar dan singkat. "Sangat tidak tahu malu, jika kau butuh opiniku." Lanjutnya.
Ice mendecak kesal, melangkah menuju pintu. Solar merasa sedikit lega karena ia kira Ice akan benar-benar keluar dan meninggalkan ruangan ini, ia tidak menyangka bahwa Ice merebut kartu itu dari saku Solar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOBOIBOY - AGENT AU [IDN]
Fanfiction"Taufan, kau telah menghancurkan segalanya!" "jika saja kau tak ceroboh! dia-- dia tak akan--" setelah kejadian di hari itu, hari-hari Taufan berubah. kebahagiaan seakan telah pergi begitu saja darinya bersama dengan saudara-saudaranya yang telah...